Gema takbir dan tahmid Idul Fitri 1 Syawal 1438 Hijriyah rupanya tak mampu mengurangi bara kontestansi politik Pilkada DKI 2017 yang membakar jiwa nyaris seluruh bangsa Indonesia, tak terkecuali kalangan etnis keturunan Arab, baik dari golongan sayid/habib (keturunan Nabi Muhammad) maupun bukan.
Sebuah peristiwa kultural menarik sekaitan dengan perkara itu telah terjadi beberapa hari lalu, dan layak menjadi catatan sebagai penanda betapa kontraksi politik Pilkada DKI telah memunculkan gelombang kesadaran kolektif dan praksis baru dalam relasi sosio-politik di kalangan etnis keturunan Arab; sebuah kesadaran dan praksis yang menyusup hingga ke ruang-ruang “political hideaway” semisal halalbihalal kekerabatan.
Peristiwa yang melibatkan sekaligus tiga anasir paling ikonik di kalangan etnis keturunan Arab mutakhir, yaitu Anies Baswedan (seorang non-sayid), Rabithah Alawiyah (lembaga resmi etnis keturunan Arab golongan sayid/habib), dan Habib Rizieq, sang episentrum gelombang baru tersebut, terjadi pada sebuah acara halalbihalal habaib pada 26 Juni 2017 di Jakarta.
Halalbihalal yang diadakan di sebuah aula di kawasan Tanah Abang itu merupakan acara rutin yang digelar oleh Rabithah Alawiyah sejak puluhan tahun lalu. Meski bertajuk Halalbihalal Keluarga Besar Alawiyin, ajang bermaaf-maafan itu merupakan sebuah acara terbuka, boleh dihadiri siapa saja, termasuk etnis keturunan Arab non-sayid yang biasa disebut dengan masyaekh dan gabail.
Tapi tentu saja, mengingat ada jarak geneologis dan teologis yang terlampau jauh antara golongan sayid dan non-sayid, maka hanya beberapa gelintir saja golongan non-sayid yang mau hadir di situ. (Masyaekh dan gabail yang umumnya terafiliasi dengan al-Irsyad, organisasi tempat berhimpunnya etnis keturunan Arab non-sayid, sangat mungkin punya acara sendiri). Dan Anies Baswedan termasuk dari yang beberapa gelintir itu. Ia hadir di situ, duduk bersila bersama ribuan sayid.
Meskipun Anies bukan tipe orang yang secara rigid terkotak-kotak dalam segregasi klan dan sektarian semacam itu, sangat mungkin itu merupakan kehadirannya yang kali pertama. Dengan kata lain, melacak jejak kunjungan Anies Baswedan di Petamburan menjelang masa kampanye, kehadiran Anies pada acara halalbihalal itu layak diduga berkonten politik, yaitu mengukuhkan dukungan bagi dirinya sebagai gubernur terpilih.
Dugaan ini memiliki landasan yang kokoh saat khotbah jarak jauh Rizieq Shihab dari kota Tarim, Hadramaut, diperdengarkan. Dalam salah satu bagian dari pidatonya, Rizieq mengatakan bahwa ia mendengar tentang kehadiran Anies Baswedan di situ.
Rizieq Shihab kemudian menyampaikan rasa syukur atas kemenangan Anies Baswedan dalam pilgub DKI dan mewajibkan seluruh habaib memberikan dukungan kepada kepemimpinan Anies. Ia juga mengimbau agar para masyaekh dan gabail bersatu padu dengan habaib.
Kita boleh yakin bahwa sudah ada komunikasi sebelumnya antara pihak Rabithah sebagai penyelengggara acara dengan Rizieq Shihab tentang kehadiran Anies tersebut. Yang belum jelas adalah posisi Anies: apakah ia mengetahui akan ada khotbah Sang Imam Besar yang akan menyebut-nyebut dirinya dalam kapasitasnya sebagai gubernur terpilih itu, atau tidak.
Tapi itu tidak begitu penting. Yang terang acara halalbihalal itu telah dijadikan semacam deklarasi terbuka bahwa Rabithah, satu-satunya lembaga resmi kaum Alawiyin, mendukung kepemimpinan Anies.
Maka, secara etis, keberadaan khotbah yang mengandung muatan politik praktis itu boleh dibilang melanggar kode yang diemban oleh Rabithah sebagai ormas milik seluruh Alawiyin, terlepas dari apa pun preferensi dan afiliasi politiknya.
Meski sangat mungkin mayoritas Alawiyin mendukung Anies melawan gubernur “penista al-Quran” saat Pilkada DKI kemarin, tidak bisa dipungkiri bahwa ada juga yang tidak mendukung Anies dengan berbagai sebab yang menjadi latar belakangnya. Dan mereka yang anti-Anies itu juga duduk bersila di sana, mendengarkan khotbah Rizieq Shihab. Bisa dibayangkan betapa terganggunya mereka.
Acara halalbihalal yang sejatinya menjadi wilayah silaturahmi murni antar kerabat dan menjadi momen untuk sejenak melepaskan diri dari silang sengketa preferensi dan afiliasi politik, harus dicemari dengan khotbah dukung mendukung gubernur.
Lalu apa yang menyebabkan Rabithah yang selama ini dikenal cukup berhasil mempertahankan jarak yang elegan dengan segala kepentingan politik, tiba-tiba secara telanjang memanfaatkan acara halalbihalal itu menjadi ajang dukung mendukung? Beberapa penjelasan berikut ini mungkin bisa dijadikan acuan dalam menjawab pertanyaan di atas.
Secara tidak sadar “spirit 212” telah melahirkan kebaruan dalam kesadaran kolektif sebagian besar habaib, bahwa mereka—melalui wasilah Rizieq Shihab—mampu menampilkan sesuatu yang gigantis (unjuk rasa damai yang diikuti jutaan orang yang sedang tersingung rasa keagamaannya) sekaligus merayakan menguatnya lagi ingatan tentang posisi habaib sebagi penghuni puncak piramida kepemimpinan umat.
Dan sebelumnya, sejak peristiwa “dibohongi pakai surat al-Maidah” di Kepulauan Seribu, Rizieq Shihab menjelma menjadi artikulator kegelisahan dan juga cita-cita yang sebenarnya telah lama diam-diam mengendap di ceruk primordial sekian banyak irisan umat.
Oleh umumnya kalangan masyaekh dan gabail yang gandrung pada aktivisme (tentu tidak semuanya), kepemimpinan Rizieq Shihab dianggap sebagai jembatan menuju rekonsiliasi untuk menyembuhkan luka psikologis retaknya hubungan antara sayid dan non-sayid (perseteruan tajam antara Rabithah Alawiyah dan al-Irsyad) yang telah berlangsung selama puluhan tahun, demi “kemaslahatan” yang lebih besar.
Kalangan masyaekh dan gabail yang banyak dipengaruhi oleh pemikiran Wahabi itu, merasa nyaman di bawah kepemimpinan seorang Imam Besar yang memiliki platform dan tujuan yang sama, yaitu diterapkannya syariat Islam di Indonesia, meski Sang Imam secara geneologis dan teologis berseberangan dengan mereka; Sang Imam seorang habib dan bermazhab Syafii.
Bagaimanapun juga, praksis Islam politik ala Rizieq Shihab dan FPI-nya jauh lebih disukai oleh kalangan masyaekh dan gabail ketimbang tarekat tasawuf dan zikir yang apolitis dan bernuansa kekeramatan, sebagaimana yang dipraktikkan oleh mayoritas habaib sebelum era reformasi.
Sejak sukses aksi demo damai 212, dalam konteks relasi sosial politik, jarak antara sayid dan non-sayid menjadi relatif memendek, pun demikian dengan jarak antara habaibisme dan wahabisme. “Spirit 212” dan aliansi taktis “Bela Islam” pada level tertentu telah menyatukan dua entitas yang sekian lama berseberangan itu. Keduanya berjalan dari arah yang berbeda menuju satu titik yang sama.
Bertemunya dua kubu pada titik “Bela Islam” itu memunculkan istilah baru dalam lalu lintas diskursus di kalangan etnis keturunan Arab di Indonesia, yaitu Wahabib, gabungan dari kata “Wahabi” dan “Habib”.
Istilah setengah kelakar itu menjelaskan keberadaan jelmaan baru yang lahir dari rahim Aksi Bela Islam 212: penganut wahabi yang awalnya anti-habib tapi kini mendekat ke habaib, dan habib yang dulu anti-wahabi namun kini bergandengan tangan dengan Wahabi, demi kemenangan “Islam” di Indonesia.
Bagi sebagian kalangan minoritas Alawiyin penganut Syiah, Rizieq Shihab diproyeksikan sebagai pintu masuk menuju berdirinya Imamah (Khilafah versi Syiah) di Indonesia. Sekaligus Rizieq Shihab diharapkan akan menjadi pelindung bagi eksistensi Syiah dari ancaman kelompok Wahabi, mengingat Rizieq bersikap akomodatif terhadap keberadaan Syiah.
Di sayap lain, Rizieq Shihab juga menjadi resonansi lantang dari suara kekalahan dan ketertinggalan ekonomi yang demikian menjurang, yang berderak dari pintu-pintu reot kios minyak wangi dan baju koko di sentra-sentra ekonomi umat di Condet, Cawang, Kebon Kacang, Tanah Abang, Pekojan, dan di banyak tempat lainnya. Dan pantulan suara itu membentur kaca-kaca tebal pertokoan mewah Plaza Grand Indonesia, Kota Kasablanka, Mall Ciputra, dan sekian shoping mall kelas atas lainnya.
Dengan demikian, melalui momentum yang sangat kondusif, yaitu mencuatnya kasus dugaan penistaan al-Quran oleh Ahok, Rizieq Shihab telah menjadi magnet yang mengakumulasi sekian banyak kegundahan dan cita-cita, termasuk cita-cita kemenangan “Islam” di Indonesia.
Dan kemenangan itu sudah dimulai dengan terpilihnya Anies Baswedan sebagai gubernur DKI periode 2017-2022. Anis Baswedan tampil bak Shalahudin al-Ayubi yang berhasil merebut Yerusalem. Lalu, ramai-ramai Anies yang diusung oleh Partai Keadilan Sejahtera dan didukung Rizieq Shihab itu ditasbihkan sebagai “Gubernur Muslim”.
Di tengah-tengah glorifikasi atas kegundahan dan cita-cita semacam itu, segala anomali semisal masuknya partai politik sekuler, korporasi non-muslim, dan kekuatan finansial sekuler dalam barisan perjuangan yang sama, tak mengurangi semangat “Ayo Bela Islam” yang bergolak di dada sebagian besar pendukung Anies Baswedan.
Dalam konteks seperti itulah mungkin kita bisa melihat bagaimana euforia “Ayo Bela Islam” telah memenuhi atmosfer kehidupan mayoritas komunitas Alawiyin sehingga tak menyisakan sedikit pun ruang bebas politik.
Kehadiran Anies Baswedan dan khotbah Rizieq Shihab pada acara itu, bisa dipandang sebagai artikulasi paling jelas dalam menggambarkan kondisi yang sedang terjadi, di mana pengurus Rabithah Alawiyah berani menukar keguyuban halalbihalal murni kekerabatan dengan keguyuban halalbihalal beraroma politik partisan.
Baca juga:
Ada Apa antara Istana dan GNPF MUI?
Harga Sebuah Integritas: Surat Terbuka untuk Anies Baswedan Ph.D
Surat Kedua untuk Anies Baswedan: Meniti Jejak Langkah Pendahulu Kita