Andi Mappetahang Fatwa atau yang populer dengan nama AM Fatwa adalah tokoh pejuang yang hampir selalu berbicara dengan gaya berapi-api, meskipun tak selalu lantang.
AM Fatwa adalah api yang menyala di luar sekam dan membakar siapa pun yang menentang kebenaran yang diyakininya.
Mungkin, kebenaran dalam perspektif AM Fatwa belum tentu benar bagi Anda atau siapa pun yang tidak satu visi dengannya. Kebenaran pada saat dipandang dari sudut yang berbeda bisa jadi sebuah kesalahan, begitu pun sebaliknya. Cara pandang seperti ini kurang disukai AM Fatwa. Baginya, kebenaran harus dilihat apa adanya sebagai kebenaran. Dan pada saat ia meyakini suatu kebenaran, itu akan ia pertahankan dengan risiko apa pun.
Karena itulah, banyak kalangan menyebutnya sebagai pejuang. Pejuang kebenaran yang tak mengenal kata menyerah. Dengan siapa pun ia bisa berselisih pandangan, berdebat, atau bahkan marah jika argumentasi tak lagi dianggap memadai.
Salah satu yang pernah menjadi korban kemarahan AM Fatwa adalah politikus Fahri Hamzah yang dibentak dan hampir dilempar dengan mikrofon. Dalam acara Indonesia Lawyers Club (ILC) Selasa, (20/9/2016), Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah mengatakan bahwa Badan Kehormatan Dewan Perwakilan Daerah (BK-DPD) telah bertindak politis karena menjatuhkan sanksi kepada Ketua DPD Irman Gusman yang tertangkap tangan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Sebagai Ketua BK-DPD, Fatwa tidak terima dan ia mengatakan bahwa badan yang dipimpinnya bekerja sesuai tata tertib yang ada. Tapi karena Fahri selalu menyela, ia pun marah dan terjadilah peristiwa yang kurang elok itu disaksikan ribuan atau mungkin jutaan pasang mata pemirsa TVOne.
Fahri hanya salah satu korban “kemarahan” AM Fatwa, masih ada beberapa yang lain yang luput dari pemberitaan media. Tapi, “kemarahan” Fatwa pada hakikatnya adalah ungkapan “rasa sayang” dengan cara yang lain. Memang, begitulah caranya “membimbing” para juniornya. Jika ada yang kurang berkenan, ia bisa marah pada siapa pun. Ia marah karena merasa benar. Tapi, jika ia merasa salah, kepada siapa pun ia tak segan-segan meminta maaf.
Bagi politikus kelahiran Bone, Sulawesi Selatan, 12 Februari 1939, kebenaran adalah sesuatu yang harus diperjuangkan dengan risiko apa pun. Jangankan dengan orang yang dianggapnya biasa, bahkan di hadapan rezim yang sangat berkuasa pun ia tetap menyampaikan kebenaran apa adanya. Kebenaran yang ditutup-tutupi oleh rezim penguasa harus diungkap, karena itu merupakan bagian dari amar ma’ruf nahi munkar.
Perlakuan sewenang-wenang, dari sekadar dibentak hingga diinjak-injak dengan sepatu lars dan dijebloskan dalam sel yang sempit, gelap, pengap, dan bau busuk yang menyengat pun pernah dialaminya lantaran ia ingin mengungkap kebenaran kasus Tanjung Priok apa adanya.
Peristiwa Tanjung Priok yang terjadi 12 September 1984 adalah bagian dari sejarah kesadisan rezim Soeharto yang tidak hanya memakan korban jiwa, tapi juga bentuk pelanggaran hak-hak asasi manusia yang berat dengan rentetan kasus-kasus berikutnya yang tak kalah kelam.
Berpegang pada prinsip “qulil haq walau kaana murran” (katakanlah yang benar itu benar sekalipun pahit), AM Fatwa menuntut pemerintah Soeharto bertanggungjawab dan mengusut tuntas kasus Tanjung Priok. Sebagai akibatnya, ia dituduh melakukan subversif dan diajukan ke pengadilan yang ia sebut dengan bohong-bohongan.
Bagaimana proses pengadilan itu berjalan, berikut kengerian saat diinterogasi, disiksa dalam tahanan, serta rentetan penistaan yang dialaminya, ia rekam dalam buku Demi Sebuah Rezim, Demokrasi dan Kayakinan Agama Diadili setebal lebih dari 525 halaman yang diterbitkan Gramedia Pustaka Utama (Jakarta, 2000).
Karena peristiwa itulah, nama AM Fatwa menjadi sangat populer dan disegani baik oleh kawan maupun lawan. Salim Said dalam pengatar buku itu mengatakan bahwa Fatwa adalah seorang yang berpendirian teguh, dan untuk itu ia bersedia dan berkali-kali menjadi korban teror serta penahanan sejak rezim Orde Lama hingga pemerintahan Orde Baru.
Popularitas dan sejarah perjuangannya melawan rezim menjadi modal politik yang mengantarkannya menjadi politikus andal. Sejak pemilu pertama era reformasi hingga saat ajal menjemput, AM Fatwa adalah pejabat publik yang terpilih secara langsung dengan jalan perjuangan yang benar tanpa money politics. Sejumlah posisi penting pernah didudukinya, Wakil Ketua DPR (1999-2004), Wakil Ketua MPR (2004-2009), dan Ketua Badan Kehormatan DPD RI (2012-2017).
Sebagai politikus, AM Fatwa termasuk fenomena yang menarik. Pada saat yang lain terkena kasus korupsi hingga berjalan memutar “dari Senayan ke penjara”, AM Fatwa berjalan lurus “dari penjara ke Senayan”. Di tengah kesibukan sebagai legislator, ia produktif menulis buku hingga mendapatkan penghargaan dari Museum Rekor Indonesia (MURI) sebagai wakil rakyat yang paling banyak menulis buku.
Tentu, masih banyak penghargaan lain yang beliau raih. Pencapaiannya dalam politik memang luar biasa, bahkan telah melampaui dari yang dicita-citakannya. AM Fatwa pernah bercita-cita menjadi anggota DPR, ya hanya menjadi anggota DPR, tidak lebih. Tapi yang ia raih kemudian, jauh dari sekadar anggota DPR.
Selamat jalan Pak Fatwa. Dengan bekal perjuangan tanpa lelah ketika di dunia, semoga Bapak berbahagia di sisi Sang Khalik, amin.