Kamis, Oktober 10, 2024

Ahok, Anies, dan Isu Pelayanan Air di Jakarta

Mohamad Mova Al'Afghani
Mohamad Mova Al'Afghani
Direktur Center for Regulation, Policy and Governance (CRPG). Memperoleh PhD dari Universitas Dundee (2013)

ahok-anies1
Ahok dan Anies. [sumber: tv.liputan6.com]
Pelayanan air di Jakarta tergolong unik. Sejak tahun 1998, melalui campur tangan kroni mantan Presiden Soeharto, suplai air bersih di Jakarta diserahkan pengelolaannya dari Pam Jaya kepada dua pihak swasta: Palyja (untuk sebelah barat sungai Ciliwung) dan Thames Pam Jaya (sekarang Aetra – untuk sebelah timur sungai Ciliwung) lewat Kontrak Kerja Sama. Kedua perusahaan ini berganti kepemilikan, terakhir Palyja dimiliki oleh Suez (51%) dan Astratel (49%), sementara Aetra dimiliki oleh Acuatico Pte. Ltd (95%) dan PT Alberta Utilities (5%).

Kontrak Kerja Sama memberikan eksklusivitas pelayanan air di area kerja sama tersebut, di samping juga beberapa kewenangan tertentu, seperti dalam memutus sambungan pelanggan. Dengan adanya eksklusivitas ini, Pemda DKI/PAM Jaya tidak boleh melakukan intervensi dalam area yang menjadi monopoli operator. Penambahan jaringan juga harus disetujui oleh kedua belah pihak dalam kontrak (PAM Jaya dan Palyja/Aetra), dalam program 5 tahunan.

Beberapa komponen program 5 tahunan tersebut di antaranya adalah seputar tingkat kebocoran air, jumlah sambungan, dan rasio cakupan pelayanan.

Yang menarik di sini, program apa pun yang dicanangkan oleh para pasangan calon Gubernur Jakarta, selagi itu terkait suplai air di daerah Kontrak Kerja Sama, maka harus disetujui oleh Palyja dan/atau Aetra.

Salah satu program yang dicanangkan oleh Anies-Sandi adalah peningkatan jumlah pelanggan sebesar 200 persen dari jumlah pelanggan tahun 2015 melalui percepatan sambungan air “… dengan implementasi bertahap yang dimulai dari daerah dengan akses dan kualitas air terburuk.”

Anies juga berjanji memberikan subsidi sebesar 80 persen pembayaran langganan air pada warga yang luas rumah di bawah 70 meter persegi yang tinggal di rusun milik pemerintah (bukan apartemen mewah).

Bagaimana dengan Ahok-Djarot? Yang menarik, program air mereka jarang menyinggung soal “pelayanan air” (water supply) tetapi lebih banyak menyinggung soal sumber daya air (water resources), seperti penanggulangan banjir dan penyerapan air. Apakah hal ini dikarenakan kompleksitas pelayanan air Jakarta yang dia rasakan sendiri selama ini? Walau demikian, dalam salah satu debat, Ahok menyebut akan mengandalkan public service obligation (PSO) atau subsidi untuk memenuhi kebutuhan masyarakat, terutama menengah ke bawah.

Permasalahan Program Penambahan Pelanggan Air

Percepatan sambungan seperti diusulkan Anies-Sandi di atas, apalagi jika dimulai dengan daerah dengan akses dan kualitas air terburuk, akan menemui beberapa masalah, baik dari sisi pelanggan maupun dari sisi operator.

Kesulitan penyambungan air ke kalangan pelanggan kurang mampu adalah situasi tempat tinggal yang berkelok-kelok (yang menambah biaya koneksi), kemungkinan tingginya angka pencurian air dan risiko tidak membayar tarif. Kesediaan membayar (willingness to pay) mereka sebenarnya tinggi. Namun mereka perlu mengeluarkan ongkos tambahan untuk membuat penampungan air (mengantisipasi intermittent supply) serta–bagi mereka yang tidak memiliki akses perbankan–keharusan antre dan bolos dari pekerjaannya (Bakker, 2006).

Menurut pakar tata kelola air Karen Bakker, operator dan Pam Jaya tidak terlalu diuntungkan dengan menyambungkan layanan ke golongan kurang mampu karena masyarakat miskin berada dalam golongan tarif terbawah di mana pendapatan dari sambungan tersebut lebih kecil daripada biayanya.

Dengan demikian, penyambungan air kepada masyarakat bawah harus diikuti dengan kebijakan lain mengenai pengumpulan tarif yang lebih fleksibel. Namun hal ini akan membawa konsekuensi pada peningkatan biaya operasional dan risiko finansial.

Apakah tidak bisa disiasati dengan subsidi? Kontrak Kerja Sama air di Jakarta disusun sedemikian rupa sehingga operator dibayar atas volume air yang dipasok. Komponen biaya tersebut mencakup biaya operasional, investasi dan keuntungan (internal rate of return atau IRR). Dengan formulasi ini, berapa pun air yang dipasok dan berapa pun perluasan jaringan sebenarnya tidak masalah bagi operator, selama mereka dibayar atas jasanya.

Darimana Uang untuk Membayar Operator?
Opsi pertama tentu dari tarif. Maka, semakin banyak program sambungan dan program pengurangan kebocoran, akan semakin perlu untuk menaikkan tarif. Apabila pemasukan operator lebih kecil dari tarif yang dikumpulkan, maka terjadi “shortfall”, di mana PAM Jaya dalam posisi harus melunasi kekurangan tersebut. Semakin besar shortfall, maka semakin buruk posisi keuangan PAM Jaya.

Opsi kedua adalah tidak menaikkan tarif, tetapi memberikan subsidi dari anggaran pemerintah (baik pusat maupun daerah). Namun, terlepas dari mekanisme memberikan subsidi atau menaikkan tarif, kita perlu ingat bahwa salah satu komponen pembayaran kepada operator adalah “keuntungan” (IRR). Ini wajar saja, sebab pelayanan air Jakarta dikelola oleh swasta, maka tentu ada elemen keuntungan. Lain halnya apabila air Jakarta dikelola oleh Perusahaan Umum Daerah.

krisis-air
Krisis air di Jakarta (ilustrasi) [Sumber: liputan6]
Maka dari itu, apa pun yang terjadi, operator akan menerima keuntungan. Yang menjadi masalah tinggal uangnya dari mana: kalau mekanismenya menaikkan tarif, maka membebani masyarakat secara langsung; sedangkan kalau mekanismenya subsidi (APBD atau APBN) maka membebani masyarakat secara tidak langsung.

 

Dari uraian di atas, kita harus mengapresiasi berbagai program pelayanan air di Jakarta. Meski demikian, solusinya tidak semudah yang mereka tawarkan. Kita dapat menyimpulkan tiga kesulitan menambah sambungan air pada kalangan kurang mampu. Pertama, program itu kurang ekonomis bagi PAM Jaya dan operator (karena golongan tarif bawah marginnya tidak besar, risiko gagal bayar dan letak perumahan yang menyulitkan).

Kedua, hal tersebut bisa dicapai dengan menaikkan tarif, tetapi ini kebijakan yang tidak populer. Ketiga, bisa dilakukan dengan subsidi, tetapi membebani anggaran negara/daerah. Keempat, apa pun programnya, harus disetujui dulu oleh Palyja dan Aetra.

Seputar Akuisisi Thames
Isu air dalam Pilkada Jakarta semakin menarik dengan peran Sandiaga Uno. Dalam wawancara dengan Tirto.id beberapa waktu lalu, Sandi menjawab pertanyaan dari beberapa kalangan soal potensi konflik kepentingan:

“Saya sudah sampaikan ini dari awal bahwa saya komit. Makanya saya sudah mundur dua tahun lalu dari bisnis. Saya sampaikan bahwa kalau, seperti Aetra, saya tidak pernah menjabat juga. Dan Recapital ini saya dirikan tetapi saya sama sekali tidak terlibat dalam pengambilan keputusan. Saya tidak pernah duduk di jajaran komisaris juga. Tapi saya mengeliminasi benturan konflik kepentingan, makanya saya mundur secara total. Apalagi yang berkaitan dengan aset-aset yang ada di dalam grup yang ada sekarang.”

Tahun 2007, Thames (yang memiliki TPJ, sekarang berubah nama menjadi Aetra) menjual saham-saham mereka kepada Aquatico Pte.Ltd, sebuah perusahaan di Singapura. Ada cerita menarik seputar penjualan saham-saham tersebut. Pada waktu itu, komite khusus yang dibentuk pemerintah merasa ragu dengan calon pengakuisisi saham Thames. The Jakarta Post memberitakan:

“The recommendation came after Acuatico’s law firm in Singapore, Haridass Ho and Partners, declared the company did not belong to Indonesia’s ReCapital Advisors and Glendale Partners, as was publicly announced. The statement said Arrozez Ltd. and Praeo Ltd. — companies from the British Virgin Islands — established Acuatico in Singapore.”

Menggunakan “perusahaan antara” di yurisdiksi seperti Cayman Island atau British Virgin Island sering disebut sebagai hal yang “umum” dalam rangka mengumpulkan kapital. Namun demikian, skema ini menyulitkan pemerintah untuk melacak hubungan antara pemilik akhir perusahaan (ultimate atau beneficial owner) dengan perusahaan antara karena yurisdiksi tersebut seringkali merahasiakan akta-akta kepemilikan perusahaan. Oleh karena itu, kekhawatiran pemerintah adalah sesuatu yang wajar, apalagi karena air menyangkut hajat hidup orang banyak.

Di negara-negara lain, akuisisi saham air milik swasta merupakan hal biasa, tetapi regulator memberikan persyaratan khusus. Dalam kasus akuisisi Thames oleh RWE di England, Ofwat, Regulator air di England mengharuskan agar perusahaan yang diakuisisi dan perusahaan induknya membuat suatu undertaking (semacam janji yang bisa dilaksanakan di depan hukum) yang berisi kesanggupan memberikan seluruh informasi, termasuk dari pemilik akhirnya, yang diminta oleh regulator.

Dalam industri air, tidak adanya transparansi atas kepemilikan akhir (ultimate owner) dapat menyulitkan regulator untuk mengawasi apakah transaksi dilakukan secara arm’s length (lazim dan wajar).

Industri air adalah industri monopoli-alamiah-lokal. Dalam arti, dalam satu wilayah tertentu hanya ada satu perusahaan air (tidak mungkin dalam satu rumah ada berbagai keran dari perusahan air yang berbeda beda). Dengan demikian, konsumen tidak punya banyak pilihan (tidak bisa pindah operator) kecuali membayar berapa pun tarif yang dikenakan.

Regulator perlu mengawasi kemungkinan dimana suatu perusahaan air bertransaksi dengan perusahaan lain–yang sebenarnya satu grup perusahaan–dengan harga yang tidak wajar atau tinggi, harga mana akhirnya akan dibebankan kepada pelanggan melalui tarif.

Bagaimana regulator bisa tahu harganya wajar atau tidak? Di yurisdiksi lain ada berbagai pengaturan “ring fencing” dan “market-testing”. Regulator akan curiga apabila transaksi dilakukan oleh perusahaan yang terafiliasi. Namun, regulator tidak akan tahu apakah satu perusahaan terafiliasi atau tidak apabila tidak ada kejelasan tentang siapa pemilik akhirnya. Inilah salah satu pentingnya transparansi kepemilikan perusahaan air, dan karenanya kekhawatiran dari tim pemerintah pada waktu itu wajar.

Transparansi Kepemilikan Perusahaan
Dalam wawancara dengan Tirto.id, masih tidak jelas apakah Sandi merupakan ultimate atau beneficial owner dari Aetra. Apabila dia menjadi ultimate atau beneficial owner, itu jelas ada conflict of interest.

Di satu sisi, ada kepentingan untuk menambah keuntungan (yang bisa dilakukan dengan menaikkan IRR atau misalnya menolak menyambungkan air ke masyarakat bawah karena biaya tinggi dan risiko gagal bayar). Di sisi lain, ada kepentingannya sebagai pejabat agar tarif terjangkau (yang mana harus dilakukan dengan menurunkan IRR dan meminta air disambungkan ke masyarakat kurang mampu, walau risiko dan biayanya tinggi).

Perihal apakah dia menjabat di perusahaan tersebut atau tidak, itu kurang relevan. Karena itu, di Uni Eropa, Direktif 2015/849 (tidak berlalu di Indonesia) menggunakan istilah kepemilikan manfaat (beneficial owner). Yang penting dalam istilah ini bukan saja kepemilikan sahamnya, melainkan apakah memiliki manfaat atau tidak – karena seseorang yang bukan pemegang saham bisa saja menerima manfaat dari suatu perusahaan lewat kontrak.

Kepada Tirto.id, Sandi memberikan dua solusi yang sama-sama harus kita apresiasi. Pertama, menjual 100% kepemilikan di grupnya dan kedua, absen dalam pengambilan keputusan. Niat ini harus diapresiasi karena, seperti dikatakan Sandi, pengaturan beneficial owner dan konflik kepentingan bagi pejabat belum diadopsi di Indonesia. Sampai saat ini banyak pejabat yang punya berbagai perusahaan dan berbagai konflik kepentingan dengan jabatannya.

Namun, solusi tersebut masih problematik. Pertama, soal penjualan saham, selain akan makan waktu lama, tidak menjadi jaminan hilangnya konflik kepentingan, apabila yang bersangkutan masih memiliki manfaat dari perusahaan dimaksud. Apabila saham-saham tersebut dijual dan yang membeli adalah Pemerintah DKI Jakarta, justru konflik kepentingan terjadi di situ karena dia bisa saja mendapat keuntungan dari nilai saham yang dijual.

Kedua, absen dalam pengambilan keputusan hanya dimungkinkan ketika dalam posisi wakil gubernur. Meski demikian, apabila karena suatu hal dia harus naik menjadi gubernur, maka seluruh keputusan dan peraturan gubernur memerlukan tanda tangannya.

Terlepas dari kedua solusi di atas, hal yang pertama-tama harus dilakukan oleh Sandi (dan pihak mana pun yang berniat memangku jabatan publik) adalah bersikap transparan atas kepemilikian saham dan kepemilikan manfaat. Dia harus mendeklarasikan seluruh saham-saham dan/atau kepemilikan manfaatnya. Dari mana publik bisa tahu dia punya konflik kepentingan di perusahaan apa saja (apalagi kalau melibatkan yurisdiksi offshore yang menganut kerahasiaan kepemilikan) kecuali dia mendeklarasikannya sendiri?

Mau ke Mana Pelayanan Air Jakarta?

Dari kedua pasangan calon gubernur-wakil gubernur di putaran kedua PIlkada Jakarta, yang kurang adalah visi ke depan mengenai tata kelola pelayanan air di Jakarta. Dari sedemikian kompleksitas konsesi air Jakarta, lantas rencananya mau dibawa ke mana?

Retorika kedua pasangan calon hanya berputar di persoalan teknis seperti subsidi, sambungan air gratis, percepatan penambahan sambungan, dan sebagainya, yang masih problematik karena Kontrak Kerjasama air di Jakarta dapat menjadi penghambat reformasi tata kelola air di Jakarta. Dari sisi pendekatan atas tata kelola air, ada setidaknya beberapa kemungkinan alternatif.

Pertama, status quo alias “do nothing” alias “business as usual”. Hal ini bahwa seluruh retorika kampanye hanya sekadar retorika saja, pada praktiknya sulit dilaksanakan.
Kedua, membatalkan kontrak konsesi, mengembalikan operasi dan kepemilikan kepada Pam Jaya dan menghadapi arbitrase internasional. Ini jalan sulit, terjal, dan akan mendapat sentimen negatif dari investor karena Indonesia dianggap tidak menghormati kontrak.

Tapi langkah ini bukan tidak mungkin, karena setelah UU Sumber Daya Air dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi, Menteri Pekerjaan Umum mengeluarkan Surat Edaran yang isinya adalah pemerintah akan melakukan evaluasi dan/atau renegosiasi untuk disesuaikan dengan 6 prinsip dasar pengelolaan air dari Mahkamah Konstitusi.

Satu poin penting lagi adalah bahwa PP 122 Tahun 2015 (yang merupakan peraturan transisi setelah UU Air dibatalkan) melarang swasta untuk mengoperasikan unit distribusi (hanya dapat berinvestasi di pengembangan air baku dan unit produksi). Hal ini membuat Kontrak Kerja Sama air Jakarta tidak sesuai dengan hukum yang berlaku. Jadi, sebenarnya ada argumen hukum cukup kuat untuk forum arbitrase, meski tidak ada jaminan untuk menang.

Ketiga, akuisisi sebagian saham. Beberapa waktu lalu sebenarnya petahana sempat berniat mengakuisi saham perusahaan air. Saham swasta akan diakuisi oleh Pemerintah Provinsi Jakarta dan dengan demikian, pemprov akan bisa mengontrol pengambilan keputusan di dalamnya. Langkah ini sebenarnya merupakan langkah yang rekonsiliatif, namun ada beberapa kendala: (i) akuisisi sebagian (51%) saham di Palyja perlu setidaknya uang Rp 1 triliun dan (ii) ada kontroversi siapa yang seharusnya mengakuisisi saham, PAL Jaya atau PAM Jaya.

Akhir-akhir ini Ahok berbicara di media bahwa dirinya lebih cenderung pada penggabungan PD PAL dengan PAM Jaya dan tidak lagi mengejar opsi akusisi saham Palyja. Pelayanan air dan sanitasi bisa disatukan karena biaya rata-rata pelayanan air dan sanitasi menjadi lebih murah apabila ditangani satu perusahaan dan ada kemungkinan untuk melakukan subsidi silang antara air dan sanitasi.

Meski demikian, keuntungan dari penggabungan ini menjadi kurang berarti karena sebahagian pelayanan airnya masih dipegang swasta (tidak menyatu seutuhnya), walau bisa saja dalam jangka panjang biaya penyediaan air baku menjadi menurun.

Keempat, solusi yang dapat dilakukan adalah tetap dengan skema konsesi, tetapi dilakukan secara konsekuen. Maksudnya, apabila Pemprov DKI menghendaki kerja sama suplai air dengan swasta untuk berjalan dengan baik, maka posisi badan regulator harus diperkuat dengan peraturan daerah dan diberikan kewenangan-kewenangan nyata untuk dapat memberikan sanksi kepada para pihak.

Saat ini posisi badan regulator tidak lebih sebagai mediator apabila terjadi ketegangan antara Pam Jaya dengan pihak swasta. Dengan demikian, Kontrak Kerja Sama di Jakarta selama ini sebenarnya dipraktikkan tanpa infrastruktur regulasi yang memadai. Sebenarnya ketika dilakukan renegosiasi ulang pada tahun 2001, Kontrak Kerja Sama sudah memuat rencana untuk memperkuat posisi badan regulator lewat perda, namun sampai saat ini belum terealisasi.

Mohamad Mova Al'Afghani
Mohamad Mova Al'Afghani
Direktur Center for Regulation, Policy and Governance (CRPG). Memperoleh PhD dari Universitas Dundee (2013)
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.