Jumat, Maret 29, 2024

Agar KPU Lebih Mandiri dan Profesional

Fadli Ramadhanil
Fadli Ramadhanil
Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Jakarta
Pimpinan DPR antara lain Fadli Zon, Fahri Hamzah, dan Taufik Kurniawan berfoto bersama dengan tujuh komisioner KPU dan lima komisioner Bawaslu terpilih di sela rapat paripurna masa persidangan IV tahun sidang 2016-2017 di Komplek Parlemen Senayan, Jakarta, Kamis (6/4). ANTARA FOTO/M Agung Rajasa

Apresiasi perlu disampikan kepada Komisi II DPR. Meski awalnya sempat menyampaikan berbagai macam penolakan untuk memilih anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), Komisi II DPR akhirnya memilih 7 nama untuk anggota KPU dan 5 nama untuk anggota Bawaslu periode 2017-2022.

Jika dilihat secara konstitusional, sebetulnya tidak yang istimewa juga dengan langkah Komisi II DPR yang memilih anggota KPU dan Bawaslu periode 2017-2022 pada dini hari 5 April 2017 lalu. Karena kewajiban untuk melaksanakan uji kelayakan dan kepatutan, kemudian memilih 7 nama dan 5 nama untuk KPU dan Bawaslu adalah ketentuan di dalam UU Nomor 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilu.

Sulit untuk tidak mengatakan bahwa manuver dari Komisi II DPR yang berencana menolak keseluruhan nama-nama calon anggota KPU dan Bawaslu merupakan akibat dari langkah KPU melakukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi. Ketentuan yang ada di judicial review adalah kewajiban KPU untuk berkonsultasi dengan DPR dan pemerintah yang hasilnya bersifat mengikat dalam menyusun Peraturan KPU.

Kemarahan Komisi II DPR semakin menjadi-jadi karena lima orang dari tujuh anggota KPU periode 2012-2017, yang mengikuti seleksi KPU periode 2017-2022, semuanya lolos untuk mengikuti uji kelayakan dan kepatutan di DPR. Komisi II DPR menganggap langkah judicial review yang dilakukan KPU tidaklah etis dan bentuk perlawanan kepada DPR dan pemerintah sebagai pembentuk undang-undang.

Pandangan dan persepsi inilah yang tidak tepat serta perlu diluruskan. Pertama, upaya KPU melakukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi atas sebuah undang-undang yang dianggap merugikan KPU secara kelembagaan adalah langkah konstitusional yang dijamin oleh konstitusi.

Kedua, langkah KPU melakukan judicial review adalah usaha guna menjaga dan memastikan kemandirian kelembagaan KPU dalam melaksanakan tugas, fungsi, dan wewenangnya, dalam hal ini menyusun Peraturan KPU. Langkah ini juga diambil setelah serangkaian proses konsultasi penyusunan Peraturan KPU justru mengintervensi jauh kewenangan KPU, bahkan memaksa KPU untuk membuat pengaturan yang parsial dan bertentangan dengan UU.

Salah satu contoh yang paling dekat dengan ingatan publik tentu saja ketika proses penyusunan Peraturan KPU No. 9 Tahun 2016 Tentang  Pencalonan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota. Pada kesempatan itu, sebagian besar kelompok fraksi di Komisi II meminta KPU untuk mengatur bahwa orang dengan status terpidana percobaan diperbolehkan untuk menjadi calon kepala daerah.

Padahal, hal tersebut jelas bertentangan dengan UU No. 10 Tahun 2016, yang melarang orang berstatus terpidana menjadi calon kepala daerah. Norma di dalam UU No. 10 Tahun 2016 secara jelas mengatakan bahwa orang yang berstatus terpidana tidak bisa dinyatakan memenuhi syarat menjadi calon kepala daerah. Apa pun bentuk status terpidananya. Artinya, orang berstatus terpidana percobaan juga termasuk menjadi objek yang dilarang menjadi kepala daerah sampai selesai menjalani masa hukumannya.

Praktik inilah kemudian yang membahayakan kemandirian KPU. KPU “dipaksa” membuat aturan di dalam forum konsultasi itu yang potensial bertentangan dengan UU. Jika dibaca konstruksi permohonan judicial review KPU ke Mahkamah Konstitusi perihal Pasal 9 huruf a UU No. 10 Tahun 2016, kondisi di ataslah yang menjadi alasan utama permohonan KPU.

Di samping persoalan judicial review, KPU periode 2012-2017 memang berhasil membuktikan dan memberikan pesan kepada publik bahwa soliditas, profesionalitas, dan menjaga kemandirian adalah kunci dari membangun kelembagaan KPU sebagai penyelenggara pemilu. Banyak hal penting yang sudah dibuat dan dibangun oleh KPU periode 2012-2017.

Salah satu yang  harus dijaga oleh penerusnya adalah konsistensi menjaga kemandirian lembaga, inovasi pembaharuan terkait dengan teknis penyelenggaraan pemilu, dan keterbukaan data dan informasi dalam setiap tahapan pelaksanaan pemilu.

Anggota KPU Terpilih

Tantangan KPU periode 2017-2022 tidaklah mudah. Kepercayaan publik kepada kelembagaan KPU tetap perlu dijaga, seiring dengan tugas berat yang sudah menunggu, yakni melaksanakan Pemilu 2019.

Namun, belum saja dilantik sudah ada keluar pernyataan kontraproduktif dari Wahyu Setiawan, salah satu anggota KPU terpilih. Pernyataan yang bersangkutan, seandainya dia menjadi anggota KPU, dia tidak akan menempuh langkah judicial review ke Mahkamah Konstitusi perihal ketentuan konsultasi Peraturan KPU yang mengikat. Ini tentu pernyataan yang mengherankan, dengan status yang bersangkutan masih menjadi anggota KPU Jawa Tengah.

Di tengah perjuangan koleganya (anggota KPU periode 2012-2017) mempertahankan kemandirian KPU atas segala intervensi yang telah dilakukan, yang bersangkutan justru bersikap sebaliknya. Bahkan, dalam proses uji kelayakan dan kepatutan di DPR, yang bersangkutan menyatakan siap mengundurkan diri, jika nanti KPU melakukan judicial review lagi. Komitemen yang bersangkutan untuk siap bertarung mempertahankan kemandirian kelembagaan KPU sudah patut dipertanyakan.

Belum lagi pernyataan anggota KPU terpilih lainnya, Pramono Ubaid Tanthowi. Sosok yang hari ini masih menjabat sebagai Ketua Bawaslu Provinsi Banten itu secara terang mengatakan, ketentuan konsultasi yang mengikat dengan DPR dan Pemerintah dalam proses penyusunan Peraturan KPU merupakan sesuatu yang tidak bermasalah (Kompas, 7/4). Pada titik ini, kekhawatiran akan sosok anggota KPU yang akan kompromistis terkait kemandirian kelembagaan KPU dalam melaksanakan tugas, fungsi, dan wewenangnya sangat masuk akal.

Tetapi, komisioner KPU yang baru ini memang belum dilantik. Jika tidak ada perubahan, 7 komisioner periode 2017-2022 akan dilantik pada Selasa, 11 April 2017. Saya masih menyisakan ruang kemungkinan bahwa pernyataan Wahyu dan Pramono adalah cara untuk menjaga hubungan baik di awal keterpilihan mereka oleh Komisi II DPR. Selepas terpilih dan menjalankan tugasnya sebagai anggota KPU, semoga yang bersangkutan bisa terus menjaga standar tinggi kemandirian, soliditas, dan profesionalitas yang sudah dipertontonkan oleh anggota KPU Periode 2012-2017. Selamat Bekerja!

Fadli Ramadhanil
Fadli Ramadhanil
Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Jakarta
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.