Peringatan dan analisis tentang rencana demonstrasi pada 4 November nanti bertiup begitu kencang. Diramaikan analisis yang cukup menegangkan. Pemerintah dan ormas Islam memainkan peran yang luar biasa memberi peringatan dan seolah wajib mengedukasi warga soal kandungan dan motivasi demonstrasi tersebut.
Namun, seperti kita ketahui, di banyak hal lain pemerintah dan ormas Islam serta tokoh-tokohnya lebih sering kecolongan, mungkin tepatnya mengabaikan, informasi tentang nasib rakyat kecil yang dirampas dan ditindas lalu aparat datang tergopoh-gopoh usai kejadian.
Korban penggusuran, korban perampasan tanah, korban konflik tenurial (lahan) warga versus korporasi yang massif sepertinya sangat jarang menjadi perhatian mereka.
Tapi berbeda untuk demo tanggal 4 November, semua unsur tampak sigap dan kompak membuat woro-woro peringatan begitu serius dengan analisis yang lumayan mutakhir.
Jadi, sebenarnya wajah pemerintah dan ormas Islam mana yang patut kita dengarkan dan percayai?
Wajah ketika mereka bicara politik adiluhung melibatkan narasi besar dan kepentingan tokoh-tokoh nasional besar atau wajah ketika mereka mengurus urusan politik sehari-hari melibatkan kepentingan rakyat biasa?
Sebagai generasi hibrida dari Orde Baru dan Reformasi, kita terbiasa untuk selalu awas justru ketika pemerintah dan ormas Islam yang biasanya diam pada soal-soal nasib rakyat, kini tampil begitu aktif. Mohon dimaafkan jika ada banyak selidik dan curiga, karena generasi ini sudah terlatih dibohongi dan pada gilirannya terbiasa memisahkan dusta dari kata.
Begitu banyak analisis bahwa demonstrasi tanggal 4 November nanti punya tujuan lebih besar dari sekadar menjungkalkan Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok. Bahwa demo yang dimotori umat Islam radikal dan ekstrem itu adalah sebentuk konsolidasi instan Islam radikal dan ekstrem untuk memecah-belah Indonesia.
Umat Islam, yang lagi-lagi karena emosinya dan jumlahnya dianggap, akan memberi “hadiah” peperangan kepada bangsa ini untuk melakukan Balkanisasi dan Suriahisasi terhadap kepentingan NKRI. Analisis itu begitu ramai dan kuat, sehingga nampak seperti ramalan yang hendak berusaha terbukti.
Entahlah, mungkin saja itu benar, meskipun analisis terhadap jejak footprint gerakan radikal ekstrem seperti ISIS dan kaum Wahabi Takfiri harus pula dibahas sehingga tampak nyata dan rasional. Tidak terkesan mengada-ada dan emosional dan seperti kebiasaan kita selalu membawa-bawa umat Islam Indonesia yang sudah berpuluh-puluh tahun sering dipinjam dan digunakan nama dan orangnya untuk kepentingan politik.
Tapi dalam tulisan ini izinkan juga saya mengajukan spekulasi rasional lain, untuk mengukur dan menepis anggapan berlebihan bahwa konsolidasi Islam radikal dan ekstrem itu tunggal dan sendirian merancang dan mengorganisir dirinya.
Dengan segala hormat, sepanjang karir politik gerakan Islam Indonesia post-kolonial, apalagi di era Soeharto hingga kini, kelompok Islam ekstrem lebih banyak berperan menjadi serdadu partikelir lapangan semacam “foot soldiers” dari kepentingan-kepentingan politik adiluhung, terutama negara lain yang jauh, yang biasanya bersumber pada logika politik ekonomi sumber daya alam yang kolonialistik.
Dan yang paling penting yang ingin saya katakan, semoga kita cukup tenang untuk menimbangnya, peringatan untuk mengkhawatirkan bahkan cenderung menakuti-nakuti dan membuat panik warga tentang Suriahisasi dan Balkanisasi dari kekuatan dan konsolidasi Islam ekstrem pada unjuk rasa tanggal 4 November nanti itu agak mencurigakan dan kurang adil kepada rakyat.
Selama ini kita tahu ada kesan dan kejadian bahwa justru kekuatan Islam ekstrem seperti ISIS dan kelompok Islam intoleran yang berusaha untuk eksis sendirian dengan memberangus keragaman di Indonesia, seperti yang berafiliasi dengan ANNAS (Aliansi Nasional Anti Syiah), justru seolah dibiarkan berkembang dan beranak-pinak di Indonesia. Mereka hidup dan aktif bahkan terlihat bercengkrama dan bersosialita dengan pejabat publik nasional negara kita.
Karena itu, begitu mengherankan jika pemerintah dan ormas Islam kini tergopoh-gopoh memperingatkan tentang betapa berbahayanya mereka, kini ketika mereka bertumbuh dan mengkonsolidasikan diri. Apakah ini bukan permainan politik?
Unjuk rasa politik tanggal 4 November itu pada dasarnya adalah demonstrasi biasa sampai kemudian terbukti sebaliknya. Sebaiknya kita sudahi memberi analisis-analisis spekulatif yang menuding umat Islam akan melakukan “pengkhianatan” terhadap negeri ini. Selain belum tentu faktual, analisis itu justru akan mengirimkan pesan dan ide lebih jelas kepada penunggang demonstrasi itu untuk mewujudkannya.
Demonstrasi itu akan berlangsung wajar dan damai jika pemerintah tenang, awas, dan bekerja menangani demonstrasi dengan wajar dan cerdas. Jangan menyiramkan bensin tentang ide-ide “pemberontakan” ihwal penyelenggaraan demonstrasi itu kepada rakyat. Simpan saja ide dan analisis itu untuk kepentingan aparat dan intelijen negara. Kecuali kita semua memang sedang berpolitik sejak awal.