Tahun 2017 segera akan lewat. Tahun ketiga pemerintahan Joko Widodo yang mulai menunjukkan hasil kerja fisiknya, namun bagi saya dan banyak Muslim lain di negeri ini terasa sebagai tahun yang menyesakkan, penuh gejolak, ujian, dan sekaligus bahan untuk merenung.
Di negeri yang indah ini umat Islam sedang menghadapi cobaan. Ada tanda-tanda mencolok banyak Muslim di sini sedang mengeras sikapnya. Agresif dan cenderung menyudutkan yang bukan seiman dan sepemahaman karena alasan yang sulit dicerna. Berlebihan waspada dan curiga karena yang di luar kelompoknya dianggap membahayakan eksistensi agamanya.
Ayat-ayat suci al-Qur’an dibaca, dikutip, dan ditafsirkan secara harfiah, di luar konteks peristiwa, tempat, dan waktu diturunkannya wahyu. Pengkafiran serta ancaman azab neraka dilontarkan kepada mereka yang tidak sependirian. Surga dimonopoli seakan hanya cukup untuk mengakomodasi mereka yang sealiran. Rasa empati, kasih sayang, dan penghormatan kepada yang berbeda mendadak lenyap dari kehidupan beragama.
Sebagian ustaz dan pendakwah ketika memegang pengeras suara menjadi galak, nyinyir, marah-marah, dan penuh kebencian. Apa sebenarnya yang sedang terjadi di negeri ini? Apa penyebabnya?
Menjawab pertanyaan ini memang tidak mudah. Ada berbagai kemungkinan atau kombinasi dari berbagai kemungkinan di bawah ini yang bisa menjadi faktor paling berpengaruh.
Pertama, selama sepuluh tahun pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono telah terjadi lepas kendali terhadap kegiatan dan tumbuh suburnya ormas-ormas garis keras yang berkembang biak dan mencapai puncaknya pada permulaan periode Presiden Jokowi. Sikap SBY yang sering diutarakannya dengan ungkapan “one thousand friends and zero enemy” bagi politik luar negerinya, kenyataannya juga mencerminkan sikapnya di dalam negeri.
Menutup mata dan melakukan pembiaran terhadap ormas-ormas radikal menjadi bagian dari kebijakannya untuk menambah kawan dan mengurangi lawan, seperti juga kebijakannya yang tak bersedia mengurangi pemborosan ratusan triliun rupiah subsidi bahan bakar minyak (BBM).
Kedua, Pemilu Presiden 2014 adalah awal dari pesta demokrasi yang tercemar oleh kampanye hitam yang memprihatinkan. Nafsu meraih kekuasaan telah mengambil alih akal sehat dengan menebar kebohongan, fitnah, dan kebencian. Masih segar dalam ingatan kita ketika calon presiden Jokowi disebut komunis, keturunan Cina, ibunya bukan muslimah dan lain-lain. Hampir saja taktik ini berhasil dengan defisit suara yang tidak seberapa, maka dilanjutkan dengan lebih intensif pada pemilu gubernur DKI dengan sukses di tahun ini.
Kali ini taktik yang serupa diterapkan tetapi dengan intensitas lebih tinggi pada fokus “pembelaan” Islam dan propaganda bahwa Islam akan tersingkirkan dari ibu kota bila seorang calon gubernur Nasrani terpilih. Suatu momentum serangan yang dengan sistematis dimanfaatkan terhadap seorang petahana yang memang tidak tertolong, sebagiannya karena kebiasaannya ceplas-ceplos tanpa mempedulikan akibatnya.
Sejak saat itu umat Islam, dan tidak terbatas hanya di Jakarta, mulai terbelah menjadi yang pro dan anti Ahok, yang merasa terancam keislamannya dan yang merasa aman, yang “membela” Islam dan yang merasa tak ada yang perlu dibela dalam keislamannya sejauh ini, yang literalis dan yang kontekstual, serta yang merasa murni serta memonopoli kebenaran dan yang berkeyakinan bahwa perbedaan dalam pemahaman Islam adalah rahmat.
Ketiga, partai oposisi sekuler Gerindra bersama partai berbendera Islam (PKS) dan belakangan didukung Partai Amanat Nasional (PAN) yang juga berbasis pemilih Muslim, bergabung menyatukan kekuatan dan mengombinasikan kampanye berbagai “kegagalan” pemerintah yang berkuasa dengan sentimen agama pada Pilkada DKI lalu. Fokus kampanyenya bahwa negeri ini sedang dikuasai kekuatan asing dan aseng (baca: Cina) dengan umat Islam yang mayoritas menjadi korban dan terpinggirkan.
Akibatnya, kelompok Islam garis keras termakan oleh ilusi yang dirancang dengan sistematis, mendapat bahan masukan baru sebagai kelompok yang bukan saja merasa terancam eksistensi agamanya tetapi juga terpinggirkan kepentingan ekonominya.
Terdorong oleh ampuhnya strategi di DKI itu, ketiga partai politik itu ingin mengulang keberhasilannya dengan kembali bergabung baru-baru ini dalam koalisi untuk memenangkan Pilkada serentak 2018 di berbagai daerah, termasuk di seluruh provinsi di Jawa. Bergantung kepada hasil pilkada serentak nanti, bukan tidak mungkin kelompok ini akan menerapkan lagi taktik sentimen agama ini pada Pemilihan Presiden 2019 mendatang.
Keempat, kemajuan ekonomi dan meningkatnya jumlah kelas menengah secara signifikan selama satu dekade terakhir telah menciptakan kebutuhan baru. Ada kehausan kerohanian yang harus dipuaskan sehingga pengajian dan majlis zikir makin marak di mana-mana, termasuk pengajian kelas eksekutif. Akibatnya, timbul kebutuhan banyak ustaz.
Profesi ustaz kemudian menjadi menarik dengan imbalan yang menggiurkan, terutama setelah banyak contoh ustaz yang “sukses” menjadi selebriti dengan penghasilan melimpah. Maka, berbondong-bondonglah orang menjadi ustaz, termasuk yang ilmu agamanya cekak dan pemahaman Islamnya pas-pasan.
Pengajian kemudian disesuaikan dengan permintaan pasar, memberi solusi instan dunia-akhirat yang mudah dipahami, solusi hitam-putih surga-neraka. Sebab, baik sang ustaz maupun pendengarnya tak mampu menyampaikan dan menyerap lebih dari itu. Ketika itulah pemahaman agama yang tekstual bertebaran tanpa pemahaman konteks dari wahyu Ilahi yang diturunkan 1400 tahun yang lalu.
Kelima, tanpa perlu berpanjang-panjang lagi, kita semua tahu bahwa media sosial dalam era internet ini berperan besar dalam memperburuk situasi. Lebih buruk lagi ketika banyak penggunanya yang menyembunyikan identitas aslinya. Ajang perang kebencian menjadi makanan sehari-hari. Untunglah belakangan ketika pemerintah mulai sigap dan membawa beberapa lakon ujaran kebencian ke meja hijau, tampak ada sedikit keredaan dalam arena perang ini.
Keenam, dalam perang konvensional, penguasaan lapangan dan kawasan menjadi target perebutan yang berperang. Setelah kawasan dikuasai kemudian dilakukan fortifikasi guna menahan serangan musuh dan menyerang balik. Dalam perang persaingan pengaruh keagamaan di negeri kita tampaknya masjid dan mushola yang menjadi ajang perebutan. Siapa yang menguasai lebih banyak masjid, maka dialah yang akan menggaet lebih banyak pengikut. Inilah yang terjadi saat ini.
Dengan agresif dan sistematis berbagai kelompok garis keras terus mengembangkan penguasaan atas masjid-masjid dengan menyusup ke dalam kepengurusannya untuk kemudian mengambil alih sepenuhnya. Dengan begitu, merekalah yang akan menentukan siapa yang bisa tampil memberi tausiyah dan khutbah serta mengarahkan jamaah. Dengan modal ilmu agama yang minimal, mereka terlatih rajin dan berdedikasi sehingga menarik hati pendana masjid.
Bahkan masjid-masjid BUMN telah terkontiminasi dan konon mereka juga sudah masuk ke masjid-masjid TNI dan Polri. Di luar itu, Kementerian Pendidikan kita juga sudah kecolongan dengan adanya guru-guru agama beralira keras. Juga terjadi beberapa peristiwa ditemukannya buku-buku pelajaran agama yang tendensius dan bertentangan dengan ideologi bangsa. Dalam jangka panjang, kelengahan seperti ini akan berbahaya bagi kerukunan dan kesatuan republik yang kita cintai ini.
Ketujuh, kelompok garis keras ini adalah kelompok yang militan,agresif, dan berdedikasi tinggi serta terorganisasi dengan baik. Meski berulang kali kita mengatakan bahwa mereka itu minoritas, namun mayoritas yang diam dan tak terorganisasi menjadi tertinggal di belakang mereka dalam arena persaingan. Dengan penguasaan masjid serta bekerjasama dengan kekuatan politik yang membonceng, mereka memiliki kemampuan memobilisasi massa dengan cepat dan leluasa. Ini adalah salah satu kelebihan mereka yang sejauh ini tak tampak diimbangi oleh kelompok moderat.
Kumpulan massa besar-besaran di Monas yang telah beberapa kali berjalan dengan peliputan media secara luas, sedikit banyak telah pula menciptakan band wagon effect bagi mereka yang di luar kelompok menjadi tertarik untuk kemudian bergabung.
Tahun Politik
Di tahun baru 2018 yang segera datang dan pada tahun berikutnya, negeri ini akan disibukkan dengan kegiatan politik pilkada serentak dan disusul dengan pemilu presiden. Perhatian akan tercurah ke dua peristiwa itu dan rakyat akan digiring ikut meramaikannya atau memanaskannya. Bila suasana panas yang sudah mulai terasa kini berlanjut dan meningkat, negeri ini akan mengalami kerugian besar karena mengesampingkan konsentrasinya dari tugas utama negara untuk meningkatkan kesejahteraan warganya.
Khusus dalam kehidupan keberagamaan yang seharusnya membawa kedamaian dan kesejukan, bila gejala tahun 2017 berlanjut dan meningkat, akan berakibat koyaknya tenunan bangsa, perpecahan antara agama, golongan, suku, dan bahkan intra-agama. Kesatuan yang diwariskan oleh para pendiri bangsa akan terancam dengan berbagai akibat yang tak terbayangkan.
Kebijakan yang antisipatif harus sudah disiapkan sejak sekarang bila kita tak ingin keadaan menjadi lebih buruk. Perppu Nomor 2 Tahun 2017 tentang ormas anti-Pancasila yang telah disahkan menjadi undang-undang serta hukum yang mulai ditegakkan terhadap ujaran kebencian telah terbukti memberi dampak positif dengan menurunnya provokasi dan intensitas pencemaran nama baik dan fitnah di sosial media.
Ancaman hukum dan tindakan tegas kepada partai politik dan media massa yang menggunakan isu SARA dalam upaya meraih suara harus ditegakkan tanpa ragu. Media cetak dan tv agar didorong menonjolkan para ustaz dan dai yang bertanggung jawab dengan pemahaman Islam yang bersahabat.
Mayoritas diam agar dibangunkan dari tidurnya dan didoorong untuk bergiat tanpa melanggar aturan hukum untuk mengimbangi penguasaan arena oleh kelompok radikal. Ormas moderat besar seperti NU dan Muhammadiyah beserta lembaga-lembaga pendidikan di bawahnya bila perlu disokong dengan batuan langsung pemeritah untuk lebih mengintensifkan perannya dalam mewujudkan kehidupan beragama yang bermanfaat.
Dalam hubungan ini, kedua ormas besar itu agar didorong untuk lebih mengawasi masjid-masjid di bawah naungannya agar tidak jatuh di bawah kendali kepengurusan yang tidak dikehendaki. Begitu pula masjid di lingkungan BUMN dan instansi-instansi pemerintah. Masjid dan kampus agar dibebaskan dari kegiatan politik praktis.
Dalam jangka lebih panjang, perhatian agar diberikan oleh Kementerian Pendidikan pada kurikulum keagamaan serta rekrutmen guru-guru agama di berbagai sekolah. Akhirnya, semua permasalahan keberagamaan yang memprihatinkan di tahun ini sekali-kali tidak boleh dianggap enteng dan disepelekan bila kita tidak menghendaki negeri ini menjadi ajang kekacauan seperti tragedi yang terjadi di beberapa kawasan di Timur Tengah.
Tentu saja semua itu harus dilakukan dalam koridor hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku tanpa mengesampingkan hak-hak asasi manusia.
Kolom terkait:
Ormas Radikal dan Demokrasi yang Tersandera
Ahok, Penistaan Agama, dan Defisit Percaya Diri Kaum Muslim
Tommy Soeharto dan Islamisasi Oligarki