Bagi kita yang melek teknologi, dan dengan demikian melek huruf, peristiwa G 30 S dan peristiwa pembantaian yang mengikutinya dalam versi Orde Baru, saya kira tak lagi bercokol di kepala kita. Banyaknya buku dan pelbagai ulasan di media cetak maupun elektronik tentang peristiwa itu tentu sedikit banyak membuka mata kita tentang apa yang sesungguhnya terjadi. Tidak sekadar dongeng horor sebelum tidur ala Pengkhinatan G30S PKI besutan Arifin C. Noer.
Pada titik itu, membicarakan apa dan bagaimana peristiwa tersebut sungguh sudah tidak relevan. Kita bisa merujuk banyak buku untuk menunjukkan hal itu. Pada titik lain, saya sepenuhnya sadar akan kenyataan sebagian besar masyarakat Indonesia yang masih menerima mitos ala Orde Baru, namun hal itu bisa diperbincangkan di kesempatan lain.
Yang penting direfleksikan pada peringatan 50 tahun tragedi 1965 hari ini, setelah kita bisa mengatakan move on dari perdebatan sejarah resmi dan sejarah alternatif, adalah perihal demokrasi dan juga pembunuhan.
Setelah tragedi 1965, komunisme dianggap tabu di negeri ini. Partai Komunis Indonesia (PKI) secara hukum ditetapkan sebagai partai terlarang. Di bawah Orde Baru, bahkan membaca buku-buku yang berbau komunisme marxisme—atau yang nyerempet sedikit dengan masalah itu—pun dianggap tindakan kriminal. Padahal kita tahu pula, mempelajari, mencoba mengerti, dan lantas memeluk suatu paham yang dianggap seseorang baik untuk asumsi otaknya adalah hak asasi.
Dan tepat di sinilah kaidah demokrasi sesungguhnya: melindungi dan menjamin siapa saja bebas untuk mempelajari dan meyakini apa pun yang dianggapnya baik dan cocok untuk dirinya. Tak terkecuali seorang atheis. Maka, bisa dikatakan, hanya satu yang tabu di dalam demokrasi Indonesia sejak TAP/MPRS/XXV/1966; komunisme dan atau marxisme leninisme.
Dengan penuh hormat pada pendapat Prof. Frans Magnis-Suseno di Kompas (29 September 2015) yang mengatakan bahwa PKI berusaha untuk berkuasa di Indonesia pada era 1950-an hingga 1960-an, bukankah memang pada dasarnya setiap partai politik ada untuk berkuasa? Apa pula tujuan partai politik ketika mengikuti pemilu selain untuk meraup suara dan setelah itu duduk di parlemen lantas bisa mengusung calon presiden dan wakil presidennya?
Pemilu tentu saja adalah cara yang paling demokratis dalam “bertempur” merebut kekuasaan itu. PKI tidak bisa tidak harus pula dilihat sebagai sebuah partai politik, tidak berbeda dengan partai politik lainnya.
Di era Orde Baru, demokrasi kita tentu saja jauh dari praktik sesungguhnya demokrasi. Salah satu penanda jelasnya adalah Golkar berkali-kali menang bahkan sebelum pemilu dilaksanakan. Di masa sekarang pun, demokrasi kita melahirkan penyakit-penyakit seperti politik uang, pemutarbalikan data, kolusi dan nepotisme serta banyak masalah lainnya.
Barangkali memang hanya kebetulan Orde Baru memulai kekuasaannya dengan cara mengebiri hak warga negara untuk membaca, mempelajari, dan bersimpati pada marxisme-leninisme dan atau komunisme. Tetapi tentu kita pun samar-samar bisa melihat benang merahnya, jika tidak mau menyebut pengebirian tersebut sebagai cikal bakal keadaan demokrasi kita sekarang.
Pembantaian, penangkapan, dan pemenjaraan tanpa proses hukum lantas mengikuti G 30 S. Banyak jumlah korban berjatuhan. Oleh John Roosa, G 30 S dikatakan sebagai pelegitimasian atas pembunuhan massal yang terjadi setelahnya. Hal ini gamblang ditemukan dalam bukunya dengan judul yang sangat tersurat, Dalih Pembunuhan Massal: Gerakan 30 September dan Kudeta Suharto. Banyak sudah pula film dokumenter yang menggambarkan bagaimana pembunuhan dan penangkapan itu dilakukan dengan begitu kejam.
Membayangkan dan mencerna peristiwa pembantaian dan juga penangkapan itu sungguh membuat kepala dan hati kita bergidik. Sungguh betapa bisa sebegitu kejamnya orang Indonesia; bahkan melampaui kekejaman manusia zaman prasejarah terhadap sesama manusianya. Namun tentu kekejaman manusia zaman prasejarah dilegitimasi oleh sebuah sistem hidup kemasyarakatan dan world view yang masih sangat rendah. Berbeda dengan apa yang terjadi pada Indonesia pasca-1965, di mana bahkan istilah hak asasi manusia dan genosida pun bukan hal yang sama sekali baru kala itu.
Gambaran ini semakin menyeramkan jika kita betul-betul merenungkan kenyataan ini. Pembunuhan, penangkapan, penyiksaan, dan pemenjaraan tanpa proses hukum itu dilakukan oleh aparat negara kepada sesama warga negaranya sendiri, sesama warga negara kepada rekan sesama warga negara yang lain, tetangga kepada tetangganya, kolega kantor terhadap mitra kerja di kantornya, dan terkadang bahkan saudara terhadap saudaranya sendiri..
Lagi-lagi Orde Baru memulai kekuasaannya juga dari gelimang darah dan cara seperti di atas. Lagi-lagi pula kita tahu dengan terang benderang, Orde Baru hidup dengan darah yang terus menetes dari ujung bayonetnya. Kita bisa menyebutkan banyak contoh: pembantaian Tanjung Priok, Aceh, Talangsari, Timor Leste, dan masih banyak lagi.
Betapa murahnya harga nyawa seseorang dan betapa tak berartinya hak dan status seseorang sebagai warga negara Indonesia bukan berarti berakhir setelah Orde Baru runtuh. Warga negara ditembak di dalam rumah tahanan milik negara secara ilegal dan warga negara dibunuh membabi buta oleh aparat di Papua adalah wajah Indonesia kini.
Yang terakhir, kita tahu Samin Kancil dibunuh dengan begitu kejamnya lantaran mempertahankan tanah tempat ia mengais hidup. Harga nyawa manusia masih terus saja begitu murah di negeri ini. Barangkali memang karena kita terlalu malas untuk mengingat dan kita terlalu penakut untuk mengakui bahwa pernah beribu-ribu nyawa dengan begitu gampangnya dibunuh dengan cara yang sangat kejam di negeri ini.