Pada kisah pewayangan orang menemukan perihal filosofi jejer: identitas seseorang yang dapat ditentukan oleh peran dan fungsinya dalam sebuah sistem. Seumpama Arjuna, identitasnya adalah seorang ksatria yang sudah menjadi tugasnya untuk berperang. Atau eyangnya, Abiyasa, yang sudah tentu tak akan melakukan tindakan yang dapat menyakiti orang lainnya sesuai dengan jejer-nya sebagai begawan.
Atau Semar, sosok paradoksal yang mampu melintas berbagai batas, yang dapat seenaknya mengobrak-abrik kayangan dan pada saat yang bersamaan dapat kumawula pada bendara-nya.
Dengan logika jejer ini lazimnya orang-orang nusantara tak akan merasa kesulitan ketika, misalnya, menilai sepak-terjang orang lainnya. Di sini kemudian akan tumbuh sebuah sikap nglenggana: memahami dan menerima pilihan masing-masing dan konsekuensi atas pilihannya itu.
Orang tak akan menampik pilihan Bima ataupun Arjuna untuk membunuh seseorang karena memang sudah menjadi jejer-nya sebagai ksatria. Persoalan akan timbul ketika terdapat ksatria yang menolak untuk berperang atau bahkan tak cakap dalam berperang seperti halnya Lesmana Mandrakumara yang tak tahu malu (jirih getih wedi mati).
Pada kasus penolakan untuk menjalankan jejer-nya, barangkali orang akan menyesali pilihan sikap seorang Yudhistira. Bagaimana mungkin seorang ksatria sekaligus raja sampai merelakan para pendukungnya, adik-adik dan isterinya sendiri direndahkan, diinjak-injak martabatnya, dipertaruhkan dalam perjudian?
Benarkan hal itu cerminan bahwa Yudhistira adalah seorang ksatria-pinandhita yang mesti memiliki dan melakoni keikhlasan dan kesabaran tanpa batas? Atau justru sikapnya itu hanyalah tutup bagi mental penjudinya yang sangat menikmati dendam atas kekalahan dan kepuasan atas kemenangan?
Tak pelak lagi, Yudhistira—dari perspektif jejer—tengah melakoni apa yang saya sebut sebagai politik letoisme: pilihan sikap untuk menjadi “bayi” sebagai strategi untuk mengundang simpati dan belas-kasih. Kekuatan seorang “bayi” bukanlah terletak pada seberapa kuat dan pintarnya ia, tapi justru terletak pada kelemahannya.
Tak mungkin rasanya seseorang tiba-tiba menampar atau menyepak seorang “bayi” ketika ia rewel. Sekonyong-konyong orang itu pasti akan menggendong, menyusui, dan meninabobokkannya.
Kelebihan atas pilihan politik letoisme ini tentu berkaitan dengan semakin banyaknya orang yang bersimpati pada sosok yang dicitrakan sebagai orang baik nan manis tapi hidupnya penuh luka, teraniaya dan tanpa daya. Barangkali, ibarat perbedaan dan percekcokan antara suami dan isteri yang umumnya akan lerai demi sang buah hati, pilihan pendekatan letoisme ini memang seperti dapat mendamaikan konflik dan dapat merangkul semua pihak.
Tapi, masalah akan timbul ketika masing-masing, saking sayangnya pada si “bayi,” berupaya menjadi sang pengayom terbaik dan berebut klaim tentang siapa yang paling mengerti dan mampu membahagiakan si “bayi.” Celakanya, kadang para loyalis yang sejak semula mendampinginya mati-matian akan tersisih dan disisihkan.
Kelemahan lainnya terletak pula pada nasib si “bayi” yang tak akan pernah dewasa, mandiri dan bertanggung jawab atas segala kebijakan yang diambilnya.
Konsekuensi lainnya, pendekatan letoisme ini juga terletak pada terbentuknya budaya ewuh-pakewuh karena semua pihak yang mulanya berkonflik, atau memiliki kepentingan yang berbeda-beda (bahkan serasa musykil untuk disatukan), tiba-tiba hidup dalam satu gerbong yang sama ketika luka-luka yang dihasilkan mesti dibenamkan untuk tak menumbuhkan dendam.
Tapi, kisah Yudhistira beserta para pendukungnya tak semanis yang dibayangkan sebelum perang. Kemenangan yang dapat diraih akhirnya mesti terbeli oleh perih kehilangan hingga kemenangan itu pun serasa ampang (tak berisi), untuk apa dan siapa sesungguhnya perang yang hanya menyisakan wirang (malu) lumatnya martabat, dan musnahnya orang-orang tersayang?
Baca juga
Kala Horang Kayah Kongkow di Parlemen Kita
Jokowi di Tengah “Negara Bayangan”
Oligarki, Politik Populisme, dan Orang Baik