Sejak beberapa tahun belakangan terminologi politik identitas mengalami “pasang naik”. Pemilihan Gubernur-Wakil Gubernur DKI Jakarta tahun 2017 dan Pemilihan Presiden-Wakil Presiden tahun 2019 yang riuh rendah dianggap sebagai masa-masa puncak dari ekspresi politik identitas di Tanah Air. Politik dengan aksentuasi yang tinggi pada isu identitas suku, agama, ras dan antar-golongan (SARA) dan bahkan menjadikan isu perbedaan identitas kultural itu sebagai dasar untuk membenci kelompok yang berbeda pilihan politik.
Politik identitas dalam polarisasi sosial yang tajam dalam sejumlah kasus — bahkan termasuk di beberapa negara demokrasi “maju” — menutup kans tampilnya pemimpin yang (lebih) kompeten dan kapabel, tetapi sebaliknya justru melahirkan pemimpin dengan kualitas “menengah” bahkan buruk. Tidak hanya itu, dalam eforia politik identitas, kompetisi politik sepenting Pilpres pun bahkan disederhanakan sebagai urusan perjuangan “hidup-mati” kelompok identitas sendiri versus kelompok lain dibandingkan ikhtiar mewujudkan kepentingan bersama bangsa.
Dinamika menjelang Pilpres 2024, tendensi politik identitas dalam batas tertentu sudah mulai berkurang dibandingkan keadaan lima tahun sebelumnya. Selain masih terbukanya kemungkinan tampilnya lebih dari dua pasangan capres-cawapres yang bisa meredam potensi munculnya polarisasi politik dan antagonisme sosial yang tajam, rekonsiliasi politik yang dibangun pasca-Pilpres 2019 dengan bergabungnya Prabowo Subianto ke dalam Kabinet Indonesia Maju yang dipimpin Presiden terpilih Joko Widodo dalam batas tertentu juga telah berdampak pada minimalisasi kecenderungan antagonisme politik dalam masyarakat Indonesia setelah itu.
Walaupun demikian, ancaman mencuatnya kembali politik identitas menjelang Pilpres dan Pileg mendatang tetap perlu diwaspadai dan diantisipasi. Sebab politik relatif “adem” yang ditampilkan kalangan elite, termasuk para bakal calon presiden dan walil presiden serta ketua umum-ketua umum partai-partai politik di berbagai kesempatan tidak selalu berbanding lurus dengan ekspresi politik para pendukungnya.
Pada tingkat pendukung, persaingan politik dalam proses kandidasi capres dan cawapres belakangan ini antara lain disalurkan lewat berbagai platform media sosial, namun ekspresinya cenderung masih mengarah pada corak pertikaian politik yang seakan mengulangi kondisi pada Pilpres sebelumnya. Para pendukung capres tak sekedar sibuk mengorek kelemahan pihak lain, tetapi eskpresinya juga cenderung mengarah dan memancing munculnya persaingan yang tidak sehat.
Dalam konteks itu tak jarang juga isu-isu sensitif yang mengarah pada politik kebencian ditampilkan kembali, baik yang bercorak politik identitas maupun kontestasi narasi sejarah dalam pemahaman yang sumir. Dalam isu politik identitas, latar belakang seorang kandidat, termasuk latar belakang kulturalnya, dimasalahkan seolah latar belakang SARA menjadi paling penentu bagi seseorang untuk menjadi pemimpin bangsa dibandingkan faktor kompetensi dan kapabilitas.
Demikian juga isu narasi sejarah yang dikaitkan dengan latar belakang capres, keluarga capres, dan histori partai pengusung, juga berpotensi menimbulkan politik kebencian, ketika tim pendukung capres cenderung mengungkit-ungkit masa lalu kandidat lawan di mana dalam pemilu sebelumnya persoalan terkait latar belakang capres yang dipertengkarkan itu dianggap sudah selesai.
Masalahnya, isu-isu terkait masa lalu itu sebagian cenderung dinarasikan secara simplistis, hitam putih, bahkan mengarah pada hoax (berita bohong), seperti juga kejadian pada Pilpres sebelumnya bahwa seolah yang betarung adalah antara “kebenaran” melawan “kebatilan”.
Politik gagasan
Politisasi identitas kultural dan narasi sejarah sumir yang mengarah pada politik kebencian untuk kontestasi jabatan publik jelas bertentangan dengan hakikat demokrasi dan kehidupan berbangsa kita. Sebab politik ala “Machiavelian” ini jelas akan berdampak pada memburuknya kohesi sosial, karena membuka kembali luka lama yang sebenarnya sudah dijahit pasca-Pilpres lalu. Alih-alih membangun negara dan masyarakat, politik identitas dan politisasi sejarah sumir justru membawa negara dan masyarakat pada jurang perpecahan yang lebih dalam dan sulit dipulihkan.
Menaiknya tendensi politik identitas dan narasi sejarah sumir sebenarnya menunjukkan paceklik gagasan dan sebaliknya surplus politik emosional di kalangan para pelaku politik, termasuk para pendukungnya. Mungkin ada atau malah banyak politisi yang punya gagasan bernas untuk negara dan bangsa ke depan, tetapi kelihatannya mereka juga cenderung mengikut tren dan bahkan “memanfaatkan” surplus pencitraan lewat politik identitas dan politisasi narasi sejarah yang sumir jika hal itu yang menguntungkan mereka.
Padahal kalau kita belajar dari sejarah, para perintis negara bangsa kita di masa lalu lebih banyak menonjolkan pikiran. Kalau pun mereka memakai atribut kultural tertentu dalam mengekspresikan gagasannya, bahkan ada ide-ide politik yang saling bertentangan secara ekstrem satu sama lain, seperti Islam dan nasionalisme bahkan Islam versus komunisme, tetapi di balik simbol-simbol identitas politik yang berbeda tajam itu terdapat atau terbentuk “sintesis” berupa cita-cita kebangsaan yang mencerahkan dan melampaui perbedaan identitas-identitas sub-nasional yang ada.
Idealnya, kontestasi politik mengedepankan tarung gagasan di antara para kandidat dan pendukungnya. Politik gagasan tentu tak hanya terkait program yang akan dilakukan setiap kandidat jika terpilih, dan apa diferensiasi masing-masing mereka. Dengan demikian, rakyat mendapatkan pencerahan yang maksimal sebagai dasar bagi mereka untuk datang ke tempat-tempat pemungutan suara nantinya.