Bayangkan Anda berada dalam situasi yang menegangkan, meningkatkan detak jantung, dan adrenalin Anda. Mungkin saja situasi seperti seseorang mencoba mencuri dompet Anda, merampok rumah Anda, atau merampok hingga bahkan mungkin menyakitkan Anda. Dan bayangkan saja jika ada seorang pahlawan, seperti karakter-karakter pahlawan super menyenangkan dari Marvel atau DC, yang tiba-tiba menyelamatkan Anda. Bagaimana perasaan Anda? Apakah Anda akan merasa aman?
Tapi, kenyataannya tak akan pernah ada pahlawan super seperti di layar lebar. Atau mungkin saja kita dapat menciptakan pahlawan itu, dan terlebih lagi, tanpa bermaksud mengecewakan Anda, dunia tak baik-baik saja, kita tak akan pernah aman.
Kita tidak membutuhkan Spider-Man hingga Superman jika memang ada yang mampu memberikan “rasa aman” itu kepada kita, melindungi kita. Kita memiliki Negara, haruskah kita merasa tidak aman? Kita memiliki TNI hingga Polri yang melindungi ini. Militer dan kepolisian bisa menjadi hal yang sama, tapi tetap saja Polri adalah hal yang lain dalam fungsi yang tak sama.
Jika terjadi tindakan kriminal, tugas polisi adalah untuk mencari barang bukti, keterangan-keterangan dari berbagai sumber, saksi-saksi yang nantinya dapat mencari pelaku dan memberikan sanksi atas tindakan yang merugikan pihak lainnya itu. Bukannya pekerjaan kita menjadi ringan karena yang “mengurus” masalah kita adalah pihak kepolisian? Bayangkan saja, jika kita yang tidak memiliki kapabilitas, kemampuan khusus untuk mencari bukti dan kemudian “menyelesaikannya” akan menambah kekacauan lainnya?
Pekerjaan kita tidak menjadi begitu melelahkan sebenarnya. Seorang bapak tak perlu berhenti kerja atau cuti dalam waktu yang lama untuk meyelesaikan sebuah masalah, bukan? Anda tak perlu melewatkan kelas pagi di kampus untuk mencari-cari barangmu yang dicuri, bukan? Atau bahkan tak perlu khawatir melihat adanya kekacauan yang menimbulkan kecelakaan di jalan karena kita ada polisi yang mengatur keamanan jalur lalu-lintas.
Seperti dalam serial Netflix Daredevil, tokoh Punisher punya konflik dengan pahlawan menyenangkan kita, Daredevil. Untuk Anda yang belum menonton atau membaca komiknya, begini sedikit spoiler; Daredevil adalah tokoh pahlawan kita yang menyenangkan, seorang pengacara berpenampilan menarik di siang hari dan seorang pahlawan yang menumpas kriminal di jalanan saat malam hari.
Sedangkan Punisher adalah—tak kurang lebih—seseorang yang tampaknya seperti “pahlawan” tetapi tak cukup menyenangkan. Bagaimana tidak, ia tak segan menyakiti hingga membunuh yang melakukan kesalahan. Berbeda dengan Daredevil yang memutuskan lebih baik menyerahkannya kepada pihak kepolisian.
Ah, ternyata masyarakat tak selalu menyukai pahlawan super karena dianggap kerap main hakim sendiri. Dengan kedatangan mereka yang memberikan rasa aman membuat kita mempertanyakan hal-hal seperti, bagaimana dengan peran kepolisian setempat? Cerita yang sama dalam film Captain America: Civil War di mana orang-orang mempertanyakan peran pahlawan-pahlawan super ini.
Ya, dan banyak dari bagian masyarakat setuju bahwa sudah saatnya pahlawan super ini berhenti bertindak “semau” mereka, sudah ada lembaga-lembaga yang mengatur hukum, maka biarkan mereka bekerja sebagaimana mestinya.
Lalu, bagaimana dengan kinerja kepolisian itu sendiri? Apakah mereka cukup memberikan rasa aman, atau justru sebaliknya? Kepolisian punya wewenang besar, dilegalkan, diberikan senjata, dan dapat melakukan kekerasan. Coba kita lihat kembali konteks kepolisian kita hari ini.
Agenda Menangkap Ikan
Indonesia punya program reality show yang cukup menarik. Program di salah satu TV swasta itu bekerjasama dengan Polri merekam kegiatan dan tugas polisi-polisi saat turun ke lapangan. Saya tak begitu suka menonton TV. Tetapi ketika saya menonton di rumah kawan, saya sempat menonton. Bagi saya program ini cukup menghibur, Anda dapat melihat bagaimana polisi-polisi beraksi, hey, kita dapat memberikan sedikit, setidaknya, apresiasi atas kerja keras mereka.
Ketika menonton program tersebut seakan memberitahu kepada Anda bahwa memberikan sumpah-serapah dan kutukan terhadap polisi bandel tak sebanding dengan mereka yang telah bekerja dengan sungguh-sungguh.
Jika memang program ini ingin mengikuti program kepolisian seperti yang ada di Amerika, saya rasa masih jauh langkahnya mengingat beberapa waktu lalu sebuah episode ramai diperbincangkan netizen. Ada aksi polisi lalu lintas yang menilang supir taksi sedang berhenti di Jalan Tamansari yang terdapat rambu “Dilarang Parkir”. Dengan alasan mobil berhenti, supir taksi mengatakan bahwa ia sedang berhenti, bukan parkir. Karena kondisi mobil tidak dalam keadaan mati dan si pengemudi (supir) taksi berada dalam mobil.
Kelalaian polisi dalam memahami yang sudah menjadi kewajibannya membuat kita semakin meringis saja. Belum lagi banyak kasus-kasus polisi lalu lintas pengendara dengan alasan tak masuk akal yang tak terliput oleh media.
Selalu ada cerita-cerita menarik dan gagal paham dari kepolisian Indonesia. Seperti peristiwa beberapa waktu lalu, ketika aparat gabungan Polda Metro Jaya dan Intelgab Kodam Jaya menangkap pemilik toko di Blok M, Jakarta Selatan. Mereka tidak mengetahui apa itu logo palu dan arit di kaos band Kreator.
Dan yang lebih menarik adalah kejadian di Bantul, aparat gabungan Polres Bantul dan Intelgab Kodam Jaya mengamankan seekor ikan jenis louhan yang memiliki corak mirip logo palu arit.
Hal yang cukup menggelikan bagi kita adalah bahwa banyak hal-hal kecil yang membuat kita “takut” terhadap polisi ini. Saya tak akan lagi membicarakan kenapa Presiden Jokowi harus begitu reaksioner dengan PKI, PKI sudah lama tak ada.
Dan jika ingin membahas sejarah PKI, saya yakin jurnal kiri sebelah sudah menulisnya. Kita dapat menyadari bahwa kita tidak lagi melihat peran polisi yang melindungi masyarakatnya. Masyarakat lebih memilih mengutuk dan menggunjing busuknya kinerja Polri—selain selebriti tanah air tentunya.
Saya yakin menggunjing anak tetangga sebelah yang hamil di luar nikah, selebriti A yang baru cerai, selebriti B yang merebut suami orang, sudah sama seringnya digunjingkan dengan banyaknya polisi yang dirasa begitu payah. Kita tidak merasa aman. Jikalau kita merasa aman, mungkin itu rasa aman palsu yang kita ciptakan sendiri.
Apakah Anda pernah merasa aman ketika sendirian dan keluar dari rumah? Apakah Anda pernah merasa aman ketika melihat polantas di jalan? Sebagian dari kita pasti menghindari polantas dan rasa cemas untuk takut ditilang, meskipun mungkin saat itu Anda membawa surat-surat lengkap.
Tingkah Lucu Polisi dalam Keseharian
Dalam organisasi yang perlu dipahami adalah bukan hanya karena kita memiliki keteramapilan dan untuk mendapatkan pengetahuan agar dapat menjadi kompeten di dalamnya, tetapi lebih dari itu. Dalam kepolisian, tidak hanya mengenai undang-undang, belajar hukum, prosedurnya, atau teknik penegarakan hukum dan penerbitan, tapi juga memperoleh keterampilan organisasi, sikap, dan asumsi yang kompatibel. Kepolisian tidak lagi menjadi wadah untuk melindungi masyarakat karena dalam wacana publik anggapan polisi adalah seseorang yang menangkap dan menahan.
Menjadi bagian dari kepolisian seperti cita-cita yang luhur, ketika orang tua dan anak-anak di rumah terkagum oleh mereka yang melindungi masyarakat. Sayangnya, di perfilman Korea, kepolisian tak dianggap begitu ada, mengingat banyaknya film-film Korea dengan peran polisi-polisi tak cakap dalam bekerja. Misal saja film-film yang diangkat Park Chan-wook atau Bong Joon-ho dengan polisi-polisi yang juga kerap menggunakan kekerasan.
Dan apa yang digambarkan oleh film-film Korea tak lagi terlihat tak nyata. Saya dapat melihat apa yang ingin disampaikan mereka (sebagai filmmaker) terhadap publik adalah tindakan-tindakan lucu polisi dalam keseharian.
Untuk kasus kekerasan oleh aparat, melihat sejarah kita, kita memiliki banyak catatan untuk itu. Seperti yang saya ulas tadi, kepolisian punya senjata dan legalitas itu. Karakter kerja kepolisian umumnya bersifat rigid, militeristik, dan kita sudah mengalaminya di pemerintahan Soeharto pada Orde Baru.
Profesor Andrew Goldsmith dari Flinders University menjelaskan, reformasi polisi di negara pasca otoritarian lebih berupaya untuk mengembalikan kepercayaan publik terhadap institusi kepolisian. Polisi-polisi yang tak lebih sebagai watchdog, dan kita rasa, kita tak membutuhkan itu.
Tak jarang akhirnya muncul polisi-polisi ganteng atau polwan-polwan cantik yang bermunculan di layar kaca hingga pendekatan anak muda dengan mengadakan kompetisi video pendek. Ada banyak. Memang dibutuhkan kepercayaan dari masyarakat sebagai modal bagi kepolisian, namun kenyataan yang dihadapi sekarang adalah publik mempertanyakan peran kepolisian. Masalah ketidakpercayaan ini terletak pada proses politik di struktur kepolisian itu sendiri, seperti dikatakan filsuf Pierre Bourdieu mengenai konstruksi habitus polisi.
Dalam Police Effectiveness and Democracy, Hung-En Sung mengatakan bahwa persepsi publik terhadap perilaku militeristik kepolisian dipengaruhi kuat oleh perilaku rezim kekuasaan (politik), maka akhirnya kita tidak mempercayai kedua instrumen itu. Kita yang tak mempercayai polisi sebagaimana kita tidak mempercayai pemerintahan kita.
Bagi Pierre Bourdieu, konsep “kekerasan” memungkinkan dikembangkan dalam pengertian meluas, bukan sekadar dalam batasan pengertian fisik atau ancaman fisik sebagaimana tindakan militeristik kepolisian. Tapi ada juga “kekerasan simbolik” yang relasinya dengan masyarakat dalam kerangka interaksi yang cenderung melahirkan tindakan koruptif, maupun interaksi internal di dalam organisasi.
Jadi, apa kita membutuhkan kelanjutan cerita pahlawan super?