Jumat, April 19, 2024

PMII Pasca Kongres XX

Deni Gunawan
Deni Gunawan
Koordinator Nasional Pemantau Pemilu Lembaga Studi Visi Nusantara (LS Vinus), penyuka filsafat dan ilmu-ilmu sosial politik. Yang terpenting semua harus bisa ngopi sambil asyik-asyik. 😂

Memang, hajatan kongres PMII (Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia) hanya terjadi tiap dua tahun sekali. Namun, dampak yang ditimbulkan bisa terasa berkali-kali.

Pasca dimulai 17 Maret 2021 minggu lalu, dan direncanakan selesai 21 Maret 2021, para peserta kongres XX PMII telah memenuhi lokasi kongres di beberapa zona yang telah ditetapkan. Semua orang, yang merasa kader PMII ikut larut dalam situasi euforia kongres.

Tak heran, selain peserta kongres resmi yang memiliki hak suara, banyak juga kader-kader PMII yang tidak memiliki hak suara ikut hadir memenuhi arena kongres. Entah itu sekadar melihat-lihat, ngopi-ngopi, atau bahkan berjualan. Mereka biasa disebut dan menyebut diri sebagai romli (rombongan liar). Sebuah istilah untuk kader yang tidak memiliki hak suara dan terlibat langsung dalam kegiatan kongres.

Politik kongres dan organisasi kaderisasi

Sebagai sebuah organisasi kaderisasi, PMII merancang dirinya untuk sesuai dengan kebutuhan mahasiswa Islam. Karena itu, PMII memiliki jenjang pendidikan organisasi baik formal dan informal, dari mulai MAPABA (Masa Penerimaan Anggota Baru) sampai PKN (Pelatihan Kader Nasional), sebagai wadah untuk merekrut dan mendidik kader-kadernya. Tak heran, semakin banyak mahasiswa yang bergabung dengan PMII, maka semakin bagus untuk masa depan organisasi.

Namun, tidak dapat dipungkiri, PMII ternyata tidak hanya organisasi kaderisasi dalam pengertian aslinya, tetapi PMII juga adalah organisasi yang memiliki irisan sangat kuat dengan politik kekuasaan. Setidaknya ini dapat kita lihat dalam setiap hajatan kongres untuk menentukan ketua umum.

Setiap hajatan kongres adalah ajang untuk memperebutkan kursi kekuasaan tertinggi di PMII. Semua kandidat terbaik dan kader pengusung jauh-jauh hari telah melatih dirinya untuk bertarung mencapai posisi itu. Masing-masing dari mereka telah mempersiapkan segala jurus, bahkan jurus pamungkas untuk memenangkan pertarungan. Ibarat pendekar, mereka mungkin telah menyiapkan jurus ke 32, yakni jurus rahasia dan mematikan.

Namun, selain kandidat dan kader pengusung, ada faktor lain di luar itu yang juga menentukan andil kursi ketua umum. Ala kulli hal, hal seperti ini adalah hal lumrah dan biasa untuk sebuah organisasi yang berkelindan dengan politik kekuasaan, termasuk PMII sendiri.

Oleh karena itu, setiap kader mestinya tak perlu cemas dengan fenomena tersebut. Yang perlu dicemaskan adalah ketika kader berlarut-larut dalam kecemasan yang tidak berujung, dan pihak-pihak di luar itu memanfaatkan PMII sebagai sasaran tembak kepentingan personal.

Meski demikian, yang menarik adalah bagaimana sesungguhnya peta politik kekuasaan di PMII serta pola kaderisasinya?

PMII 1 dan jalan koalisi

Setelah putaran pertama pemilihan berlangsung, peta pemenang sesungguhnya telah terlihat. Dari 16 kandidat ketua umum, tersisa empat kandidat kuat yang akan melaju ke putaran kedua pemilihan. Putaran kedua inilah yang menentukan siapa yang akan menjadi Ketua Umum PB PMII periode 2021-2023 ke depan.

Tentu, di putaran kedua inilah para kader dan kandidat diuji seberapa mahir mereka menggunakan jurus ke 32 mereka. Selain tentu kekuatan dan jejaring politik yang mereka miliki  juga sangat menentukan.

Para kandidat yang melaju ke putaran kedua ini adalah Muhammad Abdullah Syukri  (Malang) dengan 64 suara, Muhammad Syarif Hidayatullah (Sulawesi) dengan 63 suara, Muhammad Rafsanjani (Ciputat) dengan 48 suara,  dan Faikar Romadlon (Jakarta) dengan 35 suara.

Secara samar peta koalisi telah terlihat melihat struktur politik yang menimpali masing-masing kandidat. Jakarta berkoalisi dengan Sulawesi karena kesamaan visi. Sementara  itu, meski di gelanggang kongres sayup-sayup terdengar Ciputat-Malang mustahil berkoalisi, pada akhirnya mereka berkoalisi karena visi yang dikembangkan pun sejalan satu sama lain.

Dengan demikian, kita melihat kongres kemarin sesungguhnya telah memperlihatkan kader-kader terbaik PMII bertarung, hanya saja siapa yang berhak memimpin adalah soal strategi pemenangan para kandidat dan timsesnya. Walhasil kita telah melihat sesungguhnya fenomena tersebut adalah siklus dua tahunan yang umum di tubuh PMII.

Namun, jauh ke depan, bagaimana kongres itu bisa menghasilkan kepemimpinan yang lebih substansial dari kader terbaik terpilih sehingga selaras dengan gerakan PMII dan kompleksitas Indonesia hari ini adalah persoalan yang mesti dipecahkan semua pihak di PMII, utamanya ketua umum baru.

Lokus PMII dan kacamata lawan

Kongres PMII telah selesai dihelat. Ketua umum telah terpilih. Muhammad Abdullah Syukri sah memimpin PMII periode 2021-2023. Meski berlangsung dalam beberapa zona, kongres berjalan sukses, meriah, dan cukup damai. Meski terjadi intensitas politik yang tinggi semasa jalannya kongres, tetapi tampaknya hal itu bukan masalah berarti, sebab kenyataannya semua telah berjalan secara damai.

Meski demikian, jika kita perhatikan peta politik PMII dalam kongres 21 ini, maka kita akan menemukan banyaknya jumlah kandidat yang tampil dalam kontestasi perebutan kursi ketua umum ibarat cabang-cabang muara sungai yang sesungguhnya berhenti di beberapa titik hulu.

Lokus pertarungan para pendekar sesungguhnya tidak seluas yang kita bayangkan melihat koalisi yang terjadi antar kandidat. Sehingga jurus ke 32 tidak terlalu berarti untuk dimiliki para kandidat, atau bahkan memang jurus itu tidak ada sama sekali.

Bertemunya poros Jakarta dengan Sulawesi dan ketegangan yang diimajinasikan terjadi di kongres antara Ciputat-Malang yang tidak terjadi adalah buah dari politik yang amat cair atau mungkin homogen di PMII. Para kandidat tidak memiliki opsi selain menggabungkan diri satu sama lain dalam lokus koalisi yang senafas, karena di luar itu, tampaknya tidak ada lokus yang menjanjikan.

Kondisi ini sesungguhnya paradoks, melihat kompleksitas Indonesia kita. Satu sisi PMII tetap solid dan tidak punya konflik yang dalam pasca kongres. Namun, di sisi lain, tampaknya koalisi yang terjadi di kongres mudah terbaca, sebab lokus pertarungannya tidak besar—jika tidak mau dibilang kecil.

Dalam gelanggang nasional, mungkin orang akan mudah membaca gerakan kita. Namun, semoga hipotesa ini keliru, tapi kalaupun benar, kita membutuhkan formulasi baru bersama kepemimpinan yang baru untuk memperluas lokus dan memperkuat ideologi serta jejaring.

Diaspora alumni

Suatu hari seorang kader bertanya kepada alumni seniornya, “Bang, bagaimana skema distribusi kader yang perlu dilakukan oleh organisasi dan senior?”

Senior terdiam, dengan wajah agak serius ia berkata, “Jika ada kader bicara distribusi kader, maka siram ia dengan air sedanau, barangkali dia sedang ngigo. Seorang kader mestinya tidak menunggu distribusi dari seniornya, tetapi ia mampu mendistribusikan dirinya sendiri dan mampu hidup di mana pun dalam kondisi apa pun.”

Jawaban senior ini sesungguhnya memiliki dua wajah yang menggambarkan kondisi PMII kita. Pertama, kaderisasi yang diinginkan oleh PMII kepada kadernya adalah kaderisasi yang harus menghasilkan kader mandiri dan tidak bergantung. Oleh karena itu, seorang kader harus membabat hutannya sendiri atas nama kader PMII.

Kedua, atau jangan-jangan hipotesa saya sesungguhnya benar, bahwa lokus PMII sesungguhnya tidak besar. Karena alasan itu, seorang kader harus membabat hutan sendiri.

Para alumni tersebut mungkin menyadari, lokus kecil ini jika didistribusi ke semua kader yang setiap saat terus bertambah adalah suatu hal yang mustahil. Daripada mereka harus dalam satu lokus itu, dan belum tentu berhasil, lebih baik dia babat hutan sendiri.

Padahal, hutan di luar lokus yang diminta dibabat sesungguhnya telah dikuasai secara merata dan sistematis oleh pihak-pihak di luar PMII. Maka kenyataan ini sesungguhnya suatu paradoks bagi kaderisasi PMII yang terus berlangsung. Mau dibawa ke mana sesungguhnya kaderisasi kita?

Di era kepemimpinan baru ini, kita perlu bersama-sama, semua pihak dari hulu sampai hilir memformulasikan arah gerak PMII. Mendiasporakan kader secara sistematis dan ideologis. Tidak membiarkan kader sendirian membabat hutan yang banyak hantunya. Kita perlu mandiri, tetapi juga berjejaring. Terlebih dunia era disrupsi hari ini yang membutuhkan kolaborasi berkualitas. Dan hal itu paling memungkinkan dan masuk akal dilakukan oleh kader dan alumni PMII sendiri, bukan yang lain.

Kita perlu menyiapkan suprastruktur dan infrastruktur gerakan kaderisasi dan politik kita membersamai kompleksitas Indonesia hari ini. Ketua Umum baru harus mampu menyentak para kader dan semua elemen PMII agar bangun dari bumi subur ini menuju bangsa yang jaya dan Islam yang benar. InsyaAllah bersama ketua umum baru, PMII haqqul yakin akan tetap dan semakin jaya.

 

Deni Gunawan
Deni Gunawan
Koordinator Nasional Pemantau Pemilu Lembaga Studi Visi Nusantara (LS Vinus), penyuka filsafat dan ilmu-ilmu sosial politik. Yang terpenting semua harus bisa ngopi sambil asyik-asyik. 😂
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.