Minggu, Mei 5, 2024

Pilkada untuk Membangun Masyarakat Berkemajuan

Massa Front Pembela Islam (FPI) melakukan longmarh menuju Bareskrim dan Balai Kota di Jakarta, Jumat (14/10). ANTARA FOTO/Rivan Awal Lingga/

Pemilihan kepala daerah tahap kedua yang dilakukan serentak pada awal tahun 2017 diharapkan bisa memberi kontribusi positif bagi terciptanya masyarakat berkemajuan di Indonesia.

Harapan ini penting diketengahkan mengingat banyak fenomena yang berkembang di seputar pilkada justru bertolak belakang dengan semangat terbangunnya masyarakat berkemajuan. Penguatan sentimen agama dan penguatan dinasti politik merupakan contoh dari fenomena yang bertolak belakang dengan upaya membangun masyarakat berkemajuan.

Masyarakat berkemajuan yang dimaksudkan adalah sebutan lain untuk masyarakat kota yang beradab dan berperadaban maju. Yakni, sebuah masyarakat yang terdiri dari warga negara yang berpikiran maju dan lembaga-lembaga otonom yang berkontribusi positif dalam memajukan masyarakat.

Lahirnya masyarakat berkemajuan di Indonesia merupakan keinginan semua orang yang peduli dengan masa depan bangsa ini. Pada saat terjadi gerakan politik yang mampu melengserkan rezim otoriter pada 21 Mei 1998, kita merasakan betul adanya tanda-tanda mulai munculnya masyarakat berkemajuan.

Komponen-komponen yang ada dalam masyarakat berkemajuan seperti kebebasan warga untuk berserikat, berkumpul, menyatakan pendapat, dan memeluk keyakinan agama, sudah mulai bisa dirasakan.

Apalagi, pada saat kita bisa melangsungkan pemilihan umum yang benar-benar bebas, jujur, dan adil pada 1999, dan mendapatkan pujian dari berbagai pengamat internasional yang ikut memantau jalannya pemilu.

Namun, masalahnya, masyarakat berkemajuan bisa menjadi surga di mana kita bisa hidup bahagia, bisa juga menjadi neraka, yang hiruk-pikuk oleh suara-suara pertikaian pribadi dan kelompok, yang seringkali juga diikuti oleh perkelahian bahkan pembantaian yang berlumuran darah.

Mengapa masyarakat berkemajuan bisa menjadi neraka? Karena pada saat kebebasan masyarakat sudah benar-benar terwujud, senantiasa muncul partisipasi dan ekspresi politik warga masyarakat yang sulit dibendung dan bisa mengarah pada instabilitas politik.

Potret inilah yang belakangan ini sering terjadi. Partisipasi warga yang diekspresikan dalam demonstrasi kerap memuncak dan berujung pada bentrokan fisik sehingga korban pun berjatuhan. Dan aparat keamanan terkesan membiarkan, karena pada dasarnya mereka tak punya legitimasi untuk melakukan tindakan represif sebagaimana yang mereka lakukan ketika Orde Baru masih berkuasa.

Maka, kalau situasinya seperti itu, pada saat ruang ekspresi politik dibuka, partisipasi rakyat disalurkan secara bebas, sama saja dengan membuka pintu air bah yang apabila belum disiapkan rambu-rambunya, yang terjadi kemudian adalah datangnya banjir aspirasi yang menghanyutkan segala sesuatu yang dijumpainya pun terjadi tanpa ada kekuatan yang bisa mencegah.

Menurut saya, ini salah satu tantangan terberat dalam mewujudkan masyarakat berkemajuan. Yakni, belum selarasnya aturan main (rambu-rambu) dengan euforia yang berkembang di tengah-tengah. Lemahnya aturan main inilah yang memunculkan anarki yang merusak sendi-sendi masyarakat berkemajuan.

Untuk memperbaiki kondisi yang memprihatinkan itu, salah satu caranya adalah dengan memperkuat partisipasi orang baik-baik dalam lembaga-lembaga yang menjadi penopang berdirinya masyarakat berkemajuan seperti partai politik, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), dan lembaga-lembaga negara yang lain.

Masyarakat berkemajuan yang kita cita-citakan tak cukup hanya dibayangkan atau diimpikan, melainkan harus diperjuangkan dan direbut dari—meminjam istilah ahli etika politik dari Harvard College, Dennis F Thomson—”tangan-tangan kotor demokratik”, yakni para pejabat yang melakukan tindakan immoral karena rakus, ingin berkuasa, atau loyal kepada keluarga dan kroninya (Thomson, 1999: 1).

Untuk membangun masyarakat berkemajuan dibutuhkan keterlibatan orang-orang baik dan berkualitas dalam suprastruktur politik seperti lembaga-lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif, serta lembaga-lembaga negara yang lain yang berfungsi sebagai pendorong sekaligus penopang masyarakat madani.

Jika orang-orang baik dan berkualitas tidak mau terlibat di lembaga-lembaga yang berperan penting dalam membangun masyarakat berkemajuan, maka jangan menyesal jika arah perkembangan politik yang terjadi di negeri ini akan mengarah pada destruksi sosial yang dampaknya akan dirasakan oleh semua orang, tidak hanya oleh orang-orang jahat.

Kalau partai politik yang ada saat ini dianggap tidak sesuai dengan idealisme orang-orang baik, maka ia bisa mencari kendaraan lain yang lebih sesuai. Misalnya melalui organisasi kemasyarakatan atau lembaga swadaya masyarakat. Tanpa harus melalui partai pun, mobilitas vertikal orang-orang baik bisa disalurkan.

Yang terpenting, bagaimana agar partai-partai yang ada tetap memberi ruang dan peluang bagi orang-orang baik yang non-partisan untuk maju menjadi kandidat yang bisa mengisi lembaga-lembaga suprastruktur politik.

Pesta demokrasi seperti pilkada bisa dijadikan momentum untuk “mengantarkan” orang-orang baik menjadi bagian penting dalam lembaga-lembaga politik yang mampu menopang terbangunnya masyarakat berkemajuan. Caranya, dengan memilih orang-orang baik dan tidak memilih kandidat-kandidat yang berpotensi merusak sendi-sendi masyarakat berkemajuan.

Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.