Para Kepala Negara dan Pemerintahan yang saya hormati,
Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa,
Saya tahu persis bahwa pidato ini akan mendapat perhatian yang lebih luas dan saksama dibandingkan pidato-pidato yang lain. Negara di mana saya memimpin selama beberapa bulan terakhir tengah menjadi perhatian seluruh dunia. Kalau selama beberapa tahun terakhir kami dinyatakan sebagai negara penghasil emisi terbesar kelima atau keenam, tahun ini negara kami menjadi penghasil emisi nomor satu.
Beberapa hari lalu, di tengah-tengah acara penanaman pohon yang menandai upaya serius kami untuk memperbaiki diri dalam rehabilitasi hutan dan lahan, saya sudah menyatakan kepada masyarakat Indonesia bahwa sesungguhnya menjadi nomor satu dalam hal emisi bukanlah prestasi, melainkan sesuatu yang sangat memalukan.
Di hadapan hadirin sekalian, izinkan saya meminta maaf secara tulus atas nama seluruh warga bangsa saya, lantaran kami bukan saja telah menjadi pengemisi nomor satu, melainkan juga menjadi negara tempat bencana lingkungan terbesar sejak abad lalu hingga sekarang.
Pada November 2014, sekitar 1 bulan sejak saya dilantik menjadi Presiden Republik Indonesia, saya mendatangi hutan di Riau dan di berbagai lokasi lain. Di saat itu pula saya memberikan beragam perintah kepada aparat yang relevan, yang diharapkan bisa menjadikan kebakaran hutan tak terjadi lagi di tahun 2015. Atau, setidaknya bisa berkurang secara signifikan. Namun apa yang terjadi di tahun 2015 telah diketahui oleh seluruh dunia. Alih-alih membaik, kondisi di tahun ini jauh lebih memburuk.
Harus saya akui, kami punya kecenderungan untuk menyalahkan kondisi eksternal. Super-El Nino bisa kami sebut sebagai biang keladi kebakaran hutan dan lahan itu. Perusahaan-perusahaan kelapa sawit dan hutan tanaman industri bisa kami nyatakan sebagai penjahat yang membakarnya. Atau, para pemilik modal di balik kedua industri tersebut, yang kebetulan juga banyak berasal dari negara-negara tetangga. Begitu juga kami bisa menunjuk masyarakat, yang lahan-lahannya memang dibakar oleh mereka sendiri.
Tetapi, di hadapan hadirin yang mulia sekalian, saya hendak menyatakan bahwa salah-menyalahkan ini tak akan membawa manfaat. Sehingga kecenderungan ini saya kekang. Demikian juga, saya tak ingin menyatakan sikap apologetik, karena itu juga tak akan membantu kami mewujudkan masa depan yang lebih baik buat bangsa kami sendiri. Apalagi kami juga bertekad untuk berkontribusi positif kepada seluruh dunia dalam pengelolaan perubahan iklim.
Untuk itu, yang pertama-tama saya lakukan adalah meninjau ulang dokumen Intended Nationally Determined Contributions (INDC) yang telah kami sampaikan kepada U.N. Framework Convention on Climate Change (UNFCCC). Saya telah menyediakan waktu untuk membaca komentar dari berbagai pihak terhadap versi draf maupun versi akhir dokumen itu, dan mendapati banyak sekali komentar yang konstruktif, terutama dari individu dan kelompok masyarakat sipil.
Kepada mereka semua, saya hendak mengucapkan rasa terima kasih yang mendalam. Juga, saya hendak meminta maaf karena masukan-masukan yang telah diberikan tidak kami perhatikan dengan baik, sehingga dokumen akhirnya menjadi jauh dari sempurna.
Saya juga kini mengetahui bahwa hasil dari seluruh INDC—seandainya dilaksanakan secara konsisten oleh seluruh negara yang menyatakan komitmennya—tetap jauh dari ambang batas aman yang kita semua ingin capai, yaitu dua derajat Celsius. Perhitungan paling optimistik sekalipun menyatakan kita akan menaikkan suhu dua koma tujuh derajat; sementara yang paling pesimistik malah menyatakan bahwa kita akan meningkatkan suhu hingga lima koma dua derajat di tahun 2100.
Seluruh dunia sedang mengawasi kita, memantau dengan lekat, dan mengharap dengan sangat. Saya juga telah mendengar langsung dan membaca surat dari kalangan ilmuwan, juga generasi muda, agar kita semua—para pemimpin negara yang ada di ruangan ini—mengambil keputusan yang benar demi masa depan. Perusahaan-perusahaan yang progresif telah menyatakan komitmen serta mengajak kita semua melakukan tindakan-tindakan yang diperlukan untuk mencapai penurunan emisi yang mencapai batas aman itu.
Oleh karena itu, setelah menimbang masukan para pakar yang menyertai saya ke Paris, maka saya menyatakan revisi atas target penurunan emisi yang sebelumnya dinyatakan sebesar 29% dari skenario Business as Usual tahun 2030 (2.881 Gigaton setara karbon dioksida) atau 2.045 Gigaton, menjadi maksimal 1.500 Gigaton unconditional.
Untuk penurunan emisi yang conditional, saya hendak menyatakan bahwa kami memiliki potensi penurunan mungkin hingga 1.200 Gigaton atau bahkan lebih rendah lagi. Tentu itu akan sangat tergantung dari jumlah sumberdaya finansial yang kami terima, serta waktunya.
Para penasihat yang paling terpercaya telah menyatakan kepada saya bahwa dengan sungguh-sungguh melakukan rehabilitasi atas jutaan hektare hutan dan lahan kami—saya telah menyatakan komitmen pembentukan Badan Rehabilitasi Gambut sebelum berangkat ke Paris—yang terbakar tahun ini, membuat dan menegakkan regulasi terkait efisiensi bahan bakar industri dan otomotif, memilih jalan transformasi ke arah energi bersih dan terbarukan, serta membuat sistem transformasi massal di perkotaan, target tersebut mungkin dicapai.
Namun, kami juga tahu bahwa hal itu bukanlah sesuatu yang mudah untuk dicapai. Saya telah belajar bahwa memerintahkan saja—bahkan ketika perintah tersebut sedemikian jelasnya—tidaklah akan membawa hasil yang memuaskan. Untuk itu, saya akan segera membuat regulasi-regulasi yang bisa dilaksanakan dan mengawasinya dengan lekat. Di antara yang sangat penting itu adalah regulasi soal pendanaan.
Transformasi itu tidaklah murah, namun kami juga bukan negara yang tak memiliki sumberdaya finansial untuk membiayai penurunan yang telah saya janjikan itu. Ketika saya kembali ke Jakarta nanti, saya akan memastikan bahwa kami bukan saja memiliki peta jalan untuk pembiayaan itu, melainkan juga punya kelengkapan kebijakan, strategi dan program yang mengarahkan sektor finansial kami sejalan dengan tujuan mitigasi tersebut. Tak ada lagi pembiayaan untuk proyek-proyek yang tak ramah iklim, dan ini harus dijalankan segera.
Saya sangat sadar bahwa pernyataan ini akan mendatangkan penentangan di dalam negeri. Mereka yang selama ini menikmati keuntungan ekonomi dari sektor-sektor bisnis yang tak ramah iklim tentu akan melakukan berbagai upaya untuk terus melestarikan bisnis mereka. Namun saya tidak takut.
Kali ini saya berbicara sebagai seorang ayah, yang mungkin sebentar lagi menjadi kakek, dan sebagai warga negara dan warga Bumi, yang kebetulan diamanati menjadi Presiden Republik Indonesia. Dalam peran-peran itu semua, tak ada pilihan lain, saya harus berbuat yang benar untuk generasi mendatang.
Kalau keberlanjutan intinya adalah keadilan intra- dan antar-generasi, perubahan iklim antropogenik adalah kejahatan intra- dan antar-generasi. Saya tak mau dipandang sebagai orang yang membiarkan kejahatan itu terjadi, apalagi turut melakukannya. Di sini saya mengajak seluruh hadirin untuk mengambil sikap yang sama.
Mari kita ingat bahwa kita adalah orangtua, warga negara, dan warga Bumi yang diberi mandat kekuasaan memimpin negara-negara, dan kita bisa memanfaatkan kekuasaan itu untuk mewujudkan perubahan yang diperlukan untuk membawa Bumi ke ambang batas aman dua derajat Celsius di tahun 2100.
Saya ingin menutup pidato ini dengan menyatakan bahwa lantaran perubahan iklim dengan segala dampaknya telah terjadi, maka adaptasi adalah komponen yang sama atau bahkan lebih penting daripada mitigasi. Selama bertahun-tahun kita berkonsentrasi di dalam mitigasi, dengan hasil yang tidak memuaskan seluruh pihak.
Agar kita semua, dan terutama generasi mendatang, selamat dari bencana iklim, maka kita juga perlu mengambil kesepakatan yang komprehensif dan mengikat terkait program dan pendanaan adaptasi.
Mari kita semua melakukannya dengan mengingat bahwa kita semua adalah orangtua, warga negara dan warga Bumi yang bisa, perlu, dan harus mengambil keputusan yang tepat demi keselamatan seluruh umat manusia.
Terima kasih.
Catatan:
Presiden Joko Widodo berada pada urutan ke-15 dalam sesi pidato kepala pemerintahan pada Conference of Parties (COP) ke-21 atau Konferensi Perubahan Iklim, yang akan dimulai pada pukul 14.45 waktu Paris (GMT + 1), 30 November 2015. Pidato tersebut akan berlangsung selama 5 menit saja.
* Tulisan ini bukanlah pidato Presiden Jokowi, melainkan jawaban atas pertanyaan seorang rekan kepada saya: “Kalau elu disuruh nulis pidato Jokowi buat di Paris, kira-kira gimana hasilnya?”