Selasa, April 23, 2024

Phobia Cyberist di Ruang Hampa Filsafat

Dani Aswara
Dani Aswara
Peneliti Lab Ilmu Politik FISIP Universitas Andalas

Cyberspace ibarat aliran listrik yang menghidupkan kehidupan masyarakat era ini. Tanpanya, gelap gulitalah ruang pada masyarakat modern. Bahkan, mesin modernitas akan mogok apabila tidak dialiri bahan bakar cyberspace. Masyarakat modern adalah konsumtif terhadap informasi (information society).

Bisa dibayangkan, apa jadinya sebuah masyarakat informasi jika mesin penyuplai “air” informasi tersumbat atau rusak. Seluruh “tubuh” masyarakat ini akan kehausan, dehidrasi, dan akhirnya mati perlahan-lahan. Analogi itu memperlihatkan pentingnya cyberspace dalam sistem masyarakat sekarang ini.

Dalam Virtual Sounding Board: How Deliberative is Online Political Discussion?, Anthony G. Wilhelm menjelaskan, cyberspace mempresentasikan tempat baru yang biasa digunakan untuk melakukan tindakan atau aktivitas politik.

Melalui cyberspace, orang dapat terlibat dalam berbagai macam kegiatan politik, seperti bergabung dengan kelompok-kelompok kepentingan, pemungutan suara dalam pemilihan atau berpartisipasi dalam forum politik. Dunia maya semakin melekat, kemudian bersinergi dengan kehidupan politik.

Posisi cyberspace berada di titik nol filsafat (philosphical zero). Titik nol filsafat adalah pemikiran filsafat (pseudo filsafat) tentang pengosongan atau devaluasi semua nilai (ketuhanan, kebangsaan maupun politik) yang menghambat nilai-nilai baru berdasarkan kekuatan mereka.

Sederhananya, sebuah ruang yang disana terdapat pengosongan nilai-nilai. Ia menganggap usang seluruh pemikiran filosofis yang bersifat metafisis, teologis atau idealis yang mengakui ada sesuatu yang melampaui pengetahuan dan kesadaran manusia.

Karena itu, pemanfaatannya sangat tergantung kepada niat si manusianya. Bisa positif. Bisa juga dimanfaatkan untuk hal-hal negatif. Sama seperti temuan teknologi-teknologi era sebelumnya. Hanya moralitas dan etika manusialah yang bisa mengontrol penggunaan teknologi secara positif. Alhasil, semua itu menjadi tantangan yang harus dihadapi manusia dalam cyberspace, khususnya dalam dunia demokrasi digital.

Lebih jauh, bahkan ada cyberist (pengguna cyberspace) berpandangan ekstrem-radikal, terobsesi untuk menjadi “tuhan” lewat kekuatan intelektual mereka dan kemajuan teknologi informasi yang mereka kuasai. Pemuja cyberspace mendewa-dewakan produk teknologi yang satu ini.

Keyakinan mereka pada kekuatan cyberspace membuat mereka menolak segala kekuatan di luarnya. Kungkungan pemikiran yang demikian membuat cyberspace selayaknya digunakan untuk aktivitas politik dengan cara yang konstruktif bagi bangsa dan negara, bukan malah destruktif.

Obsesi megalomania (penyakit kejiwaan yang membuat orang haus akan kekuasaan) para cyberist model ini membuat mereka memiliki phobia. Mereka phobia pada hal-hal yang dianggap mengancam keberadaannya.

Mereka merasa dirinya sangat kuat, berkuasa, dan memiliki kelebihan diatas manusia normal. Karena itu, mereka takut pada beberapa hal yang dianggap mengancam atau merusak obsesinya itu. Ada beberapa phobia di era cyberspace, yakni logos phobia, body-phobia dan master-phobia (Fayakhun Andriadi, 2016).

Pertama, logos-phobia. Para cyberist berpandangan bahwa ilmu pengetahuan dan teknologi adalah puncak pencapaian kebenaran (logos). Hanya teknologi dan sains yang bisa mengantarkan manusia kepada puncak tertinggi kebenaran.

Kepercayaan yang tinggi terhadap sains, membuat mereka tidak mempercayai otoritas selain sains tadi. Disinilah para cyberist merasa phobia terhadap kebenaran diluar diri manusia. Termasuk otoritas kebenaran dari Tuhan. Pemikiran demikian tentu tidak sebaiknya ada di dalam instrumen demokratisasi.

Sisi negatif dari logos phobia ini sudah seharusnya diantisipasi. Hal ini dapat membuat teknologi digital kontraproduktif dari tujuan penciptaannya, yaitu pencapaian peradaban manusia yang lebih tinggi. Bahkan jika dibirkan begitu saja, teknologi digital dapat digunakan untuk hal-hal yang destruktif. Misalnya dipergunakan untuk perang siber (cyberwar). Peluang itu bisa terjadi apabila manusia tidak lagi mengakui akan eksistensi Tuhan.

Kedua, body-phobia. Cyberist berpandangan bahwa tubuh dianggap memenjarakan manusia dalam keterbatasan. Anggapannya, tubuh hanya sebagai pengganggu manusia karena dikekang. John Perry Barlow, cyberist “tulen” misalnya menganggap perbedaan dunia nyata dan maya terletak pada fakta tidak adanya raga jasmani di dunia maya (Jeff Zalenski: 1999). Bagi cyberist ekstrem ketika masih mementingkan tubuh, tandanya juga belum masuk dunia digital, sehingga tidak akan maksimal untuk memanfaatkan dunia maya.

Kehadiran teknologi digital tentu tidak untuk menafikan tubuh. Ini sudah masuk ke ranah negatif dari adanya cyberspace, titik ekstrem dari dunia maya. Betul adanya teknologi dapat membantu kerja manusia hingga dapat mempermudah kerja tubuh, namun bukan berarti dunia maya dapat megregasi fungsi tubuh sendiri. Teknologi hanya dapat membantu sebagian kinerja manusia dalam sistem kesehariannya, bukan menggantikan kerja tubuh secara total.

Ketiga, master-phobia. Cyberist, phobia terhadap lembaga kekuasaan, seperti negara. Karena obsesinya yang megalomania, sebagian cyberist menganggap kehidupan di dunia maya tidak memerlukan lagi otoritas pengatur seperti negara. Negara dianggap membatasi luas dan bebasnya dunia maya. Mereka percaya bahwa sistem yang ada didalam dunia telah terbentuk dengan sendirinya, dan sistem itulah yang menggantikan posisi dan fungi negara.

Point ketiga membuat fungsi teknologi semakin menjauh dari sisi positif ketika awal dibentuknya. Master-phobia sudah melenceng dari fungsi teknologi sendiri yang seharusnya menopang, memperkuat dan membantu kinerja negara menjalankan fungsi dan tujuannya. Teknologi bukan untuk menafikan negara, ia didedikasikan untuk membantu mekanisme dalam sebuah negara. Negaralah yang justru sebagai mediator dalam hal ini.

Adanya pemaparan pemikiran yang destruktif dalam wilayah cyberspace diatas sejatinya adalah sebuah pembelajaran. Karena, cyberspace sebagai sentuhan digital yang seharusnya membantu demokratisasi tidak boleh ada celah yang membawa keburukan nilai-nilai demokrasi, religius, hingga Pancasila.

Paradigma yang sederhana, seperti pemikiran bahwa ruang maya atau teknologi adalaha instrumen penunjang belaka, bukan instrumen yang dijadikan sebagai titik kepatuhan, apalagi dijadikan seperti Tuhan. Hal itu tentu sudah diluar zona normal dari tingkah laku manusia.

Dibalik sisi gelap cyberspace tadi, tentu masih ada harapan dalam membangun demokrasi yang lebih baik, hal itu ada dan masih ada harapan. Semua kekurangan teknologi tentu ada kelebihannya juga, cerita pahit dari sisi negatif diatas tentu diharapkan melahirkan kemurnian teknologi seperti cyberspace hanya untuk bantuan demokrastisasi belaka, tidak lebih dari itu. Hal itu dapat diwujudkan dengan moral dan etika yang baik dari cyberist di dalam zona nol filsafat.

Dani Aswara
Dani Aswara
Peneliti Lab Ilmu Politik FISIP Universitas Andalas
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.