Jumat, April 26, 2024

Peta Politik Sesudah Kabinet Jokowi Jilid II

Iding Rosyidin
Iding Rosyidin
Wakil Dekan Bidang Akademik FISIP UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Presiden Joko Widodo akhirnya telah rampung memilih para menterinya dan melantiknya pada Rabu (23/10/19). Segala dugaan atau prediksi dari banyak kalangan tentang siapa saja menteri-menteri yang dipilih Jokowi kini sudah terjawab. Ada yang sesuai dengan prediksi, tetapi tidak sedikit yang meleset.

Terlepas dari itu, ada hal yang menarik dari komposisi kabinet Jokowi jilid kedua ini, yakni tentang calon-calon yang merepresentasikan partai politik. Hal ini terutama dari partai yang notabene dianggap sebagai pemimpin utama oposisi di pemerintahan Jokowi periode pertama, yakni Gerindra. Prabowo Subianto dan Eddy Prabowo, yang merupakan elite Gerindra, justru masuk ke barisan para menteri.

Jika Gerindra telah masuk ke dalam pemerintahan, apakah dengan demikian oposisi bakal rapuh? Belum tentu. Justru kini jumlah oposisi bertambah. Tadinya, seperti banyak disebut para pengamat, hanya Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang akan memainkan peran oposisi, karena partai ini sama sekali tidak terlibat dalam hiruk pikuk pencalonan menteri.

Namun, ternyata, seperti terlihat dari komposisi kabinet, ada dua partai lain yang tidak mendapatkan jatah, yakni Demokrat dan Partai Amanat Nasional (PAN). Sebelumnya banyak diberitakan bahwa kedua partai tersebut sudah merapat ke Jokowi. Terlepas dari siapa penentu utama di balik tidak dipilihnya kader dari kedua partai yang dipimpin oleh Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Zulkifli Hasan itu, yang pasti mereka kini hanya menjadi penonton.

Persoalannya, maukah Demokrat dan PAN benar-benar memainkan peran oposisi seperti yang telah ditegaskan oleh PKS? Segala kemungkinan memang bisa terjadi, tetapi ada baiknya kita melihat watak dari kedua partai tersebut.

Demokrat sebenarnya sangat ingin bergabung ke dalam pemerintahan kalau dilihat dari gelagatnya selama ini. Salah seorang kadernya yang digadang-gadang untuk bisa membantu Jokowi adalah putera SBY sendiri, Agus Harimurti Yudhoyono (AHY). Dengan berada dalam kabinet, selain dapat menempa diri dengan pengalaman, tentu juga akan meraih popularitas di mana kedua hal itu bisa menjadi modal untuk naik ke tangga berikutnya.

Namun, kini, Demokrat tidak berhasil mewujudkan tujuan jangka pendeknya tersebut. Pastilah kecewa, tetapi untuk serta merta berpindah haluan menjadi oposisi, masih belum jelas. Pasalnya, Demokrat (SBY) selama ini kerap memainkan peran abu-abu atau tidak jelas menunjukkan identitasnya, apakah pendukung atau penentang.

Pada Pemilu 2019 lalu Demokrat juga menunjukkan perilaku demikian. Meski berada dalam kubu partai-partai pendukung pasangan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno, dalam banyak hal seringkali berseberangan. Tidak aneh kalau banyak pihak yang menyebut dukungan SBY terhadap Prabowo hanya setengah hati.

Sekarang pun masih kita meragukan apakah Demokrat mau memainkan peran oposisi setelah AHY tidak masuk di kabinet. Selama SBY masih tetap dengan sikap politiknya yang abu-abu dalam memimpin partai berlambang mercy itu, agaknya sulit diharapkan untuk menjadi oposisi dalam pengertian sebenarnya.

PAN juga, dalam derajat tertentu, setipe dengan Demokrat. Di periode pemerintahan pertama Jokowi-JK, misalnya, partai ini masuk ke dalam barisan partai pendukung pemerintah. Tetapi makin ke sini makin menunjukkan perilaku oposisi, tetapi anehnya tetap berada dalam kekuasaan. Karena itu, masih diragukan apakah PAN mau menjadi oposisi atau tidak.

Berharap pada PKS

Dengan catatan di atas, maka harapan satu-satunya yang bisa memainkan peran oposisi adalah PKS. Sejak awal atau di masa pertama pemerintahan Jokowi-JK sampai saat ini, partai kader tersebut tetap konsisten di jalur oposisi.

Dalam hiruk pikuk pencalonan menteri kabinet jilid kedua, PKS berusaha untuk menjaga jarak dari pemerintah. Meski ada upaya dari sejumlah pihak agar petinggi PKS dapat berkomunikasi dengan Jokowi, tetapi mereka menolak. Komunikasi dengan Jokowi hanya akan dilakukan setelah kabinet terbentuk. Hal itu menunjukkan bahwa mereka sudah memiliki sikap politik yang tegas.

Dalam konteks demokrasi, pilihan politik untuk oposisi atau di luar kekuasaan sebenarnya sangat penting dan diperlukan untuk menjaga keseimbangan. Mekanisme check and balances akan berjalan dengan baik jika ada pihak yang menjadi oposisi. Di sini sikap kritis dan kontrol dari oposisi sangat berguna untuk memastikan kebijakan dan tindakan pemerintah sesuai dengan jalurnya.

Namun, tentu saja satu partai saja tidak cukup untuk mengambil peran sebagai oposisi. Lebih-lebih di parlemen di mana sekarang telah dikuasai sepenuhnya oleh partai pendukung pemerintah seperti terlihat dalam komposisi pimpinan DPR dan MPR. Dapat dibayangkan sangat berat bagi PKS untuk bertarung sendirian.

Karena itu, PKS mesti berusaha melobi Demokrat dan PAN agar bersama-sama berada dalam barisan oposisi. Memang tidak mudah. Tetapi, harus ada upaya persuasi yang intens agar kedua partai tersebut memahami bahwa oposisi itu bukan hanya penting bagi upaya menjaga demokrasi, tetapi justru penting bagi partai politik itu sendiri.

Oposisi sebenarnya bisa menjadi investasi politik di masa depan. Tentu jika oposisi bisa memainkan perannya dengan benar. Tidak sekadar asal kritik atau asal berbeda dengan pemerintah, dalam bahasa zaman now, nyinyir, melainkan didasarkan pada pemikiran matang sehingga dapat menawarkan solusi yang lebih baik.

Jika pemikiran-pemikiran dari kalangan oposisi bisa menjadi alternatif kebijakan yang dinilai lebih tepat jelas akan diapresiasi dengan sangat baik oleh publik. Kalau mereka konsisten melakukan hal tersebut, setidaknya selama tahun ke depan, pastilah hal ini merupakan investasi politik yang berharga bagi mereka.

Oleh karena itu, publik berharap agar Demokrat dan PAN, sebagai partai yang cukup besar, ikut bergabung bersama PKS memainkan peran oposisi. Kalau ketiga partai tersebut bersedia berperan bersama, maka peta politik paska kabinet jilid kedua ini menjadi jelas.

Bacaan terkait

Nasib Oposisi Pasca Jokowi-Prabowo Cipika-Cipiki

Oposisi Bungkam, Mahasiswa Melawan

Jokowi di Tengah “Negara Bayangan”

Kala Horang Kayah Kongkow di Parlemen Kita

Jokowi dan Presidensialisme Rasa Parlemen

Iding Rosyidin
Iding Rosyidin
Wakil Dekan Bidang Akademik FISIP UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.