Di balik optimisme peningkatan kondisi perekonomian gobal, ternyata kemiskinan tetap menjadi ancaman yang mengintai masyarakat di berbagai belahan dunia. Ketika Konferensi Komite Keamanan Pangan Dunia ke-43 di Roma, Oktober lalu, digelar, Perserikatan Bangsa-Bangsa mengekspose laporan terbaru yang berjudul State of Food and Agriculture 2016. Laporan itu berisi kemungkinan terjadinya kemiskinan ekstrem global karena anomali cuaca dan perubahan iklim yang makin tidak bersahabat.
Laporan tersebut menyebutkan, perubahan iklim global dan dampaknya terhadap petani berpenghasilan rendah membuat 122 juta jiwa penduduk di berbagai belahan dunia terancam hidup dalam kemiskinan ekstrem di tahun 2030. Tanda-tanda masyarakat akan mengalami kekurangan pangan, meski belum meluas, itu sudah terjadi di berbagai daerah di berbagai belahan dunia.
Akibat minimnya sumber pangan dan terganggunya keamanan pangan, berbagai komunitas pertanian di negara Sub-Sahara Afrika, misalnya, diprediksi menjadi pihak yang paling terpukul karena harus menanggung akibat meningkatnya ancaman kemiskinan dan kelaparan. Bisa dibayangkan, apa yang bisa dilakukan ketika hasil pertanian merosot tajam, gagal panen makin sering terjadi, atau paling-tidak kualitas hasil panenan menurun karena kondisi cuaca yang tidak menentu?
Komunitas yang hidup di wilayah yang terisolasi sering mengalami kekeringan berkepanjangan, termarginal, dan tidak didukung sumber daya alam yang cukup niscaya akan mengalami proses pendalaman kemiskinan dan kesengsaraan karena keterbatasan kemampuan dan menurunnya kemampuan masyarakat miskin mengakses sumber-sumber pangan yang terjangkau.
Laporan dan peringatan PBB tentang ancaman meluasnya kemiskinan dan kelaparan masyarakat di berbagai belahan dunia sebetulnya bukan hal baru. Dalam satu-dua dekade terakhir, peringatan tentang ancaman perubahan iklim yang membahayakan kelangsungan hidup masyarakat telah berkali-kali dilontarkan. Tetapi, yang memprihatinkan hingga saat ini belum juga ada program yang benar-benar mendasar untuk menepis ancaman degradasi umat manusia karena perubahan iklim.
Di berbagai negara, ancaman perubahan iklim dan bagaimana dampaknya terhadap meluasnya kemiskinan seringkali hanya direspons secara parsial, tidak substansial, dan bahkan cenderung hanya berupa reaksi dan aksi yang sifatnya formalitas belaka. Banyak perencana pembangunan di berbagai negara belum memasukkan variabel perubahan iklim sebagai dasar pertimbangan untuk merumuskan program pembangunan yang signifikan dalam menghadapi ancaman perubahan iklim bagi umat manusia.
Ketika saya mengikuti 2016 International Conference of Science and Technology Applications in Climate Change di Kota Kinabalu, Sabah, Malaysia, 11-12 Agustus 2016, hampir seluruh peserta seminar selalu menggarisbawahi adanya ancaman terjadinya perubahan iklim bagi kesejahteraan umat manusia di dunia. Tetapi, ironisnya di saat yang sama diakui belum muncul sikap para perencana pembangunan yang benar-benar mampu menjawab ancaman yang dimaksud.
Di Indonesia, misalnya, hingga saat ini masih kuat sikap dan keyakinan para perencana pembangunan yang melihat perubahan iklim dan kemiskinan sebagai dua hal yang terpisah. Ini terlihat terutama dari minimnya atau bahkan tidak adanya program-program pembangunan yang sengaja dirancang untuk mengatasi dua persoalan ini dalam satu konteks bersama.
Program penanggulangan kemiskinan yang dirancang dan digulirkan pemerintah seringkali masih berupa program-program yang sifatnya karitatif dan program pemberdayaan kegiatan ekonomi masyarakat yang disimplifikasi hanya sebagai program pemberian bantuan modal usaha. Kalaupun ada program penanggulangan kemiskinan yang dikembangkan berkaitan dengan anomali cuaca, yang selama ini dilakukan pemerintah umumnya adalah pemberian subsidi benih, pupuk, dan berbagai satuan usaha pertanian bagi para petani yang gagal panen karena cuaca.
Alih-alih menghasilkan efek yang signifikan, program penanggulangan kemiskinan yang cenderung mensimplifikasi dan melokalisasi persoalan kemiskinan hanya sebagai masalah ekonomi, pada akhirnya justru membuat jumlah penduduk miskin tetap bertahan di angka yang tinggi. Di Indonesia, per Maret 2016, jumlah penduduk miskin tercatat 28,01 juta jiwa atau 10,86 persen dari total jumlah penduduk.
Meski secara absolut jumlah penduduk miskin sedikit menurun dan rasio gini yang menggambarkan pemerataan kemakmuran juga sedikit membaik dari 0,413 pada tahun 2013 menjadi 0,40 di tahun 2015, tingkat kedalaman dan keparahan kemiskinan memburuk, terutama di perdesaan. Data ini memperlihatkan indikasi bahwa penderitaan dan kesengsaraan yang ditanggung penduduk miskin di perdesaan, khususnya keluarga petani, sesungguhnya justru bertambah parah.
Dalam satu-dua tahun terakhir, banyak bukti memperlihatkan bahwa petani di wilayah pedesaan seringkali harus menanggung kerugian karena gagal panen akibat anomali cuaca. Dan, ironisnya, sebagai produsen tanaman pangan mereka justru sering kesulitan untuk menikmati beras sebagai makanan pokok rakyat secara layak, karena harganya yang terus melambung di pasaran. Padahal, sebagai produsen tanaman pangan, gabah hasil produksi petani kerapkali dibeli tengkulak atau pedagang dengan harga yang rendah.
Untuk mencegah agar ancaman kemiskinan dan kelaparan global tidak benar-benar terjadi di tahun 2030, harus diakui bukan hal yang mudah. Selain komitmen dari seluruh pimpinan negara dan para perencana pembangunan agar memasukkan faktor perubahan iklim dalam perencanaan program, yang tak kalah penting adalah bagaimana memastikan masyarakat siap menghadapi ancaman perubahan iklim global yang tak bisa diprediksi.
Dalam laporan yang diekspose FAO, berbagai strategi yang perlu dikembangkan berbagai negara di belahan dunia telah direkomendasikan, seperti mendorong menganekaragamkan produksi pertanian, mendorong integrasi yang lebih baik antara pertanian dan habitat alami, agroekologi, dan mengembangkan intensifikasi pertanian yang berkelanjutan.
Di tingkat regional dan lokal, strategi yang direkomendasikan FAO di atas tentu akan lebih baik jika didukung pula dengan berbagai program pembangunan yang langsung bersentuhan dengan kebutuhan masyarakat lokal, khususnya para petani. Selain perlu memacu upaya membangun infrastruktur desa, mendorong pengembangan komoditi pertanian bernilai ekonomi tinggi, memberi nilai tambah melalui kegiatan pasca panen, yang tak kalah penting adalah memastikan petani memperoleh keuntungan yang adil atas usaha dan komiditi pangan yang mereka kembangkan.
Jangan sampai terjadi, di satu sisi, pemerintah gencar mendorong petani mendongkrak jumlah produksi pertanian pangan atas nama ketahanan dan keamanan pangan, tetapi di saat yang sama kesejahteraan petani justru diletakkan pada prioritas nomor kesekian.