Berdasarkan data dari UNICEF, dari seluruh negara anggota ASEAN, Indonesia menempati peringkat ke-2 negara dengan pernikahan anak tertinggi.
Pada 2018, dari total 627 juta penduduk Indonesia, 11.2 persen perempuan menikah di usia 20-24 tahun. Sedangkan pernikahan perempuan yang berusia kurang dari 17 tahun sebesar 4,8 persen. Pernikahan anak di bawah usia 16 tahun sekitar 1,8 persen dan persentase pernikahan anak berusia kurang dari 15 tahun sejumlah 0,6 persen. Secara akumulasi, satu dari sembilan anak perempuan usia kurang dari 18 tahun menikah muda.
Pernikahan anak ini banyak jenisnya, kedua mempelai sama-sama anak-anak atau salah satunya saja. Saya banyak menemukan ketika kasusnya kedua mempelai sama-sama anak-anak maka ini disebabkan oleh tidak ketatnya orang tua mengawasi pergaulan anak, terpaksa dinikahkan karena sudah keburu hamil duluan.
Tipe lain yang paling masif ditemui adalah pernikahan anak dengan orang dewasa laki-laki dan tentu saja alasannya beragam. Tapi karena sudah diberi ‘tiket emas’ oleh keluarga, bahkan orang tua dari ‘anak’ perempuan, maka pernikahan tak wajar ini akan mulus terlaksana.
Contohnya, baru-baru ini kasus yang terjadi di Banyuwangi, seorang anak berumur 12 tahun dipaksa menikahi pria beristri berusia 45 tahun oleh ibu angkat yang tidak lain adalah bibinya sendiri karena alasan himpitan ekonomi.
Kemudian kasus legenda Pujiono Cahyo Widianto alias Syekh Puji yang saat itu berumur 43 tahun menikahi Lutfiana Ulfa yang saat itu baru berumur 12 tahun. Dan pada April lalu kembali menikahi anak berusia 7 tahun asal Magelang secara siri.
Atau pernikahan anak asal Makasar dengan pria berusia 44 tahun. Mirisnya anak berusia 12 tahun sudah berhenti sekolah, sebab ayah tirinya mengalami lilitan ekonomi yang mencekik. Hingga tak sanggup melanjutkan pendidikan hingga jenjang SMP. Kedua keluarga bahkan memohon kepada pengadilan agama setempat agar melegalkan pernikahan.
Ketiga kasus ini terjadi karena para orang tua dan keluarga terdekat membuka peluang agar anak-anak ini dapat dinikahkan. Tidak ada pagar pelindung atas kebebasan mereka sebagai anak-anak dan perampasan hak mereka sebagai anak-anak. Alasannya sangat klise, himpitan ekonomi, ingin kenaikan derajat sosial karena dinikahkan dengan orang ‘berada’ atau setidaknya mengurangi beban rumah tangga karena anak perempuan mereka keluar dari rumah dan telah menjadi tanggung jawab orang lain.
Ada pepatah klasik yang sering dikumandangkan masyarakat Indonesia, “Banyak anak, banyak rezeki”. Aslinya pepatah ini memang tepat, masing-masing manusia yang datang ke dunia memang membawa rezeki masing-masing. Jangankan manusia, hewan dan tumbuhan saja punya rezeki mereka. Namun rezeki ini harus dijemput dengan bantuan para orangtua.
Mengawali keluarga dengan landasan pepatah saja tidak cukup, ini tidak semudah memiliki anak kemudian tiba-tiba jadi miliarder. Sebagai yang lebih dulu merasakan pahitnya dunia, sudah pastilah orang tua dapat diandalkan dalam mengajarkan anak-anaknya arti kepahitan hidup, manis, pahit dan asam juga jangan lupa.
Sangat miris pernikahan anak malah dilandasi oleh permasalahan pelik orang tua atau keluarga. Orang tua punya hutang, dibayar dengan anak. Orang tua ingin naik derajat sosial tinggal nikahkan saja anak dengan bapak-bapak kaya dan punya jabatan.
Berdasar UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perubahan Pertama UU Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak menyatakan bahwa negara, pemerintah, keluarga dan masyarakat berkewajiban memberikan pemenuhan hak dan perlindungan anak secara optimal. Bahkan Pasal 26 ayat 1 poin c menyebutkan kewajiban orang tua dalam mencegah terjadinya pernikahan usia anak.
Hubungan orang tua dan anak tidak selalu berjalan mulus, tapi coba pikirkan ini lebih ringkas. Berdirilah sebagaimana fungsi Anda. Jika di posisi Orang tua, maka penuhi kewajiban sebagai orang tua baru minta hak Anda kepada anak.
Secara tidak langsung menempatkan anak sebagai bahan investasi semata, setara dengan saham dan emas.
Toxic Parents dan Manipulasi Balas Budi
Saat kecil, sebagian dari kita mungkin mendapatkan tekanan dari orang tua, yang paling umum terdengar seperti ini:
“Kamu itu harus berbakti kepada orang tua.”
Lalu karena berhutang telah dibesarkan, diberi makan, diberi minum adalah sebuah keharusan bagi anak untuk menuruti segala kemauan orang tua (ingat yang saya maksud adalah orang tua beracun) sekalipun harus menikah dalam usia sangat dini padahal sebenarnya sedang dieksploitasi oleh orang tua sendiri.
Tidak ada yang salah sejatinya tentang kalimat diatas ketika itu diucapkan oleh orang tua Anda, namun persepsi untuk memiliki individu sepenuhnya karena ia berpredikat anak adalah sebuah kesalahan. Orang tua tidak dapat memiliki anak, karena anak bukanlah barang yang bisa dibeli. Bukankah itu tercantum dalam Hak Asasi Manusia bahwa setiap manusia adalah individu yang merdeka?
Ketika persepsi dan tekanan balas budi sedikit-sedikit terus disinggung dalam hidup kita selama masih menyandang status sebagai anak. Itu pastilah akan mempengaruhi Inner Child dalam masing-masing diri.
Rasanya tidak adil kalau saya tidak cover both side dari sisi orang tua juga, takutnya terdengar ‘durhaka’. Semestinya tidak, karena apa yang Anda tanam itulah yang Anda tuai. Ketika Anda menghargai anak Anda maka anak Anda akan balik menghargai Anda. Pengasuhan yang baik adalah bentuk investasi terbaik terhadap Anak anda. Bukan menjadikan mereka mahar dan menikahkannya dengan lelaki hidung belang atas dasar ‘balas budi’.
Anak adalah sumber kekuatan untuk bertahan hidup, bukan modal untuk bertahan hidup. Sama halnya dengan orang tua, jika orang tua Anda masih hidup hargai mereka sebagaimana Anda ingin dihargai saat jadi orang tua kelak.