Tulisan saya beberapa waktu yang lalu: Perlukah Jokowi Kita Beri Pelajaran Sakitnya Kekecewaan Dan Kekalahan? Dihujat sebagian kalangan, tapi juga tak sedikit yang menyenanginya. Sebagaimana saya duga, yang menyenanginya sudah pasti berasal dari kebanyakan pendukung Prabowo. Sementara yang menghujatnya, sudah pasti kebanyakan adalah pendukung Jokowi. Tapi saya ingin katakan bahwa dugaan itu benar sebagian. Sebagian lain sudah pasti salah dan itulah yang ingin saya jelaskan di bawah ini.
Memahami Jokowi-Ma’ruf sebagai Struktur Permukaan
Pasangan Jokowi-Ma’ruf Amin (selanjutnya JMA) adalah hasil dari tawar-menawar dan ketegangan internal di dalam Koalisi Sembilan Partai (selanjutnya KSP). Singkatnya, pasangan ini adalah sebuah struktur permukaan yang dihasilkan oleh sebuah struktur besar di bawahnya.
Jika kita cermati baik-baik bagaimana koalisi ini tercipta, maka kita akan mendapati bahwa PDI-P dan Partai Nasdem adalah dua partai utama yang sejak awal secara lugas menyatakan dukungannya pada Jokowi sebagai calon presiden.
Suara gabungan dari kedua partai ini saja sudah cukup untuk mencalonkan pasangan calon presiden dan wakilnya. Barangkali hal ini pula yang membuat kedua partai ini sangat dominan dalam setiap proses pencalonan, pengusungan, hingga pendeklarasian JMA. Kita dapat saksikan di hari pendeklarasian bagaimana dua petinggi partai dominan itu mengapit Jokowi mengumumkan wakilnya.
Namun, yang penting juga dicermati, pada hari-hari menjelang pendeklarasian PKB terlihat berusaha lebih gigih untuk ikut menentukan cawapresnya. Sangat mungkin di hari-hari terakhir inilah blunder nama Ma’ruf Amin mencuat dan, dari rumor yang beredar, menggantikan nama, juga rumor meskipun santer, Mahfud MD. Pertanyaannya, siapa yang menentukan dan diuntungkan ketika nama Mahfud MD (rumor) digantikan Ma’ruf Amin (definitif)?
Pertanyaan itu sebenarnya cukup pelik dan tentu tak dapat dijawab dengan mudah. Jokowi sendiri hanya mengatakan bahwa Ma’ruf Amin berpengalaman dan tokoh agama yang bijaksana serta melengkapi. “Kami ini saling melengkapi, nasionalis religius,” ujar Jokowi sebagaimana dikutip berbagai media. Hal itulah yang menimbulkan berbagai spekulasi tak berkesudahan, ditambah keterangan Mahfud MD saat diundang di ILC.
Berdasarkan hal itu, kita hanya bisa menduga-duga. Akan tetapi untuk melihat hal itu dan keuntungan (atau kerugian?) yang didapat tentu kita bisa mencoba mengurainya.
Sudah sama-sama diketahui bagaimana keumuman dari partai-partai dinastik yang menggejala di banyak partai politik di Indonesia. Ciri utamanya adalah patronase yang kuat dari keluarga pendiri partai dan para loyalis di sekitarnya. PDI-P dalam hal ini sangat kentara memenuhi ciri itu.
Sementara Nasdem lebih untuk mengamankan perolehan suaranya agar dapat terus menanjak bersama kemenangan-kemenangan yang diraihnya sejak pilkada serentak kemarin. Sebagai partai remaja, Nasdem tentu ingin tumbuh lebih besar dan lebih populer dengan cara terus menangguk kemenangan-kemenangan elektoral dalam pileg. Ditilik dari sisi ini, kedua partai mendapatkan keuntungan atas pencalonan Jokowi, tapi sepertinya tidak dengan Ma’ruf Amin.
Sementara PKB? PKB sebenarnya berharap dapat separuh keuntungan. Akan tetapi friksi internal di dalam PKB juga tak kalah runyamnya. Apalagi, melalui keterangan Mahfud MD di ILC, juga melibatkan Nahdatul Ulama (NU) sebagai satu ormas islam terbesar di republik ini. Hanya para elit partai di PKB lah yang benar-benar mengetahui apa keuntungan sesungguhnya dari menyodorkan Ma’ruf ketimbang Mahfud.
Sementara, di kalangan akar rumput dan massa nahdliyin, kita dengan jelas dapat mengetahui kekecewaan mereka atas keputusan penetapan nama Ma’ruf itu. Sungguhpun keterangan Mahfud MD di ILC memberi beberapa titik informasi dan keterangan itu dapat diperkirakan benar demikian, hal itu tetap menjadi misteri tersendiri.
Pun begitu, lalu siapa lagi yang diuntungkan dari seperempat kekecewaan yang diderita PKB dan basis massa nahdliyinnya? Tentu saja, sekali lagi, PDI-P dan Nasdem. PDI-P dan Nasdem sebenarnya tak kehilangan apa-apa karena seperempat keuntungan itu memang sudah mereka sediakan untuk partai koalisi pendukung lainnya. Peruntukannya saja yang kemudian menyakitkan massa di tingkat akar rumput.
Lantas Jokowi? Sebagaimana anggapan banyak orang, Jokowi tetap orang baik. Ya, saya ikuti saja anggapan Anda semua atas hal itu. Tapi hanya separuh. Mengapa? Karena saya juga percaya bahwa orang baik yang tak berdaya di pusat kekuasaan politik juga tak berguna banyak. Bukankah Jokowi harusnya berkeras untuk memilih Mahfud MD ketimbang sosok Ma’ruf Amin yang dikenal intoleran itu? Tapi sudahlah, ia tak berdaya.
Namun begitu, tidakkah Anda terpikir untuk sekedar memberi pelajaran pada koalisi ini? Betapa penentuan cawapres intoleran itu adalah sebuah kesembronoan yang menyakitkan? Dan mereka tega melakukannya hanya demi kemenangan elektoral dan kepentingan partai dan para elitnya. Saya yakin kita semua bisa membedakan antara kemenangan elektoral dengan kebaikan lebih luas dan upaya demokratisasi yang lebih maju.
Ahokers, Kaum Sekuler, dan Kaum Pluralis: Minoritas yang Diharapkan Suaranya, tapi Tak Didengar Aspirasinya
Mereka yang berempati pada Ahok saat Ahok dituding menista agama –diadili dan dipenjarakan karena desakan massa, dibiarkan menjadi tumbal– terutama adalah para pluralis, sekularis, dan juga kaum minoritas. Selain mereka, tentu saja terdapat pula para pendukung fanatik Jokowi.
Mereka yang saya sebut ini, tak peduli apapun etnis dan agamanya, adalah orang-orang yang meyakini bahwa Ahok tidak bermaksud menghina kitab suci. Para sekularis dan pluralis ini meyakini juga bahwa demokrasi mesti memberi ruang pada siapapun untuk menjadi pemimpin, sejauh ia adalah seorang warga negara yang punya kemampuan untuk mengatur pemerintahan.
Buat mereka, Ahok dinilai mampu meskipun Kristen dan keturunan Tionghoa. Sayangnya, tepat di sana pula Ahok dijegal dengan menggunakan isu-isu SARA dan dieksekusi melalu pengadilan. Hanya orang yang awam politik yang mengatakan tidak. Siapa yang turut serta dan memiliki andil dalam penjegalan itu kita sudah sama-sama tahu. Hari ini, parahnya, salah satu tokoh penjegalan itu adalah orang yang dipilih Jokowi dan koalisi pendukungnya untuk menjadi cawapres.
Pilihan itu, sebagaimana di tulisan saya sebelumnya, terutama didasarkan pada keinginan untuk meredam citra anti-islam pada Jokowi dan (kelak) pemerintahannya. Pertanyaannya, mengapa Jokowi dan koalisi memilih Ma’ruf Amin, sosok yang sudah jamak diketahui sangat anti pluralisme dan sekularisme?
Hal itu dengan gamblang memperlihatkan betapa Jokowi dan koalisinya menimbang aspirasi segelintir elit golongan islam, namun tidak menimbang aspirasi golongan pluralis-sekularis yang juga signifikan.
Ahokers, dalam posisi ini, adalah bagian dari golongan itu. Tak sulit saya kira untuk menyimpulkan betapa golongan sekularis-pluralis tetap diperlakukan sebagai minoritas namun tidak dipertimbangkan perasaan dan kemaslahatannya. Golongan sekularis dan pluralis ini memang tak punya saluran untuk itu. Mereka juga tidak memiliki posisi tawar sebagaimana golongan islam melalui elit-elit partainya.
Barangkali golongan ini dapat belajar sekarang bahwa lingkar-lingkar relawan tak cukup punya posisi tawar yang permanen. Kita sudah menyaksikan sendiri bahwa setelah pilpres 2014 kohesi lingkar-lingkar itu menguap. Paradoksnya, suara mereka selalu dan tetap diharapkan dukungannya demi kemenangan elektoral. Jika pada pilpres yang lalu mereka inilah sesungguhnya para pejuang sosial-media, para buzzer tak berbayar, para bemper di tiap pertarungan ruang hegemonik di lini dan kanal sosial-media, maka sekarang mereka adalah orang yang tak didengarkan dan dimintai pendapatnya sedikit pun. Menyakitkan, bukan?
Kita yang Awam, yang Terkoyak-koyak, tapi Paling Berkepentingan atas Demokratisasi
Sampai di sini, setelah memahami koalisi para pengusung JMA, kita tentu tidak boleh melupakan bahwa kebanyakan kita adalah rakyat biasa non partisan partai. Kebanyakan kita adalah rakyat biasa yang melihat capres-cawapres hanya dari figur-jadi-nya ketimbang proses pengusungannya.
Penilaian awam umumnya sebatas: baik atau tidak baik; korup atau tidak korup; bisa mengaji atau tidak bisa mengaji; militer tegas atau sipil klemar-klemer, dan seterusnya. Padahal hal yang cukup penting untuk ditilik juga adalah koalisi pengusungnya, mekanisme pengusungannya, dan motif-motif rumit di belakangnya.
Jokowi mungkin orang baik. Tapi biasanya yang paling sering mengalami nasib buruk adalah orang baik yang kurang cukup pengetahuan. Dalam penentuan Ma’ruf Amin sebagai cawapresnya, sepertinya Jokowi tidak cukup punya pengetahuan atas motif-motif apa yang ada dibelakang mereka yang mengajukan nama itu padanya.
Dan Jokowi, sebagaimana kita ketahui, bukanlah pribadi yang suka ngotot seperti Prabowo atau banyak politisi lain yang prinsipnya adalah “harus”, “harus”, dan “harus”. Atas hal ini, ada beberapa kumungkinan, Jokowi tidak tahu, Jokowi tahu tapi tak kuasa mengubah, atau, parahnya, Jokowi tahu dan memang bersetuju.
Namun begitu, saya ingin menegaskan paragraf saya di bagian awal tulisan ini sebelumnya: “Tidakkah Anda terpikir untuk sekedar memberi pelajaran pada koalisi ini?
Saya yakin kita semua bisa membedakan antara kemenangan elektoral dengan kebaikan lebih luas dan upaya demokratisasi yang lebih maju.