Hamka has not been well-served by scholars…As politician, he is criticized for having worked closely with the Japanese, actions that exposed him to charges of collaboration…So the most current narrative of Indonesian history-valorizing the revolution and demonizing the Orde Baru-renders Hamka politically unserviceable” (Jeffrey Hadler, 1999).
Profesor DR Hamka—dikenal akrab sebagai Buya Hamka (17/2/1908-24/7/1981)—bagi banyak kalangan tidak begitu dikenal dalam kiprahnya sebagai pejuang politik. Ia juga tidak terkenal sebagai aktivis dan elit politik Islam. Meski pernah aktif dalam politik melalui Masyumi, perjuangan melalui jalur politik kekuasaan hanyalah menduduki tempat marjinal dalam karir dan kehidupannya.
Meski demikian, Hamka jelas turut berjuang secara fisik dan politik dalam revolusi kemerdekaan dan pasca-kemerdekaan di masa Presiden Soekarno dan Presiden Soeharto. Keterlibatan dalam revolusi kemerdekaan menjadi pertimbangan pokok bagi pemerintah Indonesia untuk mengakui perannya sebagai pejuang dan pahlawan kemerdekaan Indonesia. Seperti diketahui, Buya Hamka mendapat penghargaan sebagai Pahlawan Nasional dari pemerintah RI; menjelang Hari Pahlawan 10 Nopember 2011 akhirnya ia mendapatkan penghargaan yang sebenarnya sangat terlambat.
Jasa-jasa Buya Hamka jelas melewati batas-batas perjuangan politik dalam kehidupan umat-bangsa Indonesia. Buya Hamka berjuang untuk memajukan umat dan negara-bangsa dalam berbagai lapangan kehidupan sejak dari kesusastraan, pemikiran keagamaan (terutama tasawwuf dan tafsir), pendidikan moderen Islam, dakwah, politik, dan perjuangan melawan kebatilan kolonialisme pra dan pasca kemerdekaan. Perjuangan politik Buya Hamka untuk menegakkan kebenaran pada masa Presiden Soekarno dan Presiden Soeharto.
Aktivisme Politik
Dalam batas tertentu, aktivisme politik Buya Hamka mengikuti ayahnya, Haji Abdul Karim Amrullah (10/2/1879-2/6/1945) atau Haji Rasul. Meski demikian, dalam segi-segi lain—seperti didiskusikan di bawah—Buya Hamka memilih sikap politik yang merupakan gabungan moderasi, keteguhan hati, realisme tapi tetap memegangi integritas vis-a-vis kekuasaan.
Sang ayah, Haji Rasul terkenal sebagai salah satu tokoh gerakan modernisme Islam pada dasawarsa-dasawarsa awal abad 20 yang pertama kali muncul di Sumatera Barat. Seperti dicatat Deliar Noer dalam karya klasiknya The Modernist Muslim Movement in Indonesia 1900-1945 (1973), ketika daerah-daerah lain masih tenggelam dalam ‘kejumudan’, Sumatera Barat menjadi wilayah pertama di mana modenisme Islam menemukan momentumnya.
Dalam konteks itu, penting dicatat, Haji Rasul selain menjadi tokoh modernis dalam pemikiran dan gerakan keagamaan, ia terkenal sebagai ulama modernis yang memiliki jaringan keilmuan dan aktivisme politik. Ia terlibat dalam jaringan politik dengan ulama dan tokoh pergerakan nasional lain semacam HOS Tjokroaminoto dan KH Ahmad Dahlan.
Haji Rasul termasuk ulama yang paling keras menentang Belanda dengan berbagai ketetapannya yang merugikan umat Islam, khususnya menyangkut pendidikan Islam. Kebijakan Belanda yang paling keras ditentangnya misalnya adalah ‘Ordonansi Sekolah Liar’, dan ‘Ordonansi Guru’, yang menetapkan perlunya izin pemerintah kolonial bagi lembaga pendidikan Islam dan gurunya sebelum dapat dizinkan beroperasi.
Akibat penentangannya itu, pada 12 Januari 1941 Haji Rasul dijebloskan Belanda ke dalam penjara Bukittinggi. Agaknya karena Belanda memandangnya masih berbahaya, pada Agustus 1941 ia dibuang ke Sukabumi. Sikap politik anti-kolonialisme, juga diperlihatkan Haji Rasul terhadap penjajah Jepang. Melawan kebijakan penguasa ‘matahari terbit’, Haji Rasul menolak melakukan ‘seikerei’, membungkukkan badan pada pagi hari ke arah matahari terbit (Jepang) untuk menghormati Kaisar Tenno Heika.
Seperti ayahnya begitu jugalah sang anak (like father like son). Di tengah keterlibatannya yang intens dalam dunia kesusastraan, keilmuan dan keulamaan, Hamka juga tidak meninggalkan masyarakat dan bangsa yang tengah berjuang untuk mencapai kemerdekaan. Hamka tidak terlepas dan perjuangan dan aktivisme politik.
Perjuangan dan aktivisme politik Hamka bermula dengan keterlibatannya dalam Sarekat Islam (SI) di Padangpanjang sejak 1925. Sampai masa ini, sejak SI didirikan pada 1911, SI merupakan organisasi sosial politik terbesar di Nusantara dan paling aktif dalam kegiatan dan aksi politik menuntut kemerdekaan Indonesia.
Perkenalan Hamka dengan SI terjadi ketika ia mengadakan perjalanan pada 1924 ke Jogjakarta, kota pusat aktivisme Muhammadiyah dan SI. Menumpang di rumah adik ayahnya, Amrullah Ja’far, Hamka memperoleh banyak kesempatan masuk ke dalam lingkungan SI dan Muhammadiyah. Ia dilaporkan mengikuti berbagai diskusi dan pelatihan SI dan Muhammadiyah, dan juga berjumpa dengan dan ‘belajar’ dari tokoh-tokoh semacam HOS Tjokroaminoto dan Kiyai Bagoes Hadikusumo.
Selain itu, Hamka juga ‘mengembara’ ke Pekalongan berjumpa dengan A.R. Sutan Mansur yang ketika itu menjadi ketua Muhammadiyah di sana. Selanjutnya, ia juga pergi ke Bandung, bertemu dengan tokoh Persis Ahmad Hassan dan Mohammad Nasir yang kelak menjadi pimpinan Masyumi.
Berjumpa dan menyimak pemikiran dan gerakan para tokoh itu dalam organisasi masing-masing, tidak mengherankan jika kemudian Hamka muda juga kian mantap dalam Muhammadiyah sebagai arena dakwahnya, dan semakin tertarik pada SI sebagai lokus perjuangan politik. Seperti dicatat Federspiel (2009), Hamka menceburkan diri ke dalam SI tidak lain karena ia melihat SI sebagai kekuatan sosial-[keagamaan] Islam yang tangguh menghadapi kolonialisme Belanda.
Kembali ke Padangpanjang pada 1925, tidak banyak informasi tentang kiprah Hamka dalam SI di ‘Kota Dingin’ itu. Kelihatannya Hamka kembali lebih banyak aktif dalam kegiatan dakwah dan penulisan. Tetapi akhirnya setelah mengalami gempa besar Padangpanjang pada 1926, Hamka pada 1927 memutuskan berangkat ke Tanah Suci—tidak hanya untuk menunaikan ibadah haji, tetapi juga memperkuat bahasa Arabnya.
Menurut beberapa sumber, selama Tanah Suci, Hamka menjadi koresponden koran Pelita Andalas, dan juga bekerja sambilan pada perusahaan percetakan Hamid ibn Majid al-Kurdisi yang merupakan ayah mertua ulama besar asal Minangkabau, Ahmad Khatib al-Minangkabawi.
Tak kurang pentingnya, Hamka juga turut mendirikan organisasi Persatuan Hindia Timur. Organisasi ini selain memberi pelatihan manasik haji bagi para (calon) jamaah haji, juga menjadi medium informasi tentang berbagai perkembangan di tanahair dan Dunia Islam. Karena itu, Persatuan Hindia Timur turut memainkan peran untuk penumbuhan semangat keislaman dan cinta tanahair yang masih dalam cengkeraman penjajah Belanda.
Kesempatan yang ia perpanjang untuk berada di Tanah Suci juga memberi peluang bertemu dengan Haji Agus Salim yang bekerja di Konsulat (Haji) Hindia Belanda di Jeddah. Kepada Agus Salim yang kemudian dikenal sebagai ‘the Grand Old Man’, Hamka menyatakan niatnya untuk menetap di Tanah Suci. Tetapi Salim menolak niat Hamka tersebut dengan menyatakan; “lebih banyak pekerjaan penting menyangkut gerakan (Islam) dan perjuangan yang dapat angku [anda] lakukan di tanahair. Jadi lebih baik kembali pulang ke tanahair”.
Hamka pun kembali ke tanahair, setelah tujuh bulan di Tanah Suci, tidak ke Padangpanjang, tetapi ke Medan (1936). Di kota ini kembali Hamka aktif dalam dakwah dan penulisan; sebagian tulisannya disita penguasa kolonial karena mereka anggap mengandung informasi dan gagasan berbahaya bagi status-quo kekuasaan Belanda.
Tumbangnya kekuasaan kolonial Belanda di tangan Jepang mengubah arah perjuangan politik Belanda. Berbeda dengan sikapnya yang sangat anti-Belanda, Hamka cenderung bersikap akomodatif terhadap para penguasa Jepang. Sikap akomodatifnya inilah yang kemudian membuat Hamka dituduh sementara kalangan sebagai ‘kolaborator’ penjajah Jepang.
Sebagaimana diungkapkan Hadler, seperti tersirat dalam kutipan di awal makalah ini, karena kesediaannya bekerjasama dengan penjajah Jepang, Hamka dituduh kalangan revolusioner, seperti Syahrir, sebagai ‘kolaborator’–sama dengan Soekarno dan Hatta yang juga dituding sebagai ‘kolaborator’.
Apa bentuk sikap akomodatif Hamka terhadap penjajah Jepang? Akomodasi Hamka itu terlihat dari kesediaannya menjadi penasehat Jepang untuk hal ikhwal Islam dan kaum Muslim. Ia juga bersedia diangkat pada 1944 sebagai anggota Sangi Kai Syu, semacam Dewan Perwakilan. Kenapa ia bersedia bekerjasama dengan penguasa Jepang? Hamka menyatakan; dia menerima karena ia percaya pada janji Jepang untuk memberikan kemerdekaan kepada Indonesia. Inilah ‘realisme’ politik Hamka.
Selain itu, masih berada di Medan di tengah kritik dan kecaman sementara kalangan atas kerjasamanya dengan Jepang, beriringan kemudian dengan usaha Belanda untuk kembali menjajah Indonesia, Hamka aktif dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan. Dalam Kenang-kenangan Hidup (Jilid 4), Hamka menceritakan tentang kiprahnya pada masa ini, termasuk bergerilya di hutan sekitar Medan. Karena kegiatannya melawan Belanda ini ia akhirnya merasa harus kembali ke Sumatera Barat pada 1945, di mana ia merasa lebih aman. Dan di kampung halamannya, ia menjadi penghubung krusial di antara kaum ulama dengan kelompok-kelompok pejuang lainnya.
Kiprah Hamka dalam perjuangan nasional sepanjang 1945-1949 kian meningkat berbarengan dengan terjadinya perang revolusi menentang kembalinya Belanda yang terus kian merebak di seluruh tanahair. Pada 1947 Hamka diangkat menjadi Ketua Barisan Pertahanan Nasional dengan anggota Chatib Sulaeman, Udin, Rangkayo Rasuna Said dan Karim Halim. Selain itu, Hamka juga diangkat Wakil Presiden Mohammad Hatta sebagai Sekretaris Front Pertahanan Nasional yang merupakan gabungan dari berbagai partai politik. Ketua Front ini adalah Bung Hatta sendiri. Selanjutnya Hamka membentuk Badan Pembela Negara dan Kota (BPNK) yang merupakan barisan perlawanan gerilya terbesar di wilayah Sumatera Barat. Hamka sendiri sangat aktif bergerilya dan hampir tidak pernah bisa ditemui di satu tempat tetap.
Kenapa Hamka begitu aktif dalam perjuangan kemerdekaan? Ini tidak lain berdasarkan pada prinsip pokok yang dia pegangi. Hamka sangat meyakini bahwa kemerdekaan bangsa sangat mutlak dalam mewujudkan dan meninggikan kemerdekaan diri (self-independence), yang merupakan keutamaan dan kebajikan pokok bagi setiap Muslim-Muslimah. Kemerdekaan diri ini mestilah bersumber dari tauhid. Dan, sebaliknya bagi Hamka, kemerdekaan bangsa bisa terwujud jika umat Islam memiliki kemerdekaan diri atas dasar tauhid tersebut; dan tanpa itu, kemerdekaan bangsa akhir dapat hancur berkeping-keping.
Politik versus Intelektualisme
Aktivisme perjuangan politik Hamka dalam kancah nasional berlanjut ketika dia dalam Pemilu 1955 terpilih lewat [Partai] Masyumi sebagai anggota Konstituate. Melalui Konstituante Masyumi berjuang untuk menjadikan Indonesia sebagai negara Islam, yang terbukti gagal. Meski Hamka semula mendukung gagasan dan perjuangan menjadikan Indonesia sebagai negara Islam, ia legowo; dan selanjutnya menerima Pancasila sebagai dasar negara dan demokrasi sebagai sistem politik.
Tetapi Hamka segera bersimpangjalan dengan Presiden Soekarno; pertama, karena kian dominannya PKI, dan kedua karena terus meningkatnya otoritarisme Soekarno. Ujungnya, pada 27 Agustus 1964 Hamka ditangkap dan dipenjarakan dengan tuduhan melakukan kegiatan subversi melawan rejim Soekarno. Pada saat yang sama, majalah panji Masyarakat yang dipimpinnya dibredel karena memuat artikel panjang Mohammad Hatta, Demokrasi Kita yang kritis terhadap Demokrasi Terpimpin ala Soekarno.
Hamka adalah sosok intelektual—yang dengan menggunakan kerangka Gramsci, ‘intelektual organik’ yang memegangi integritas. Dengan integritas ia berani menyampaikan pesan kebenaran kepada penguasa—apapun biaya yang kemudian harus ia bayar. Dengan integritasnya itu pula ia menunjukkan bahwa sebagai ulama-cum-intelektual, ia tidak dapat ‘dibeli’—apalagi digertak.
Ini terlihat dalam pengalaman hidup Hamka pasca-keluar dari tahanan seusai pergantian kekuasaan dari Soekarno ke Soeharto. Hamka tidak lagi melibatkan diri dalam politik praktis. Sebaliknya Hamka menghabiskan waktunya dalam dunia intelektual, aktivisme dakwah, pendidikan dan kepengarangan.
Tetapi pada 1975 ia menerima permintaan Presiden Soeharto untuk menjadi Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat. Hamka memandang, MUI merupakan media perjuangan untuk memperjuangkan kepentingan Islam dan kaum Muslimin. Di sini terlihat kembali ‘realisme’ politik Hamka di tengah kekuasaan Presiden Soeharto yang tengah menanjak dan tidak jarang dianggap sebagai merugikan Islam dan kaum Muslimin Indonesia.
Lebih jauh, sebagai intelektual-cum-ulama, Hamka menolak menerima fasilitas dari pemerintah atas posisinya sebagai Ketua MUI Pusat. Meski ia memandang posisi itu sebagai ‘bika yang terbakar dari atas dan dari bawah’, Hamka memilih untuk menjadi ‘bika’ daripada menjadi ulama yang telah ‘dibeli’ kekuasaan.
Nuansa politik yang terkait agama, terlihat dalam kenyataan bahwa Hamka tidak bisa bertahan terlalu lama sebagai Ketua Umum MUI. ‘Fatwa Natal’ yang dikeluarkan MUI pada 7 Maret 1981 yang mengharamkan umat Islam ikut serta dalam ‘Natal bersama’ tidak disukai pemerintah karena dianggap dapat mengganggu kerukunan antar-umat beragama. Buya Hamka menolak rejimentasi pemerintah Orde Baru—yang diwakili Menteri Agama Alamsjah Ratuperwiranegara—untuk mencabut fatwa tersebut.
Menyikapi rejimentasi itu, Hamka memilih mundur dari MUI Pusat daripada mengorbankan integritas keulamaan-intelektualnya. Selanjutnya Hamka berkonsentrasi penuh dalam bidang kepenulisan, dakwah dan pendidikan sampai wafat pada 24 Juli, 1981.
Makalah Diskusi ‘Muhammadiyah Update’‘ Buya Hamka: Mendayung Bahtera Sastra, Tasawuf Moderen dan Muhammadiyah’ Pusat Studi Islam dan Filsafat (PSIF) Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), Malang, 24 Juli 2021.