Jumat, April 26, 2024

Perjuangan Muhammadiyah untuk Keadilan Siyono

Abd. Rohim Ghazali
Abd. Rohim Ghazali
Sekretaris Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik PP Muhammadiyah

siyono-komnasKetua PP Muhammadiyah Busyro Muqoddas (kedua kiri), Ketua tim dokter forensik dr Gatot Suharto SpF (kiri) serta dua Komisioner Komnas HAM Siane Indriani (kedua kanan) dan Hafid Abbas menunjukkan foto otopsi jenazah terduga teroris asal Klaten, Siyono di Kantor Komnas HAM, Jakarta, Senin (11/4). ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan

“Hai orang-orang yang beriman, jadilah kamu sebagai penegak keadilan karena Allah (ketika) menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap suatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil…” (QS; 5:8)

Siyono itu bukan aktivis Muhammadiyah, ngapain sih Muhammadiyah bersusah payah membelanya? Siyono itu tersangka teroris, kok Muhammadiyah mau sih mengadvokasi teroris?

Mungkin karena dua pertanyaan ini, ada pemimpin organisasi kemasyarakatan yang membenarkan sinyalemen salah satu petinggi Kepolisian RI bahwa ada pihak-pihak yang membela teroris. Muhammadiyah dituduh membela teroris!

Bagi Muhammadiyah, ini bukan hal baru. Jangankan dituduh membela teroris, dituduh kafir pun sudah biasa. Kesalahpahaman terhadap gerakan dan perjuangan Muhammadiyah sudah sering terjadi, sejak era kepemimpinan KH Ahmad Dahlan yang mendirikan organisasi ini, hingga era kepemimpinan Haedar Nashir.

Muhammadiyah berjuang bukan hanya untuk anggotanya. Benar Siyono bukan anggota Muhammadiyah, tapi tetap menjadi kewajiban Muhammadiyah untuk membantunya. Suratmi, istri Siyono, sengaja datang mengadu kepada Muhammadiyah karena dilandasi keyakinan pada organisasi ini. Tentu kayakinan yang tidak datang tiba-tiba, tapi karena pengalaman sejarah panjang perjalanan Muhammadiyah.

Sejak berdiri tahun 1912, Muhammadiyah berkomitmen membantu siapa pun yang membutuhkan bantuan, tanpa pandang bulu. Sekolah-sekolah, panti-panti, dan balai-balai pengobatan yang didirikan Muhammadiyah diperuntukkan bukan hanya untuk warga Muhammadiyah, tapi untuk semua kalangan, termasuk non-Muslim.

Muhammadiyah tidak terganggu dengan tuduhan-tuduhan negatif, juga tidak terusik dengan perdebatan apakah Siyono itu teroris atau bukan. Bagi Muhammadiyah, siapa pun punya hak untuk mendapatkan keadilan. Dan faktanya, yang dirampas dari Siyono bukan hanya hak untuk menadapatkan keadilan, bahkan haknya yang asasi, hak untuk hidup, telah direnggut secara semena-mena.

Sikap Muhammadiyah terhadap terorisme sudah jelas, menolak dengan tegas. Bahkan menurut Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Haedar Nashir, “Teroris dalam bentuk apa pun adalah musuh semua komponen bangsa, termasuk juga Muhammadiyah.”

Advokasi kasus Siyono, kata Haedar, hanya untuk mencegah agar tidak terjadi lagi penanganan kasus yang dilakukan secara semena-mena, dengan mengabaikan prinsip-prinsip keadilan dan hak-hak asasi manusia.

Dari hasil otopsi terhadap jenazah Siyono yang dilakukan oleh tim dokter forensik Muhammadiyah, yang didukung Komisi Nasional HAM, terbukti secara meyakinkan bahwa Siyono menjadi korban kekerasan. Tidak ada tanda-tanda Siyono melakukan perlawanan seperti yang diopinikan pihak kepolisian. Hasil otopsi semakin meyakinkan Muhammadiyah telah berjuang di jalur yang benar.

Mencegah dan membasmi terorisme seyogianya tetap dilakukan dengan cara-cara yang beradab. Cara-cara biadab bertentangan dengan Pancasila dan konstitusi negara (UUD 1945). Para teroris itu jelas kita benci, tapi kebencian terhadap para teroris tidak boleh menghalangi kita untuk tidak berbuat adil. Bahwa ada hukum yang harus ditegakkan, tentu harus kita patuhi. Tapi menegakkan hukum tidak boleh dilakukan dengan cara-cara melanggar hukum. Mencegah terorisme tidak boleh dilakukan dengan cara-cara yang mengundang lahirnya terorisme baru.

Keadilan, kata Aristoteles, adalah timbangan Tuhan di bumi. Dengan timbangan ini, orang yang teraniaya diselamatkan dari cengkeraman orang yang menganiaya, dan dengannya diketahui siapa yang benar dan siapa yang salah.

Kasus Siyono memberi kita pelajaran bahwa siapa pun tidak boleh dilakukan secara sewenang-wenang. Kasus ini bisa menjadi penggugah kesadaran betapa pentingnya menjalankan undang-undang (menegakkan peraturan) dengan cara-cara yang benar. SOP (Standard Operating Procedure) yang menjadi pedoman Densus 88 dalam menangani kasus-kasus terorisme harus dijalankan secara proporsional.

Jika Undang-Undang Nomor 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme belum mengatur tatacara memeriksa dan menindak para terduga teroris secara benar, maka aspek ini harus mendapat perhatian khusus, terutama dari anggota Komisi III DPR RI dalam melakukan revisi terhadap undang-undang ini.

Di sisi lain, kasus Siyono bisa dijadikan contoh, atau preseden yang baik, bagi semua korban kekerasan aparat penegak hukum untuk tidak takut, pasrah, dan menyerah. Jika tidak mampu melawan, ingatlah masih ada Muhammadiyah yang siap membantu. Perjuangan Muhammadiyah untuk keadilan Siyono membuktikan bahwa kekuatan civil society masih ada di negeri ini.

Perintah Allah dalam al-Quran surah al-Maidah ayat 8 yang dikutip di awal tulisan ini dengan jelas memberikan tuntunan. Dengan berpedoman pada ayat ini, Muhammadiyah merasa berkewajiban melakukan advokasi, mengusahakan tegaknya keadilan, bahkan terhadap mereka yang kita benci sekalipun.

Kolom Terkait:

Terorisme dan Tindakan Main Hakim Sendiri

Abd. Rohim Ghazali
Abd. Rohim Ghazali
Sekretaris Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik PP Muhammadiyah
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.