Saya dan pacar baru jadian dan tentu saja kami lagi kasmaran. Seperti banyak orang kasmaran, kami mungkin akan sangat menyebalkan, norak, dan kampungan. Tapi kami sepakat bahwa ada yang lebih penting daripada sekadar jadian, pamer selfie, kemesraan atau sekadar jalan bersama, yaitu bagaimana kami mengembangkan diri dan pasangan.
Saya dan pacar sadar, kelak mungkin kami akan putus dan membenci satu sama lain, tapi kami juga yakin selama proses ini kami ingin sebisa mungkin membuat satu sama lain berkembang. Untuk itu, kami senang berbagi tautan bacaan, diskusi, membaca buku, nonton, dan berbagi musik.
Hal yang sempat kami bahas adalah tentu saja nikah muda, seperti orang kasmaran yang kebanyakan. Ini mungkin akan jadi bahan lelucon dan ketawaan bagi mereka yang mengenal kami. “Ah, nanti juga putus”, atau dicap “muluk-muluk”, tapi kami berdua sepakat bahwa pilihan menikah semestinya lahir dari pikiran sadar yang diambil secara konsensual.
Konsensual di sini artinya mereka yang ingin menikah tidak sedang dipaksa, atau sedang dalam kondisi di mana mereka dibuat berpikir bahwa menikah adalah satu-satunya jalan untuk bahagia, khususnya bagi perempuan.
Di Indonesia, belakangan ada gerakan perempuan yang menginginkan menikah muda. Menikah muda muda tidak salah, yang salah menikah dini. Jika anda perempuan berusia belasan di mana rahim dan kemampuan reproduksi anda masih rentan, menikah dini sebaiknya dihindari. Jika anda laki-laki muda yang belum mapan, memiliki kondisi emosi kurang stabil, dan tidak punya pemahaman yang baik tentang pernikahan, akan lebih baik Anda memperbaiki diri.
Tidak ada yang salah dari perempuan atau laki-laki yang ingin menikah muda. Bagi saya, yang salah adalah mereka tak diberi pemahaman tentang kesehatan reproduksi yang memadai; serta alternatif bahwa kamu bisa tidak menikah dan bahagia dan meraih apa yang kamu mau. Seolah-olah pernikahan adalah standar tunggal kebahagiaan dan mereka yang tak menikah sedang menderita. Misalnya kamu perempuan dibuat percaya bahwa menikah akan menjamin kemapanan hidupmu. Perempuan mestinya di rumah saja, mengabdi, padahal ada pilihan lain untuk menjadi ilmuwan, insinyur, doktor, peneliti, tanpa harus tunduk pada dogma bahwa perempuan mesti berada di ketiak suami.
Saat melihat gerakan Mbak-mbak kampus untuk menikah muda, saya jadi ingat kampanye Microsoft yang bertajuk #MakeWhatsNext, mereka menyebut hanya 6 persen saja perempuan di dunia yang melanjutkan kuliah dan mendapatkan gelar dalam bidang Science, Technology, Engineering and Mathematics (STEM). Sedikit sekali perempuan yang berkontribusi dalam peradaban dan sains, bukan karena mereka tak mampu melainkan terlahang banyak hal.
Sejak kecil anak perempuan kita diajarkan bagaimana cara memasak agar menjadi istri yang baik, bukan supaya kelak mereka akan menjadi chef profesional. Perempuan diajarkan membersihkan pakaian, mencuci piring, dan merawat rumah, bukan supaya mereka bisa dipercaya menjadi manajer resort, tapi karena dipersiapkan untuk menjadi pasangan suami.
Anak perempuan kita jarang sekali diajari berpikir bahwa kelak mereka bisa jadi astronot, presiden, penemu obat HIV, arkeolog, penjelajah, pembuat mesin antariksa, sehingga dalam pikiran mereka hanya ada keinginan untuk menjadi istri dan menganggap bahwa tinggal di rumah adalah satu-satunya pilihan karier yang paling benar.
Perempuan semestinya diberikan kebebasan dan didukung untuk mencapai potensi terbaiknya. Jika dia mau memilih jadi ibu rumah tangga, memiliki anak, dan melayani suami ya didukung, selama pilihan itu dibuat dengan sadar tanpa paksaan. Di sisi lain, jika mereka ingin jadi peneliti teknologi stem cell, membangun roket ramah lingkungan, menemukan obat kanker, mencegah global warming, atau presiden, para perempuan ini semestinya didukung.
Pacar saya adalah pecandu Matematika dan Fisika, untuk itu saya mendorongnya untuk kembali menekuni dan belajar STEM, bukan karena saya ingin jadi penyelamat atau mesias atau sok-sokan biar dibilang pacar suportif, tapi karena saya pikir dia punya potensi untuk jadi lebih dari hari ini. Dia mudah menyerap apa pun yang ia baca, mengahafal yang ia dengar, dan memahami yang ia kerjakan.
Saya percaya bahwa alih-alih membuat gerakan “Yuk, nikah muda” (sekali lagi tak ada salahnya dengan nikah muda), ada baiknya kita mendorong anak-anak perempuan di seluruh Indonesia untuk maju dengan memberikan alternatif karier di masa depan. Bahwa mereka bisa jadi pembuat senjata, arsitek gedung pembangkit listrik ramah lingkungan, penangkar hewan langka, peneliti pemanasan global, atau bahkan jadi jenderal.
Dengan menunjukkan bahwa ada banyak perempuan yang berhasil dan sukses memberikan sumbangan peradaban melalui sains dan teknologi, saya yakin kita bisa membuat perempuan indonesia jauh lebih berdaya, lebih berdaulat, dan ujung-ujungnya … saya sebagai laki-laki bisa memilih jadi bapak rumah tangga.
Istri bekerja, suami sebagai pakar peradaban main PS4 di rumah saja.