Jumat, April 19, 2024

Perceraian Brangelina dan Dunia Simulakra

Nadia Egalita
Nadia Egalita
Alumnus Program Magister Communication and Media Studies Monash University. Kini tinggal dan bekerja di Melbourne, Australia.
brangelina-binodon69
Brad Pitt – Angelina Jolie (binodon69.com)

Berakhir sudah kisah harmonis dan romantis pasangan selebriti yang digadang-gadang menjadi pasangan paling ideal di era postmodern. Pasangan yang disebut media dengan nama “Brangelina” ini sebetulnya kerap diberitakan sebagai pasangan artis yang sempurna. Kedua artis Hollywood yang sama-sama populer, keren, dan good looking—yang membuat jutaan penggemarnya iri sekaligus mendoakan agar pernikahan mereka langgeng—ternyata mengalami nasib yang sama dengan kisah selebriti lain yang memang terbiasa kawin-cerai.

Pasangan Angelina Jolie dan Brad Pitt ini seolah terkena tuah karma dari perselingkuhan Brad Pitt dulu yang mengkhianati istrinya, Jennifer Aniston, untuk kemudian menikahi Angelina Jolie. Sebagian netizen berduka atas perceraian artis terkenal ini, dan sebagian netizen lain memaklumi karena perceraian dipahami sebagai hal yang biasa terjadi di kalangan artis.

Meski perceraian pasangan artis terkenal ini baru saja terekspose di media massa dan hashtag #Brangelina menjadi trending topic nomor satu di Twitter, rumor keretakan pasangan ini sebetulnya sudah lama terdengar.

Layaknya pasangan artis lain, ketidakcocokan hubungan Jolie dan Brad Pitt seringkali ditutup-tutupi, dan setiap kali tampil di hadapan publik, mereka memang piawai menyembunyikan persoalan yang sebenarnya mereka hadapi. Padahal, keluarga pasangan artis ini sesungguhnya sudah lama ditengarai merupakan keluarga “selaput kosong”, yang di luar tampak harmonis, tetapi di internal sehari-hari pertengkaran demi pertengaran sudah sering terjadi, bahkan dalam skala yang sangat dahsyat.

Kenapa masyarakat, khususnya para penggemar selebriti, lebih mempercayai kehidupan harmonis yang dikonstruksi sang artis daripada bersikap kritis untuk memahami apa yang sebenarnya terjadi? Dari perspektif teori sosial, kisah suka-duka yang dialami para selebriti terkenal seperti Jolie dan Brad Pitt acapkali tersembunyi dan tidak diketahui publik paling-tidak berkaitan dengan dua faktor.

Pertama, karena kepiawaian para selebritis untuk mengembangkan dramaturgi antara kehidupan sehari-hari mereka dengan kehidupan di bawah sorotan lampu dan kamera insan media. Seperti dikatakan Erving Goffman (1959), dalam buku klasiknya Presentation of Self in Everyday Life, kehidupan manusia, khususnya kehidupan para artis, ibarat panggung teater, di mana interaksi sosial yang dikembangkan mirip dengan pertunjukan di atas panggung drama.

Ketika selebriti tampil di “wilayah depan” (front stage), maka yang dikesankan niscaya adalah impresi yang serba bagus untuk publik, semacam polesan tampilan yang dikembangkan untuk tujuan membangun penilaian masyarakat yang positif kepada sang artis. Di panggung depan ini biasanya yang ditampilkan adalah peran formal, semacam panggung sandiwara yang diskenario untuk tujuan tertentu. Ini berbeda jika selebriti berada di “wilayah belakang” (back stage).

Di bagian belakang atau di wilayah privat, kehidupan selebriti yang jauh dari amatan publik dan penggemar, berbagai perilaku sang aktor yang nyata biasanya baru akan terlihat ketika aib dan perilaku negatif mereka diungkap ke publik.

Dalam kasus perceraian Brangelina, ulah Brad Pitt yang sering mengkonsumsi ganja dan minum-minuman keras, atau ulah Jollie yang sering implusif di hadapan anak-anaknya, baru diungkap ke publik oleh masing-masing pihak yang bersengketa. Bagi para penggemar, ulah aktor pujaannya yang negatif seperti ini biasanya baru terungkap ketika idola mereka saling berselisih.

Kedua, berkaitan dengan dunia rekaan atau dunia simulakra yang seringkali timbul ketika antusiasme penggemar berkembang liar, dan ketika masyarakat tidak lagi bisa membedakan mana realitas nyata dan mana pula realitas rekaan. Filsuf Jean Baudrillard (1983) dalam bukunya Simulations menyatakan, di masyarakat postmodern seringkali masyarakat—khususnya penggemar yang fanatik—tak lagi bisa membedakan mana realitas yang asli, dan mana realitas bentukan yang sengaja ditampilkan untuk kepentingan tertentu.

Dalam bayangan penggemar, kehidupan selebriti di film atau cerita mereka yang ditulis di majalah atau koran, seringkali dianggap sebagai refleksi dari kehidupan nyata sang idola mereka. Padahal, dalam masyarakat postmodern, realitas bentukan itu tak lebih dari dunia simulakra yang dikemas dan direproduksi untuk memanipulasi selera konsumen dan kepentingan demi meraih pangsa pasar para penggemar yang menguntungkan kekuatan kapitalis.

Di kalangan dunia selebriti, sudah lazim terjadi, untuk kepentingan promosi sebuah film atau produk budaya populer lain, tampilan sang artis kemudian dipoles sedemikian rupa agar menarik perhatian publik. Tidak hanya mengemas cara artis menampilkan dirinya secara personal, jika perlu hubungan sang artis dengan pujaannya dikemas dalam perkawinan atau hubungan pacaran yang hanya settingan untuk menghegemoni pikiran masyarakat.

Di masyarakat, ketika yang berkembang adalah subkultur yang memuja bintang idola, kemungkinan masyarakat penggemar untuk bertekuk-lutut di bawah proses pencitraan dan rekayasa kehidupan semua sang artis memang akan berpotensi muncul.

Hiruk-pikuk para netizen memberikan komentar terhadap kasus perceraian Angelina Jolie dan Brad Pitt di dunia maya, dan antusiasme media meliput divorce of the year ini, adalah bukti nyata bahwa sindrom terhadap bintang pujaan masih juga memasyarakat di tengah perkembangan zaman yang makin rasional dan maju seperti sekarang ini.

Peran media massa yang terus memberitakan kehidupan para selebriti dalam porsi yang massif dan meluas adalah salah satu faktor yang membuat kenapa simulakra kehidupan artis selalu berhasil membetot perhatian penggemar.

Untuk menyadarkan sikap kritis para penggemar agar mereka tidak menjadi korban histeria dan fanatisme kepada artis pujaannya, peran awak media massa sangat penting. Daripada memerankan diri sebagai bagian dari perpanjangan tangan kekuatan kapitalis media dan industri budaya populer untuk terus mereproduksi berita-berita semu para selebriti, alangkah baiknya jika media massa ke depan mau bersikap lebih objektif dan realistis dalam mengekspose kehidupan para bintang.

Fanatisme dan antusiasme berlebihan terhadap idola dan sindrom bintang hanya akan membuat masyarakat kehilangan sikap kritisnya.

Nadia Egalita
Nadia Egalita
Alumnus Program Magister Communication and Media Studies Monash University. Kini tinggal dan bekerja di Melbourne, Australia.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.