Rabu, Juli 9, 2025

Perburuan Otak: Ambisi Teknologi Tiongkok Menantang Dominasi Barat

Donny Syofyan
Donny Syofyan
Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas
- Advertisement -

Bayangkan sebuah pertanyaan sederhana yang membuka tabir persaingan teknologi global: Apa yang pertama kali terlintas di benak Anda ketika mendengar kata “Tiongkok”?

Mungkin benak Anda langsung dipenuhi gambaran banjir produk ekspor – murah, merajai pasar, namun tak jarang dituding sebagai tiruan dari inovasi Barat. Ya, reputasi Tiongkok dalam mengekor dan memproduksi massal produk konsumer memang membekas. Strategi ini, meski terbukti ampuh dalam mendongkrak pertumbuhan, kini mencapai titik balik.

Ambisi Tiongkok kini merayap naik, membidik puncak piramida teknologi. Namun, tembok penghalang berupa transfer pengetahuan dari Barat menghadang. Mereka tak bisa meniru apa yang tak mereka ketahui. Lalu, Beijing menyusun langkah taktis yang berani: memburu otak-otak brilian Barat. Jika teknologi dan produk unggulan sulit didapatkan, mengapa tidak menggaet para perancangnya langsung?

Sebuah operasi perekrutan global pun diluncurkan. Kantor-kantor internasional bermunculan, menebar jaring rayuan berupa tawaran fantastis – bayangkan, kenaikan gaji hingga 300%! Ini bukan sekadar uang besar, ini adalah gelombang investasi raksasa yang menyasar para maestro di bidang teknologi, terutama semikonduktor dan kecerdasan buatan.

Lahan perburuan pun jelas: pusat-pusat inovasi dunia. Mulai dari Taiwan, sang raja manufaktur chip, hingga Silicon Valley, jantung dari perusahaan teknologi raksasa dunia. Tak ketinggalan, kantong-kantong keahlian di Eropa, seperti Jerman dan Belanda, turut menjadi incaran.

Di garis depan perburuan talenta ini berdiri Huawei, sang titan teknologi Tiongkok. Mereka tak gentar membidik perusahaan-perusahaan sekaliber ASML, perusahaan asal Belanda yang memegang kunci produksi mesin pembuat chip tercanggih di dunia. ASML, dengan dominasi pasar nyaris tanpa cela, menghasilkan semikonduktor yang menjadi urat nadi teknologi modern. Tanpa mesin mereka, inovasi terhenti.

Namun, jalan Tiongkok terjal. Kekuatan Barat membentengi ASML, melarang penjualan mesin krusial ini kepada Tiongkok, termasuk Huawei. Tak kehilangan akal, Beijing mengambil jalan pintas yang cerdik: membajak para insinyur dan ilmuwan yang membangun keunggulan ASML. Strategi klasik untuk meraup rahasia dagang, pengetahuan mendalam, dan keahlian langka.

Namun, ini bukan sekadar permainan korporasi biasa. Perusahaan seperti Huawei bukan hanya entitas bisnis, melainkan perpanjangan tangan dari ambisi negara Tiongkok. Mereka agresif dalam memburu talenta asing. Kabarnya, banyak yang menerima berkali-kali panggilan telepon, email, bahkan pesan LinkedIn dengan tawaran pekerjaan menggiurkan.

Sejauh mana keberhasilan Huawei? Kita belum tahu pasti. Namun, Barat dan sekutunya siaga satu, berupaya keras membendung gelombang pembajakan talenta ini. Taiwan, misalnya, telah memperketat aturan perekrutan oleh perusahaan Tiongkok. Korea Selatan pun mengubah undang-undangnya, bersiap menjatuhkan hukuman berat dan mencegah bocornya pengetahuan sensitif. AS dan Eropa tak ketinggalan, menggerakkan badan-badan intelijen mereka.

Meski demikian, Tiongkok terus menorehkan kemajuan di ranah teknologi. Baru-baru ini, Huawei meluncurkan ponsel Mate 70 yang ditenagai perangkat lunak buatan mereka sendiri. Dulu, mereka sangat bergantung pada teknologi Barat, menggunakan Android dari Google dan komponen dari pemasok Barat. Kini, era ketergantungan itu perlahan berakhir. Ini semua tentang kemandirian, kemampuan untuk menciptakan teori, mengimplementasikannya, dan memproduksinya dalam skala komersial. Inilah inti dari benturan kepentingan antara Timur dan Barat.

- Advertisement -

Beijing dengan insentif besar-besaran memacu transformasi ini. Pembuatan chip menjadi prioritas utama, dengan kucuran dana investasi hampir $100 miliar dalam bentuk subsidi dan kebijakan pendukung. Tujuannya jelas: menciptakan mesin-mesin yang setara dengan keunggulan ASML. Seberapa dekat Tiongkok dengan mimpi ini? Para ahli memperkirakan setidaknya lima tahun dibutuhkan untuk menjembatani jurang ketertinggalan.

Terlepas dari segala upaya Amerika Serikat, Tiongkok terus melangkah maju, dengan segala cara. Strategi pembajakan talenta ini adalah bukti nyata tekad mereka untuk menggulingkan dominasi AS dan memenangkan perang teknologi.

Lebih dari sekadar perebutan talenta antar korporasi, yang terjadi sesungguhnya adalah manuver geopolitik yang terselubung. Entitas seperti Huawei bukanlah pemain independen, melainkan ujung tombak ambisi teknologi Negara Tiongkok. Mereka bergerak agresif dalam perburuan pekerja asing, menebar jaring digital melalui panggilan telepon, email bertubi-tubi, bahkan pesan personal di LinkedIn, semua demi memikat para ahli dengan iming-iming pekerjaan.

Meskipun tingkat keberhasilan Huawei masih menjadi teka-teki, Barat dan sekutunya tak tinggal diam. Kewaspadaan ditingkatkan, dan upaya untuk membendung arus “pembajakan otak” dari Tiongkok semakin intensif. Taiwan, sebagai garda terdepan industri chip, telah memperketat aturan main dalam perekrutan oleh perusahaan-perusahaan Tiongkok. Korea Selatan pun mengambil langkah serupa, merombak undang-undang untuk menjatuhkan sanksi berat dan memutus rantai transfer pengetahuan sensitif. Bahkan Amerika Serikat dan Eropa turut bergerak, mengaktifkan jaringan intelijen mereka untuk memantau dan merespons dinamika ini.

Di tengah riuhnya upaya pencegahan, Tiongkok diam-diam terus menorehkan tinta kemajuan di peta teknologi dunia. Buktinya? Peluncuran Huawei Mate 70 baru-baru ini, sebuah perangkat yang sepenuhnya ditenagai oleh perangkat lunak buatan sendiri. Sebuah lompatan signifikan dari ketergantungan masa lalu pada Android-nya Google dan komponen-komponen dari pemasok Barat. Langkah ini bukan sekadar inovasi produk, melainkan manifestasi dari visi kemandirian teknologi.

Bayangkan, ketika Anda membongkar sebuah ponsel pintar dan mendapati mayoritas chip, bahkan hingga 90% atau 80%, adalah produk anak bangsa Tiongkok. Inilah esensi dari kemandirian: kemampuan untuk tidak hanya merakit, tetapi juga menciptakan fondasi teoretis, mengimplementasikannya dalam produk nyata, dan memproduksinya dalam skala komersial. Inilah pusaran utama dalam rivalitas teknologi antara Timur dan Barat.

Dengan gelontoran insentif raksasa, Beijing tanpa ragu mengomandoi perubahan lanskap teknologi. Pembuatan chip bukan lagi sekadar industri, melainkan garis depan strategis. Investasi nyaris $100 miliar mengalir deras, bukan hanya sebagai subsidi, tetapi juga sebagai karpet merah kebijakan yang memuluskan jalan bagi industri semikonduktor lokal untuk bangkit. Targetnya terukir jelas dan ambisius: menantang dominasi ASML dalam produksi mesin pembuat chip kelas dunia.

Namun, pertanyaan krusialnya adalah: seberapa dekat Tiongkok dengan puncak gunung teknologi ini? Para ahli sepakat, jurang pemisah masih terbentang lebar, setidaknya lima tahun kerja keras dan inovasi dibutuhkan untuk menyamai level keahlian ASML.

Kendati demikian, di tengah segala upaya pengepungan teknologi dari Amerika Serikat, Beijing menunjukkan determinasi yang tak tergoyahkan. Mereka melangkah maju dengan segala cara, dan strategi “pemburuan otak” menjadi simbol tekad baja mereka. Tujuannya terpatri kuat: menggulingkan hegemoni teknologi AS dan memenangkan perang mahapenting di era digital ini.

Donny Syofyan
Donny Syofyan
Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas
Facebook Comment
- Advertisement -

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.