Pemilihan umum (Pemilu) serentak telah terlaksana pada 17 April lalu. Saya berterima kasih dan mengapresiasi kepada seluruh penyelenggara, Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) di semua tingkatan, yang telah menyelenggarakan pemilu sesuai aturan sehingga bisa berjalan lancar.
Namun, penyelenggaraan pemilu kemarin bukan tanpa evaluasi. Karena fakta di lapangan menunjukkan pemilu kali ini menyisakan pilu. Data yang saya terima, di 25 provinsi terdapat 119 petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) meninggal dunia dan 548 sakit. Mereka adalah pejuang demokrasi, tapi sekaligus korban dari sistem Pemilu yang rumit dan melelahkan ini.
Selanjutnya, adalah persoalan biaya. Pemilu kali ini yang dirancang pelaksanaannya secara serentak agar menghemat biaya, rupanya keliru. Biaya penyelenggaraan membengkak dari Rp24,1 triliun pada 2014 menjadi Rp24,8 triliun. Belum lagi besarnya ongkos yang mesti ditanggung peserta Pemilu di tingkat legislatif dan eksekutif akibat panjangnya masa kampanye.
Saya, sebagai Caleg yang telah mengikuti beberapa pemilu menilai kali ini paling memakan biaya. Tanggung jawab kampanye yang menumpuk untuk Pilpres dan Pileg, masa kampanye yang panjang, dan banyaknya saksi yang harus digaji menjadi alasannya. Berbeda dengan pemilu lalu ketika Pileg dan Pilpres dilakukan terpisah. Caleg bisa fokus berkampanye untuk Pileg dalam waktu singkat. Tidak semua pula bertanggung jawab melakukan kampanye Pilpres, karena hanya dibebankan kepada pengurus partai atau Caleg yang telah terpilih.
Makanya, di antara para Caleg sering berseloroh, kalau masa kampanye ditambah satu bulan lagi, maka akan semakin banyak Caleg gila.
Lalu apa yang bisa dibenahi untuk pemilu selanjutnya?
Pertama, petugas KPPS di pemilu selanjutnya harus mendapatkan asuransi BPJS Ketenagakerjaan. Hal ini sudah pernah saya usulkan saat memimpin Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan KPU dan Bawaslu di Komisi II pada 9 Januari lalu. Usulan saya pun diketok sebagai masukan resmi Komisi II agar KPU dan Bawaslu segera berkomunikasi dengan Kemenkeu membuat BPJS Ketenagakerjaan bagi seluruh penyelenggara dari tingkat pusat sampai daerah. Namun, itu tak terlaksana. Kini, saat banyak petugas KPPS tertimpa musibah, KPU baru mengusulkan kepada Kemenkeu.
Padahal, BPJS Ketengakerjaan relatif murah sebagai asuransi. Saya memberikan BPJS Ketenagakerjaan untuk seluruh saksi di Dapil dengan premi bulanan Rp5.500 per orang yang mencakup kecelakaan dan meninggal dunia. Apabila KPU dan Bawaslu sudah melakukannya jauh hari, tentu para petugas KPPS yang meninggal, sakit atau mengalami kecelakaan bisa mendapatkan dana asuransi tersebut saat ini.
Kedua, Pemilu tak lagi diselenggarakan serentak. Terdapat dua opsi sistem yang bisa diterapkan pada Pemilu mendatang: mengembalikan seperti Pemilu 2014 atau memisahkan Pemilu pusat dan daerah seperti diusulkan sejumlah pakar Pemilu. Untuk opsi pertama, tentu akan lebih mudah melaksanakannya karena kita telah memiliki pengalaman. Namun, untuk opsi kedua masih butuh kajian lebih lanjut.
Kajian untuk opsi kedua mesti meliputi rincian biaya penyelenggaraan, kesiapan daerah menjadi penyelenggara Pemilu, serta simulasi waktu pelaksanaan. Belum ada yang ideal sampai sejauh ini terkait itu semua. Asumsi bahwa biaya akan lebih efisien masih harus dibuktikan. Karena sangat mungkin diperlukan pemenuhan infrastruktur di daerah-daerah tertinggal sebelum melaksanakan Pemilu daerah dan itu memakan biaya yang tak sedikit.
Akan tetapi, pada dasarnya saya setuju dengan ide pelaksanaan Pemilu secara terpisah. Karena, telah terbukti Pemilu serentak memiliki banyak kekurangan dan memakan banyak korban.
Ketiga, pelaksanaan pemilihan dan penghitungan secara elektronik. Salah satu isu terbesar di Pemilu kali ini, adalah kecurangan. Meliputi hilangnya suara kandidat tertentu sampai pemilih ganda. Hal ini sangat mungkin terselesaikan apabila pemilihan dan penghitungan suara dilakukan secara elektronik seperti halnya telah berlaku di Amerika Serikat.
Masyarakat tetap berangkat ke TPS, tapi tak mencoblos pada kertas, melainkan memilih menggunakan perangkat elektronik yang telah disediakan. Sehingga, penghitungan bisa dilakukan secara digital dan meminimalisasi terjadinya kebocoran suara. Waktu penghitungan pun dapat terpangkas. Tak sampai berhari-hari seperti sekarang.
Namun, memang masalahnya adalah biaya dan Sumber Daya Manusia (SDM). Pemenuhan perangkat elektronik tentu memakan biaya mahal. Belum lagi di daerah yang saat ini belum terkoneksi ke internet dengan baik. Maka, membutuhkan biaya tambahan untuk itu.
Berkaca pada pemilu saat ini, masih banyak petugas KPPS dan pengawas yang gagap teknologi. Bahkan, yang tak memiliki smartphone masih banyak. Guna dapat menciptakan SDM penunjang pemilihan dengan elektronik, mesti dilakukan pelatihan kepada mereka. Prosesnya tak singkat dan butuh tambahan biaya lagi.
Memang, lima tahun bukan waktu singkat untuk melakukan segala persiapan tersebut. Dan, masih mungkin pemilihan secara elektronik terlaksana di Pemilu mendatang. Hanya saja, menurut hemat saya, lebih baik perbaikan fokus pada poin pertama dan kedua saja dulu sambil menyiapkan pemilihan elektronik untuk Pemilu 2029.
Itulah catatan saya untuk Pemilu kali ini. Bagaimanapun kondisinya, tetap Pemilu kali ini mesti disyukuri telah berjalan lancar. Kesalahan-kesalahan yang terjadi adalah pelajaran bagi pelaksanaan demokrasi kita. Bukan berarti demokrasi buruk dan harus diganti ke sistem lain, seperti yang santer disuarakan para pendukung khilafah.