Buat sebagian orang, “kalah” bukanlah kata kerja, melainkan kata sifat. “Kalah” memuat banyak unsur yang biasanya sama sekali tak diinginkan: marah, jengah, memalukan; menjadi pecundang.
Di Jerman, Meidericher Spielveirn 02 e. V Duisburg adalah pecundang yang sebenar-benarnya. Nama, MSV Duisburg—kita singkat saja agar tak membuang banyak waktu untung mengejanya—memang tidak setenar Bayern Munich, Borussia Dortmund, atau Bayer Leverkusen. Bahkan, di kalangan para hipster pun, nama Saint Pauli mungkin akan terdengar lebih tenar.
Lantas, apa yang membuat Duisburg begitu menarik?
Salah satu jawabannya adalah kedekatan perasaan dengan kesebelasan negara Indonesia. Kesebelasan Besar Minus Gelar.
MSV Duisburg adalah kesebelasan yang diperhitungkan saat Bundesliga pertama kali digulirkan. Kesebelasan yang saat itu masih bernama Meidericher SV ini pernah menempati peringkat kedua, di musim pertama Bundesliga berjalan pada 1963. Kesebelasan yang bermarkas di Schauinsland-Reisen-Arena ini punya komposisi skuat yang mumpuni untuk bisa bersaing dengan kesebelasan kuat kala itu seperti 1. FC Koln, SV Werder Bremen, dan Borussia Dortmund.
Di musim ketiganya, MSV Duisburg yang menjadi langganan papan tengah, berhasil lolos hingga babak final DFB-Pokal, turnamen setipe FA Cup di Inggris, Coppa Italia di Italia, dan Copa del Rey di Spanyol. Lawan Duisburg kala itu adalah kesebelasan yang baru saja promosi, FC Bayern Munich, yang menggebrak Bundesliga dengan langsung menempati peringkat ketiga di musim pertamanya.
Dalam pertandingan yang digelar di Waldstadion, Frankfurt, tersebut, Duisburg mesti mengakui keunggulan Bayern dengan skor 4-2. Bintang Bayern waktu itu, Franz Beckenbauer yang masih berusia 21 tahun, mencetak gol terakhir yang mengunci kemenangan Bayern.
Hampir satu dekade kemudian, Duisburg kembali melenggang ke babak final DFB Pokal. Kala itu, The Zebras, julukan Duisburg, menghadapi tantangan besar karena mesti menghadapi Eintracht Frankfurt yang merupakan juara bertahan musim sebelumnya. Sempat menahan imbang tanpa gol di babak pertama, satu gol Karl-Heinz Koerbel sudah cukup untuk membuat Duisburg pulang tanpa gelar.
Duisburg adalah kesebelasan yang begitu inkonsisten. Mereka kerap naik turun divisi dengan begitu cepat. Pernah turun hingga divisi ketiga, tapi bisa langsung kembali naik ke Bundesliga beberapa tahun kemudian. Salah satu contohnya adalah pada medio 1980-an hingga awal 1990-an di mana Duisburg masih berjuang di divisi bawah.
Namun, pada musim 1997/1998, mereka berhasil mengulang memori 32 tahun silam di mana mereka kembali bertemu Bayern Munich di babak final DFB Pokal. Sialnya, Bayern yang mereka hadapi kala itu adalah Bayern yang jauh lebih kuat, yang semusim kemudian kelak mencapai babak final Liga Champions.
Di skuat Bayern terdapat nama Oliver Khan di posisi penjaga gawang. Ada pula nama Markus Babbel, Samuel Kuffuor, Mehmet Scholl, Dieter Hamman, Lothar Matthaus, dan Carsten Jancker yang lagi bagus-bagusnya.
Sebelum pertandingan, Bayern pun diprediksi akan tampil habis-habisan. Ini tak lain karena mereka sudah gagal di Liga Champions setelah dikandaskan Borussia Dortmund di babak perempat final, serta hanya menempati peringkat kedua di liga, dengan selisih hanya dua poin dari sang juara, Kaiserslautern. Satu-satunya harapan gelar mereka pada musim itu adalah DFB-Pokal.
Duisburg sempat memegang kendali di awal pertandingan. Bahkan, The Zebras sempat unggul pada menit ke-20 lewat gol Bachirou Salou. Namun, konsentrasi yang hilang pada 20 menit terakhir sudah cukup untuk membuat Duisburg mencatatkan hattrick sebagai pecundang. Kisah sedih ini diakhiri dengan terdegradasinya Duisburg dua musim kemudian atau pada 1999/2000.
Antiklimaks
Nama Duisburg hanya sesekali dibicarakan, terutama saat bintang Korea Selatan, Ahn Jung-hwan, menjalin kontrak selama 17 bulan. Lalu, musim berganti dan—seperti yang sudah bisa ditebak—Duisburg kembali terdegradasi.
Angin segar sempat berhembus pada musim 2010/2011 di mana Duisburg kembali mencapai babak final DFB Pokal. Lawan yang mereka hadapi adalah FC Schalke 04. Keduanya punya kesamaan, yakni sering gagal di babak final. Bedanya, dari 11 partai final DFB Pokal—sebelum melawan Duisburg—Schalke sudah pernah menjadi juara sebanyak empat kali.
DFB-Pokal agaknya menjadi turnamen terkutuk buat Duisburg karena mereka seperti terbangun dari mimpi indah yang menjadikannya sebagai kenangan buruk. Duisburg dibantai Schalke lima gol tanpa balas!
Tentu kurang lengkap rasanya kalau kisah Duisburg tak diakhiri dengan cerita tragis. Dua musim setelah pembantaian di Olympiastadion Berlin, meski sukses menghuni papan tengah, tapi Duisburg di-degradasi-kan.
Di Jerman, setiap kesebelasan mesti mengajukan permohonan lisensi untuk mengikuti kompetisi musim selanjutnya. Borussia Dortmund, misalnya, pada musim terakhirnya bersama Juergen Klopp sudah mengajukan permohonan lisensi untuk 2. Bundesliga, atau kompetisi tingkat kedua. Kalau Dortmund terdegradasi tanpa punya lisensi untuk 2. Bundesliga, mereka bisa langsung ditempatkan di kompetisi tingkat keempat yang dihuni kesebelasan semi-profesional.
Yang terjadi pada Duisburg adalah lisensi 2. Bundesliga mereka ditolak oleh DFL selaku operator kompetisi. Duisburg masih beruntung karena lisensi untuk 3. Liga, kompetisi tingkat ketiga, diterima oleh DFL.
Duisburg memang sempat promosi ke 2. Bundesliga, tapi langsung kembali terdegradasi pada musim lalu. Keberhasilan lolos ke babak final tidak akan membuat nama Duisburg dikenang dan dielu-elukan; karena tidak ada yang namanya “Juara Dua”; yang tersisa hanyalah “pemenang” dan “pecundang”.
Indonesia, Spesialis Peringkat Kedua
Suporter Indonesia sudah kelewat sering menyaksikan para pahlawan negara tertunduk merana. Malam sendu di Stadion Rajamangala, Bangkok, 17 Desember lalu, adalah yang kelima kalinya.
Sebelumnya, Indonesia menduduki peringkat kedua di Piala AFF (yang dulu disebut Piala Tiger) pada 2000, 2002, 2004, dan 2010. Redaktur Pelaksana Panditfootball, Ardy Nurhadi Shufi, menyatakan bahwa kualitas sepakbola Indonesia cukup baik untuk level Asia Tenggara, tapi bukan yang terbaik.
“Meski masuk final lima kali, rasanya hanya di 2010 Indonesia memperlihatkan permainan yang memang layak untuk juara. Di Piala AFF 2016, Thailand tampil dengan permainan yang memang layak untuk diganjar juara. Dari teknik individu hingga permainan kolektif, level permainan Thailand jauh di atas negara-negara Asia Tenggara, termasuk Indonesia. Buktinya Thailand lima kali juara, [atau yang] terbanyak. Jadi, bisa dibilang, kualitas sepakbola Indonesia [sebenarnya] cukup baik di Asia Tenggara, tapi bukan yang terbaik,” jelas Ardy.
Meskipun demikian, Ardy tidak menganggap sepenuhnya kekalahan di Piala AFF 2016 sebagai sebuah kegagalan, karena di satu sisi hasil itu juga merupakan sebuah keberhasilan.
“Kegagalan Indonesia juara disebabkan oleh internal di Indonesia sendiri, seperti aturan dua pemain per klub misalnya. Bisa dibilang, [itu adalah] kegagalan bagi federasi untuk bisa membentuk timnas terbaik. Dari situ, dari keterbatasan itu, menempati peringkat kedua bisa disebut juga keberhasilan,” pungkas Ardy.
Lima kali ke final, lima kali pula gagal membawa gelar. Indonesia, seperti halnya MSV Duisburg, adalah kesebelasan yang langka. Indonesia bukan Argentina, yang gagal di tiga dari lima final Piala Dunia. Indonesia, malah seperti Belanda, yang selalu gagal dari tiga kali perjalanannya di partai final.
Namun, yang perlu digarisbawahi, Indonesia bukanlah Duisburg yang medioker dan angin-anginan. Indonesia hanya kurang sedikit keberuntungan.
Dari kegagalan ini, setidaknya akan hadir banyak aspek untuk dievaluasi, mulai dari pengelolaan jadwal kompetisi sampai penyelenggaraan pertandingan oleh federasi. Karena urusan “martabat bangsa” sudah selesai, perbaikan menyeluruh semestinya bisa segera dimulai.