Selasa, April 23, 2024

Melibatkan Para Penyintas dalam Kebijakan Pascabencana

Nurhady Sirimorok
Nurhady Sirimorok
Peneliti isu-isu perdesaan; Pegiat di komunitas Ininnawa, Makassar.

Masa tanggap darurat segera berakhir di Sulawesi Tengah, tapi wajah masa depan warga terdampak akan banyak ditentukan pada kurun setelahnya.

Dari sejumlah penelitian tentang bagaimana warga menghadapi efek bencana, di mana saya terlibat, kami menemukan bahwa masyarakat yang tangguh (resilience) menghadapi bencana selalu punya dua modal yang saling berhubungan ini: pranata lokal yang kuat dan tingginya tingkat keterlibatan warga dalam pengambilan keputusan publik.

Di tempat-tempat semacam itu, warga dengan cepat bisa mengorganisir diri untuk menangani dampak bencana yang menimpa mereka, bahkan sebelum bantuan dari luar datang. Setelah itu, pada kurun rehabilitasi dan rekonstruksi, mereka bahkan dapat mengubah keadaan menjadi lebih baik, bukan sekadar beradaptasi terhadap perubahan yang dibawa oleh guncangan tersebut.

Kita lihat dua contoh.

Ketika gempa mengguncang sebagian Sumatera pada 2009, satuan tugas (satgas) di daerah-daerah terdampak segera bergerak. Di Kabupaten Merangin, Jambi, tiga hari setelah gempa, satgas kabupaten sudah tiba di Desa Rantau Kermas yang waktu itu masih terisolir.

Pemandangan khas masyarakat yang baru tertimpa bencana tidak tampak di sana. Warga tetap bergiat seperti biasa, mereka bahkan sudah sibuk membersihkan puing rumah-rumah yang rubuh. Mereka makan seperti biasa, nasi dan lauk pauk, sebagaimana sebelumnya. Apa yang terjadi?

Segera setelah dihajar gempa warga Rantau Kermas berkumpul. Dari sana mereka menentukan bagaimana tenaga dan sumber daya dikerahkan untuk menjalankan proses pembangunan ulang kampung yang porak-poranda. Mereka mengatur siapa mengerjakan apa, siapa menyumbang apa.

Setelah bantuan datang silih berganti dalam proses pembangunan ulang kampung, pengetahuan sejarah mereka tentang gempa, yang masih tersimpan rapih dalam ingatan kolektif, juga didayagunakan. Pengetahuan itu kemudian dipakai membantu merancang ulang rumah dan menentukan kawasan pemukiman ulang.

Dengan memanfaatkan sumber daya dan pengetahuan dari dalam dan luar desa, dan dengan daulat kolektif—pranata adat, mereka dapat mengendalikan proses rehabilitasi dan rekonstruksi dengan baik. Hasilnya, sebuah kawasan perkampungan baru yang aman dengan rumah-rumah tahan gempa yang selanjutnya menjadi model bagi warga ketika hendak mendirikan rumah baru.

Contoh kedua, Ohoi (desa) Evu dan Wab Nguvar di Kabupaten Maluku Tenggara. Warga di sana sudah terkenal tangguh menghadapi beraneka ancaman yang datang nyaris setiap tahun. Kabupaten kepulauan itu memang menjadi langganan gempa bumi yang kadang datang bersama tsunami, angin kencang, kekeringan, atau gelombang tinggi.

Tetapi warga nisbi sudah siap menghadapi deretan ancaman tersebut. Mereka, misalnya, bisa segera berhimpun untuk mengatasi dampak terjangan angin kencang: menentukan sumbangan uang dan tenaga untuk perbaikan rumah-rumah yang rusak. Mereka pun ringan tangan melakukan kerja bersama menanam pepohonan demi menjaga suplai air maupun untuk meredam angin dan gelombang tinggi.

Mereka pun taat pada aturan adat ketika ‘tutup sasi’ diberlakukan. Tutup Sasi adalah praktik menutup satu kawasan, di darat atau laut, dari eksploitasi dalam rentang waktu tertentu guna memungkinkan alam melakukan regenerasi dan pemulihan. Tradisi ini antara lain sangat berguna menghadapi masa-masa krisis.

Di dua tempat ini ketangguhan dirawat oleh warga secara mandiri. Mereka sanggup melewati masa-masa seusai bencana dengan baik karena pranata lokal masih terawat.

Di Maluku Tenggara, warga yang berhimpun dalam kerja kolektif melakukannya lewat pranata adat dan gereja, atau hibrida keduanya. Adat mengajarkan mereka tradisi marin (saling membantu dengan tenaga) dan yelim (saling membantu dengan uang atau barang). Sementara gereja mengorganisir mereka dalam kegiatan-kegiatan pelayanan peribadatan, termasuk menanam pohon.

Bila yang pertama lebih berperan pada masa tanggap darurat, yang kedua berperan dalam membangun mitigasi bencana.

Sementara di Merangin, warga Rantau Kermas sudah terbiasa berkumpul dalam rapat adat kenduri sko yang mengundang seluruh warga setiap habis lebaran. Ini tradisi lama mereka. Di sana aturan-aturan adat bisa sekaligus disahkan sebagai peraturan desa. Dengan kedaulatan semacam itulah, mereka dapat menetapkan tata ruang pembangunan hunian tetap bantuan dari luar desa.

***

Di Sulawesi Tengah, kita telah melihat bagaimana di sebagian tempat warga langsung mengorganisir diri. Mereka membangun dan mengelola pos-pos pengungsian secara swadaya. Beraneka jenis layanan mereka adakan dan sebagian pos yang punya sumber daya lebih baik bahkan berinisiatif untuk membantu pos-pos lain.

Di sejumlah tempat kerja itu berlangsung sebelum bantuan atau layanan tiba karena berbagai macam halangan.

Satu isu penting perlu catat di sini: prakarsa warga itu sangat membantu distribusi bantuan yang datang dari luar. Di desa-desa terdampak di Kabupaten Donggala, misalnya, para relawan Tim Relawan Kemanusiaan INSIST yang datang dari luar dengan mudah bisa mendatangi pos-pos pengungsian untuk membagikan bantuan. Kemudahan itu dimungkinkan oleh warga yang telah menata kehidupan darurat mereka secara kolektif.

Gejala ini mengisyarakatkan hadirnya pranata lokal yang bisa menjadi simpul bagi warga untuk berkumpul dan menjalankan kerja kolektif yang terkoordinasi. Tindakan kolektif yang tampak terbentuk secara spontan ini butuh prakondisi: sangat mungkin mereka sudah terbiasa berkumpul, baik secara formal maupun informal, untuk pelbagai keperluan.

Dengan kata lain, selepas masa tanggap darurat warga sudah membentuk satu modal penting untuk menghadapi kurun berikutnya.

Bila dirawat dengan baik, kapasitas ini akan dapat menciptakan masyarakat yang tangguh. Jika didukung dengan serius, terutama agar bisa bertahan cukup lama sehingga menjadi tindakan kolektif yang semakin terorganisir, fenomena ini dapat membangun atau menguatkan pranata warga. Pranata yang bisa menjadi tempat warga membicarakan dan menjalankan agenda kolektif mereka—bukan hanya untuk bersiap menghadapi bencana.

Dengan kemampuan semacam itu, pelbagai bantuan dari luar yang menyusul kelak dapat lebih mudah dikelola untuk mencapai para penyintas secara merata.

Prakarsa kolektif warga inilah yang perlu dukungan. Untuk itu pertama-tama diperlukan upaya untuk menjaganya tetap hidup dalam jangka waktu cukup panjang. Membangun atau menguatkan pranata warga butuh rentetan musyawarah dan kegiatan bersama, butuh keberhasilan-keberhasilan kecil agar pelan-pelan kepercayaan warga terhadap kemanjuran kerja kolektif mereka semakin kuat.

Pada tahap rehabilitasi dan rekonstruksi, gejala kerja kolektif yang sudah ditunjukkan para penyintas di Sulawesi Tengah layak mendapat perhatian lebih.

Menitikberatkan kebijakan pascabencana pada rencana-rencana infrastruktur, berikut pelbagai ilmu pengetahuan dan teknologi penopangnya, tanpa melihat situasi sosial penyintas sungguh tak memadai. Program-program dengan pendekatan teknokratik dan top-down untuk rehabilitasi dan rekonstruksi bisa menjelma pemborosan atau tak menemui sasarannya.

Pendekatan semacam itu bahkan bisa melemahkan kapasitas kerja kolektif yang sudah dibangun warga selama masa tanggap darurat—dan jauh sebelumnya.

Ketangguhan warga menghadapi bencana tak hanya ditandai oleh terbangunnya barisan hunian tetap yang berjajar rapi, keberadaan alat deteksi tsunami di lepas pantai atau ruang kendali dengan piranti canggih.

Kemampuan warga menjalankan tindakan kolektif lewat mekanisme lokal yang terawat akan sangat menentukan kepekaan dan kinerja mereka menanggapi setiap tanda bahaya. Praktik ini akan sulit terwujud bila warga tidak terhimpun dalam pranata-pranata yang membiasakan mereka bertindak secara terkoordinasi.

Selain itu, dengan pendekatan teknokratis, kelompok-kelompok penyintas paling rentan semisal perempuan, anak-anak, difabel, kaum miskin, bisa saja tersisihkan. Mereka yang sejak sebelum bencana sudah sulit memperdengarkan suara di forum-forum pengambilan keputusan publik dengan mudah bisa terabaikan.

Memastikan pemulihan kondisi fisik tidak sama dengan memastikan perbaikan kondisi sosial para penyintas.

Mengajak sebanyak mungkin kelompok warga terlibat sejak tahap perencanaan dan melihat proyek-proyek rehabilitasi dan rekonstruksi sebagai kerja bersama—sebagai ‘milik bersama’, merupakan prasyarat mendasar. Sulit membayangkan keberhasilan sebuah rencana bila subyek yang menjadi sasaran, mereka yang punya paling banyak alasan mensukseskan rencana itu, tidak terlibat sejak awal.

 

Nurhady Sirimorok
Nurhady Sirimorok
Peneliti isu-isu perdesaan; Pegiat di komunitas Ininnawa, Makassar.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.