Sabtu, Oktober 5, 2024

Penduduk NKRI dan Penonton Sinetron

Dandhy Dwi Laksono
Dandhy Dwi Laksono
Jurnalis, penulis, dan Pendiri Watchdoc, perusahaan film dokumenter. Pada 2015, selama 365 hari, bersama "Ucok" Suparta Arz, Dandhy bersepeda motor mengelilingi Indonesia di bawah bendera Ekspedisi Indonesia Biru.

Seorang gadis didekati dua pria. Yang satu tampan, kaya, dan royal. Sementara pesaingnya bertampang pas-pasan, miskin, tetapi budiman.

Agar episode sinetronnya bisa panjang dan mendapat banyak iklan, si gadis dikisahkan selalu galau memilih dan memberi harapan kepada keduanya. Apalagi sang ibu cenderung memilih si tampan yang sering mengantarnya berbelanja dengan mobil, sementara sang ayah mendukung si budiman yang kerap menemaninya bermain catur.

Sang ibu meminta anak gadisnya realistis, bahwa hidup tak hanya melulu soal cinta. Ada masa depan dan kebutuhan yang harus dipertimbangkan. Sementara sang ayah cenderung menyerahkan pilihan kepada anak gadisnya dan selalu menyelipkan pesan bijak, “yang penting kamu bahagia. Karena kamu yang akan menjalani masa depanmu sendiri. Harta bukan segalanya.” Punch line!

Dalam situasi seperti ini, rata-rata penonton akan mengambil posisi moral berpihak kepada si miskin, mengiyakan semua argumen sang ayah, dan mengumpat-ngumpat setiap si gadis terlihat galau memilih.

Meski berbeda detialnya, emosi seperti inilah yang dimainkan sinetron Si Doel Anak Sekolahan ketika si Tukang Insinyur itu tak kunjung memilih antara Sarah atau Zaenab.

Atau Anda pasti bersimpati pada pilihan Nick Young yang super kaya pada Rachel Chu yang baik dan bersahaja dalam Crazy Rich Asian. Sangat Cinderella.

Skenario cerita lain adalah kisah orang tua yang memiliki seorang anak yang sukses di luar negeri. Berkali-kali dibujuk agar ikut pindah, tapi si orang tua lebih memilih tinggal di kampung daripada di luar negeri. Padahal dijanjikan kehidupan yang lebih baik.

Tak perlu survei Nielsen untuk mengetahui kecenderungan posisi penonton TV dalam skenario seperti ini. Empati penonton dicurahkan sepenuhnya pada pilihan orang tua yang galau tapi lebih senang tinggal seadanya di kampung, daripada hidup berkecukupan di negeri orang. Semua tampak masuk akal bagi sebagian orang.

Tentu saja ada sebagian penonton yang menyebutnya, “Goblok. Kan enak di luar negeri”, yang sejatinya hanya merefleksikan keinginan atau fantasinya sendiri.

Setelah sinetron usai, TV berganti menayangkan program berita. Sebuah kampung digusur dan penduduknya melawan. Padahal pemerintah telah menyiapkan rumah susun yang fasilitasnya mirip apartemen untuk relokasi. Bandingkan dengan perkampungan lama dalam gang yang sumpek, sempit, kumuh, dan tak higienis.

Penonton yang sama lalu mengumpat: “Dasar tak tahu diuntung. Sudah dibangunkan rusun, masih menolak dan malah menyalahkan pemerintah. Dienakkin kok enggak mau!”

Sebal dengan kelakuan warga kampung kumuh di berita itu, ia pun mematikan TV dan mengangkat telepon, menghubungi orang tuanya di kota lain yang baru pensiun. Ia hendak meyakinkan lagi orang tuanya agar pindah saja ke ibukota dan tinggal bersamanya.

“Halo, Bu. Bagaimana keputusan bapak? Apa sudah bersedia?”

“Belum, Nak. Bapakmu bilang nanti kalau pindah dia enggak punya teman. Terus kegiatannya apa. Kalau di sini kan masih bisa nongkrong di pos ronda atau bersih-bersih kebun.”

“Lho, kok gitu. Di sini banyak kegiatan kok. Enggak usah khawatir. Usia kan enggak balik muda lagi. Nanti siapa yang akan jaga dan menemani.”

Pembicaraan tak pernah beranjak maju sejak beberapa bulan terakhir. Argumen keduanya terkunci dalam posisi masing-masing. Ia tak habis pikir, mengapa orang tuanya berkeras memilih menghabiskan masa pensiun di kota kelahirannya daripada pindah ke tempatnya yang lebih baik. Padahal sebagai anak ia ingin menunjukkan bakti dan balas budi. Mumpung keduanya masih hidup.

Karena lelah, ia pun beringsut tidur.

Keesokan harinya, suara koran yang dilempar loper dari balik pagar membangunkannya. Dengan enggan, penonton yang membenci tokoh ibu dalam sinetron Gadis Galau itu beranjak dan memungut koran. Judul berita utama langsung terbaca: “Proyek Jalan dan Jembatan Pemerintah Diserang Pemberontak.”

“Dasar tak tahu diuntung. Sudah diberi fasilitas agar maju dan berkembang, malah mengajak perang. Dibangun salah, ndak dibangun salah. Maunya apa sih? Tinggal di hutan terus?” ujarnya sambil membalik halaman.

Ia lalu membaca rubrik “Seni dan Budaya” yang berisi ulasan tentang sinetron Orang Tua Galau kesukaannya. Ternyata episode tadi malam adalah episode terakhir. Di mana sang orang tua akhirnya menghabiskan sisa usianya dengan memilih menetap di kampung, dan menolak pindah ke negara lain.

Ia pun tersenyum. Happy ending. Ia memahami pilihan tokoh orang tua dalam sinetron itu.

Koran dilipat lalu diletakkan. Judul berita utama terbaca lagi. “Dasar tak tahu diuntung! Memang setelah merdeka hidupmu lebih baik?” umpatnya sambil beranjak.

Dandhy Dwi Laksono
Dandhy Dwi Laksono
Jurnalis, penulis, dan Pendiri Watchdoc, perusahaan film dokumenter. Pada 2015, selama 365 hari, bersama "Ucok" Suparta Arz, Dandhy bersepeda motor mengelilingi Indonesia di bawah bendera Ekspedisi Indonesia Biru.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.