Jumat, Oktober 4, 2024

Tamansiswa, Ki Hadjar Dewantara, dan Sistem Pendidikan Kolonial

Darmaningtyas
Darmaningtyas
Analis pendidikan/Pengurus PKBTS (Persatuan Keluarga Besar Tamansiswa) di Yogyakarta; aktif di MTI (Masyarakat Transportasi Indonesia) dan Ketua INSTRAN (LSM Transportasi) di Jakarta.

 

Setiap 2 Mei kita dihadapkan pada kesibukan rutin memperingati Hari Pendidikan Nasional. 2 Mei itu merupakan tanggal kelahiran tokoh pendidikan nasional, Ki Hadjar Dewantara, yang bernama asli Suwardi Suryaningrat yang lahir pada 2 Mei 1879 di Yogyakarta. Ia adalah putra dari pangeran di Paku Alam.

Ki Hadjar Dewantara sebetulnya bukan hanya seorang tokoh pendidikan, tapi juga tokoh pergerakan nasional. Dalam sejarah pergerakan kemerdekaan, kita mengenal istilah Tiga Serangkai, yaitu E.F.E Douwes Dekker, Tjipto Mangunkoesoemo, dan Ki Hadjar Dewantara. Mereka mendirikan partai politik pertama di Hindia Belanda yang dikenal dengan sebutan Indische Partij pada 25 Desember 1912.

Ki Hadjar juga dikenal sebagai jurnalis dan penulis ulung. Dia menulis esai berjudul Als ik een Nederlander was… (Seandainya saya seorang Belanda….). Esai ini merupakan kritik yang sangat tajam terhadap rencana pemerintah kolonial untuk menyelenggarakan 100 tahun kemerdekaan Belanda. Karena kritiknya yang sangat tajam tersebut, Ki Hadjar kemudian dikirim ke Negeri Belanda selama enam tahun (1913-1919).

Namun, pengasingannya ke Negeri Belanda itu tidak membuat idealisme perjuangan Ki Hadjar surut. Sebaliknya ia justru belajar banyak hal, terutama dalam bidang politik dan pendidikan. Ia juga berkenalan dengan gagasan pendidikan Friederich Wilhelm August Frobel (1782-1852), yang menjadikan permainan sebagai media pembelajaran, dan Maria Montessori (1870-1952), yang memberikan kemerdekaan kepada anak-anak.

Pemikiran kedua tokoh itu menjadi dasar pengembangan Perguruan Tamansiswa yang didirikan oleh Ki Hadjar Dewantara tiga tahun berikutnya setelah pulang dari Negeri Belanda, tepatnya pada 3 Juli 1922.

Tujuan Perguruan Tamansiswa itu adalah menuju Indonesia merdeka, demi terwujudnya masyarakat tertib dan damai. Menurut Ki Hadjar Dewantara, Pendidikan Nasional Tamansiswa adalah antitesa terhadap sistem pendidikan penjajah yang mengutamakan intelektualistis, individualistis, dan materialistis.

Perguruan Tamansiswa juga didirikan untuk menampung minat masyarakat Hindia yang ingin bersekolah namun terkendala oleh berbagai hal, termasuk status sosial. Sebab, pendidikan yang diselenggarakan oleh Pemerintah Hindia Belanda saat itu lebih diperuntukkan bagi kaum bangsawan maupun pangreh praja (pegawai pemerintah), sehingga rakyat jelata tidak bisa bersekolah.

Kehadiran Perguruan Tamansiswa membuka kesempatan bagi semua orang untuk bisa bersekolah secara mudah dan murah. Mudah karena tidak ada persyaratan-persyaratan khusus, sedangkan murah dalam artian biayanya terjangkau oleh semua golongan. Tidak mengherankan bila dalam kurun waktu delapan tahun (1922-1930) jumlah Perguruan Tamansiswa telah mencapai 100 cabang dengan jumlah puluhan ribu murid.

Yang Terlupakan
Setiap kali kita memperingati Hari Pendidikan Nasional, yang teringat pada kita hanyalah tanggal kelahiran Ki Hadjar Dewantara, namun hal yang esensial dari perjuangannya dalam bidang pendidikan justru terlupakan. Padahal, semestinya, pada saat kita memperingati Hari Pendidikan Nasional, yang perlu diingat adalah perjuangan Ki Hadjar Dewantara untuk mewujudkan sistem pendidikan yang berazaskan kodrat alam, kemerdekaan, kebudayaan, kebangsaan, dan kemanusiaan (azas-azas Tamansiswa).

Kelima azas Tamansiswa itu masih relevan untuk diwujudkan sampai saat ini. Azas kodrat alam mengandung arti bahwa pada hakikatnya manusia itu sebagai makhluk adalah satu dengan kodrat alam semesta ini, karena manusia tidak dapat terlepas dari kehendak hukum-hukum kodrat alam. Sebaliknya, manusia akan mengalami kebahagiaan jika ia dapat mesra menyatukan diri dengann kodrat alam yang mengandung segala hukum kemajuan (penjelasan azas Tamansiswa).

Dalam konteks saat ini, penghargaan kita terhadap lingkungan alam semesta, hanya mungkin terwujud jika kita menyadari bahwa alam semesta itu sahabat kita, sehingga kita tidak boleh merusak lingkungan.

Demikian pula dengan azas-azas lainnya (seperti azas kemerdekaan, kebudayaan, kebangsaan, dan kemanusiaan) menjadi amat relevan ketika praksis pendidikan nasional semakin tidak memerdekakan subyek didik akibat gempuran kapitalisme global dan ideologi lain dari asing.

Pendidikan nasional yang seharusnya mampu menumbuhkan masyarakat dan bangsa yang berdaulat secara politik, berdikari secara ekonomi, dan berkepribadian secara sosial budaya (seperti dikonsepkan oleh Sukarno), pada akhirnya justru melahirkan serba tergantung pada bangsa asing, baik secara politik, ekonomi, maupun budaya.

Kita masih ingat, misalnya, UU Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 Tahun 2003 yang mengamanatkan pengembangan Sekolah Berstandar Internasional (SBI), yang dalam praksisnya diwujudkan dalam bentuk Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI). RSBI adalah praksis pendidikan nasional yang mengingkari kepribadian secara sosial-budaya dan menggantikannya dengan kepribadian asing.

Syukurlah belakangan RSBI ini dibubarkan oleh Mahkamah Konstitusi. Seandainya tidak dibubarkan, sistem pendidikan nasional justru melahirkan pribadi yang kontra dengan Trisakti-nya Bung Karno.

Persoalan kebangsaan yang menjadi salah satu azas Tamansiswa juga semakin relevan untuk ditegaskan kembali dalam sistem pendidikan nasional saat ini. Tepatnya ketika Generasi Y yang akan tampil sebagai calon pemimpin negeri ini 10-20 tahun mendatang mengalami krisis kebangsaan, termasuk krisis ideologi negara.

Adanya hasil survei terhadap kalangan mahasiswa dari sejumlah Perguruan Tinggi Negeri (PTN) terkemuka, bahwa hanya lima persen saja mahasiswa yang masih meyakini Pancasila sebagai ideologi negara, menunjukkan ada persoalan kebangsaan yang amat mendasar pada sistem pendidikan nasional kita. Pendek kata, pendidikan nasional gagal menumbuhkan semangat kebangsaan.

Pelajaran sejarah yang diberikan sejak SD hingga SMTA ternyata tidak mampu menyentuh kesadaran berbangsa pada anak didik. Realitas ini perlu menjadi bahan refleksi bersama, terutama menyangkut soal substansi dan metode pengajarannya. Apakah substansi pelajaran sejarah yang tidak pas ataukah metode pengajarannya yang tidak menarik?

Hal lain yang sering terlupakan pada setiap kita memperingati Hari Pendidikan Nasional adalah semangat Ki Hadjar Dewantara untuk menyelenggarakan pendidikan kerakyatan, yang dapat diakses oleh semua warga. Gagasan itu masih tetap relevan bila kita melihat kebijakan pendidikan saat ini yang cenderung hanya memfasilitasi Kelompok A (kaya dan pintar), sedikit ke Kelompok B (kaya tapi kurang pintar), dan Kelompok C (pintar tapi miskin), namun mengabaikan Kelompok D (bodoh dan miskin).

Padahal, kalau dikaitkan dengan tanggung jawab negara untuk menyantuni fakir miskin, kebijakan pendidikan nasional itu semestinya lebih condong ke Kelompok D. Kelompok D itu pada tingkat SMA biasanya bersekolah di SMK-SMK swasta pinggiran yang seluruh biayanya mereka tanggung sendiri. Sementara Kelompok A itu justru bersekolah di sekolah-sekolah negeri favorit yang 90% pembiayaannya ditanggung oleh negara.

Akhirnya, orang kaya itu untuk mendapatkan yang banyak cukup membayar sedikit, sebaliknya orang miskin untuk mendapatkan yang sedikit harus membayar lebih banyak.
Sejauh ini kita memang tidak mengetahui sebaran Kartu Indonesia Pintar (KIP) sehingga kita tidak tahu persis apakah banyak menyasar pada Kelompok D, C, atau bahkan A dan B?

Namun, berdasarkan distribusi anggaran pendidikan, dari APBN dan APBD, lebih banyak memfasilitasi kepada Kelompok A, sedikit Kelompok B dan C. Kebijakan pendidikan seperti itu tidak jauh berbeda dengan kebijakan pendidikan pada masa kolonial dulu, yang hanya memberikan ruang kepada golongan bangsawan dan pangreh praja saja.

Kebijakaan pendidikan yang bias kelas menengah seperti itu semestinya mendapat koreksi dari pengambil kebijakan. Ya, agar sistem pendidikan nasional mampu mewujudkan masyarakat yang adil, makmur, dan sejahtera; bukan justru menciptakan kesenjangan antara kaya dan miskin.

Darmaningtyas
Darmaningtyas
Analis pendidikan/Pengurus PKBTS (Persatuan Keluarga Besar Tamansiswa) di Yogyakarta; aktif di MTI (Masyarakat Transportasi Indonesia) dan Ketua INSTRAN (LSM Transportasi) di Jakarta.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.