Sabtu, Oktober 5, 2024

Stockholm Syndrome dalam Cubitan Samhudi

Aan Anshori
Aan Anshori
Kordinator Jaringan Islam Antidiskriminasi (JIAD), aktifis GUSDURian.
jewer-anak
Ilustrasi

Hingga saat ini saya masih diselimuti kabut pertanyaan menyangkut sikap tidak sedikit teman dalam kasus Samhudi, guru terdakwa pencubit Arif, siswanya. Kegundahan saya cukup beralasan mengingat mereka, katakanlah, merupakan sosok yang selama ini saya kenal punya kredibilitas mengagumkan dalam dunia aktifis, terutama dalam memperjuangkan prinsip antikekerasan dan pluralisme, bahkan ada di antaranya cukup progresif membela keadilan seksual bagi kelompok LGBT.

Kasus Samhudi cukup mengemuka dalam seminggu terakhir ini. Jika bukan karena tertutupi gempita Idul Fitri dan berhasilnya proses mediasi antara terdakwa dan keluarga korban, tak pelak kasus tersebut akan terus menjadi perdebatan di media sosial.

Samhudi, guru matematika di SMP Raden Rachmad Balongbendo, Sidoarjo, Jawa Timur, terpaksa duduk di kursi pesakitan karena dituduh mencubit Arif.

Menurut situs jaringan media milik Jawa Pos Grup, kejadiannya berlangsung pada 3 Februari. Saat itu seluruh siswa sedang melaksanakan salat dluha, namun tidak bagi Arif. Siswa ini diberitakan malah asyik nongkrong di pinggir sungai. Absennya Arif ini barangkali memicu reaksi Samhudi hingga menyebabkan pundak kanan Arif lebam, diduga karena cubitan.

Meskipun Samhudi berkilah ia hanya mengelus Arif, menjadi agak janggal kenapa Samhudi perlu meminta maaf hingga tiga kali ke rumah orangtua Arif. Kasus ini lantas bergulir ke ranah hukum dan masuk ke Pusat Pelayanan Terpadu Perlindungan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Sidoarjo.

Saat proses persidangan, ratusan guru melakukan aksi solidaritas pada Samhudi. Mereka menyayangkan masuknya kasus ini ke pengadilan. Nampak jelas ada ketakutan pada mereka kekerasan “remeh” tersebut bisa juga menyeret mereka di kemudian hari. Para pendukung Samhudi menganggap cubitan dan kontak fisik bersifat penghukuman oleh guru kepada siswa merupakan hal jamak, lumrah, dan tidak perlu dipidana.

Mereka menganggap orangtua korban bertindak arogan dan dianggap tidak tahu terima kasih. Gelombang tekanan kepada Arif selanjutnya datang bertubi-tubi. Entah bagaimana ceritanya Arif kesulitan pindah sekolah karena ada aksi boikot. Tidak ada sekolah yang mau menerima Arif.

Di saat yang sama, sosial media dibanjiri meme foto anak kecil (dianggap Arif) yang tengah memegang rokok dengan tulisan provokatif dan menyudutkan korban. Selain beberapa teman saya yang cukup kredibel tadi, tidak sedikit sahabat-sahabat saya yang ikut-ikutan mem-bully korban dan menunjukkan simpatinya pada Samhudi.

Simpati ini mengingatkan saya pada peristiwa fenomenal di Stockholm, Swedia, pada 23 Agustus 1973. Menurut catatan Kathryn Westcott (2013) di BBC, saat itu seorang pria, Jan -Erik Olsson, merampok sebuah bank dengan dua senapan mesin di tangan. Dia juga menyandera staf bank tersebut, termasuk empat orang perempuan: Birgitta Lundblad,
Elisabeth Oldgren, Kristin Ehnmark, dan Sven Safstrom.

Selama 131 jam para sandera ini mengalami situasi yang tidak mengenakkan. Tubuh mereka dikalungi dinamit sampai akhirnya polisi bisa membebaskan mereka pada 28 Agustus. Anehnya, bukannya membenci si penyandera, keempat perempuan tadi malah justru bersimpati padanya.

Situasi sama juga menimpa Patty Hearst, pewaris koran di California, pada 1974. Ia diculik gerombolan pemberontak. Bukannya melarikan diri, Patty justru bersimpati pada mereka dengan cara ikut merampok bank bersama sampai akhirnya tertangkap polisi.

Kejadian lain yang cukup fenomenal dialami Natascha Kampusch. Pada saat berusia 10 tahun perempuan asal Austria ini diculik dan disekap selama 8 tahun dalam ruangan 2x3x2. Pelakunya adalah Wolfgang Priklopil, seorang teknisi komunikasi. Selama 3.096 hari penyekapan, ia mengaku diperkosa. Tidak hanya itu, Priklopil memperbolehkan Natascha membaca koran, menonton video, dan jalan-jalan–asal tidak berhubungan dengan orang lain. Bahkan, ia mengajari Natascha membaca dan menghitung.

Saat Priklopil bunuh diri sesaat setelah Natascha melarikan diri, gadis ini begitu terpukul atas kematiannya. Ia menangis tersedu-sedu dan menyalakan lilin untuk mengenang Priklopil.

Di harian Daily Mail, Natascha mengaku jatuh hati pada penculiknya. Ia membawa foto penyekapnya ke mana pun ia pergi serta rajin merawat rumah Priklopil. Dalam sebuah wawancara televisi, Natascha berujar, “I’m trying to commit to each day positively, to process what is happening to me. That I was a child when it happened really helped me. As a child you are still naive and believe in justice.”

Kondisi kejiwaan yang dialami oleh Patty, empat pekerja bank, serta Natascha Kampusch tersebut kerap disebut Stockholm Syndrome, merujuk pada peristiwa perampokan bank. Kondisi ini menggambarkan sebuah situasi di mana seseorang malah bersimpati dan jatuh cinta pada orang yang menyengsarakannya.

Situasinya sedemikian pelik dan berkelindan. Menurut G. Dwayne Fuselier (1999), investigator FBI yang kerap menangani kasus penyanderaan, sindrom semacam ini kerap ditandai dengan tiga situasi: korban dihinggapi perasaan positif terhadap pelaku; korban menunjukkan rasa takut, rasa tidak percaya kepada aparat/negara; dan pelaku menunjukkan perilaku positif serta mulai memperlakukan korbannya lebih manusiawi.

Kita semua yang pernah sekolah pasti merasakan ikatan ini. Dalam konteks Samhudi, cukup sulit mengingkari para pembelanya tidak terjangkiti Stockholm Syndrome. Saya menyadari tidak mudah bagi para pembela aksi cubit Samhudi untuk keluar dari jebakan Stockholm Syndrome, di samping ada anasir bias kepentingan bagi sebagian pembela yang berlatar belakang pendidik atau berstatus sebagai elite yang punya institusi pendidikan. Mereka senyatanya mengalami dilema atas praktik kekerasan yang selama ini relatif menjadi komponen “wajib” pengajaran.

Barangkali memang agak berlebihan menyamakan relasi guru-murid dengan hubungan korban sandera-penyandera. Namun, kuatnya imajinasi atas figur ideal seorang guru menyebabkan publik acapkali berposisi taken for granted terhadap aksi penghukuman atas nama pendidikan dan koreksi moral.

Oleh sebagian masyarakat, guru dipaksa sedemikian rupa untuk boleh melampaui batasan-batasan umum apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan, bahkan atas nama profesinya. Misalnya, telah jelas dinyatakan dalam Pasal 335 KUHP bahwa siapa pun bisa dipidanakan jika terbukti secara melawan hukum memaksa orang lain supaya melakukan, tidak melakukan atau membiarkan sesuatu, dengan memakai kekerasan, atau dengan memakai ancaman kekerasan, sesuatu perbuatan lain maupun perlakuan yang tak menyenangkan, baik terhadap orang itu sendiri maupun orang lain.

Oleh KUHP, pendidik bukanlah subyek yang dikecualikan dalam pasal tersebut, bahkan dengan PP Nomor 74 Tahun 2008 Pasal 39-41 sekalipun.

Akan tetapi anehnya, banyak orang yang justru bersimpati pada aksi cubit tersebut, dan menyebutnya sebagai kewenengan melekat yang dimiliki pendidik tanpa perlu dikritisi kembali. Dengan permisivisme yang mengagumkan, para pembela aksi ini menunjukkan perasaan positif kepada pelaku, bahkan terhadap praktik kekerasan lanjutan yang menghina nalar sehat, yakni aksi boikot sekolah bagi Arif, si korban. Bagi mereka, Arif harus dihukum, jika perlu dengan cara menerobos aturan hukum sekalipun.

Mereka, pendukung Samhudi, cenderung menunjukkan perasaan takut dan tidak senang terhadap upaya negara memproses hukum kasus ini. Persis sebagaimana situasi psikologis yang pernah menghinggapi empat perempuan sandera perampokan bank di Stockholm pada 1973, juga terhadap Patty Heirst.

Perasaan positif yang ditunjukkan oleh mereka kepada pelaku kekerasan, nampaknya, tumbuh sebagai konsekuensi atas kebaikan-kebaikan yang telah diberikan sosok guru dalam rangka memanusiakan siswanya. Kebaikan ini pada akhirnya menjadi semacam faktor kunci untuk mengkompensasi aksi kekerasan yang dilakukan pelaku, mirip situasi yang pernah dialami Natascha Kampusch dalam film 3.096 Days.

Dalam kasus ini, Stockholm Syndrome menunjukkan gambaran nyata ringkihnya posisi anak didik dalam sirkulasi sosiologis proses belajar-mengajar di Indonesia. Kekerasan yang dilanggengkan dengan impunitas hanya akan menyisakan satu hal: reproduksi kekerasan lain.

Aan Anshori
Aan Anshori
Kordinator Jaringan Islam Antidiskriminasi (JIAD), aktifis GUSDURian.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.