Senin, April 29, 2024

Setelah Jokowi Membatalkan Full Day School

Budy Sugandi
Budy Sugandi
Pemerhati Pendidikan dan Sosial. Menyelesaikan Master di Turki dan Technische Universität Braunschweig, Germany. Salah satu buku suntingannya berjudul "Kırmızı Beyaz" (Warna-Warni Kehidupan Turki)

Kebijakan Penguatan Pendidikan Karakter atau yang lebih dikenal dengan Full Day School yang digagas Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir Effendy akhirnya dibatalkan oleh Presiden Joko Widodo. Kebijakan yang baru saja dituangkan dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nomor 23 Tahun 2017 tentang Hari Sekolah yang mengatur sekolah 8 jam sehari selama 5 hari itu akan diganti dengan peraturan presiden.

“Presiden akan melakukan penataan ulang terhadap aturan itu dan juga akan meningkatkan regulasinya dari yang semula Peraturan Menteri (Permen), mungkin akan ditingkatkan menjadi Peraturan Presiden (Perpres),” kata Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) KH Ma’ruf Amin usai diterima Presiden Jokowi di Kantor Presiden, Jakarta, seperti dikutip dari laman Setkab.go.id, Senin (19/6/2017).

Seperti ramai diketahui, kebijakan FDS mendapatkan penolakan dari sejumlah kalangan, termasuk dari Pengurus Besar Nahdlatul Ulama. Dalam surat pernyataan yang ditandatangani oleh Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siroj, poin terakhir berbunyi: “Mengingat tingginya gejolak serta keresahan yang terjadi di masyarakat di atas, maka dengan ini PBNU meminta kepada Presiden untuk mencabut (membatalkan) kebijakan 5 hari sekolah.”

Jika dicermati, perkembangan zaman di era global saat ini memang menuntut dinamisasi terhadap upaya peningkatan kualitas pendidikan di tanah air. Artinya, terobosan-terobosan baru berupa modifikasi dan pengembangan proses pembelajaran penting dilakukan. Terobosan ini bisa berupa perubahan kurikulum, mutu pengajar, pembagian jurusan hingga penambahan jam belajar.

Tujuan yang diharapkan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan sebenarnya sangat baik, yaitu selain mendapatkan ilmu umum di sekolah, siswa juga bisa meningkatkan karakter, kepribadian serta pengembangan diri yang dikemas dengan kegiatan tambahan berupa ekstrakurikuler agar siswa tidak bosan setelah seharian penuh belajar di ruang kelas.

Alasan lain adalah untuk mencapai target mengajar guru, yaitu 24 jam/minggu, yang mana ini merupakan salah satu syarat untuk lolos sertifikasi guru. Pertanyaannya adalah, apakah sudah tepat Full Day School diterapkan di Indonesia saat ini?

Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir Effendy (tengah) menjawab pertanyaan anggota Komisi X DPR dalam rapat kerja di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Selasa (13/6). ANTARA FOTO/Puspa Perwitasari/foc/17.

Hasil penelitian yang dikeluarkan oleh Intelligence Unit, The Economist berupa “Top sklils yang dibutuhkann dalam dunia kerja saat ini (abad ke-21)”, 5 teratas yaitu Problem Solving (51%), Team Working (33%), Communication (26%), Critical Thinking (21%) dan Creativity (18%).

Hasil ini menunjukkan bahwa kemampuan menyelesaikan masalah, bekerjasama, berkomunikasi, berpikir kritis dan kreatif harus mendapatkan porsi lebih dalam proses pembelajaran. Kemampuan tersebut tidak akan cukup didapat jika hanya melalui teori-teori di sekolah, namun membutuhkan pengalaman “asam garam” dari realitas kehidupan berupa interaksi langsung dengan masyarakat yang sangat kompleks.

Seperti kata bijak “pengalaman adalah guru terbaik”. Pendidikan harus mampu memanusiakan manusia dan menjadikan siswa sebagai manusia seutuhnya.

Jika ditelisik dari keadaan sosial dan geografisnya, Indonesia yang merupakan negara kepualauan (archipelago) kebutuhan Full Day School untuk diterapkan di seluruh Indonesia masih sangat absurd dan tidak berdasar. Mungkin kebijakan Full Day School relevan jika diterapkan di beberapa kota besar, ketika orangtua siswa pulang bekerja dan tiba di rumah pukul 6 sore atau lebih, sehingga waktu bersama keluarga bisa dimaksimalkan saat akhir pekan.

Namun, penting dicatat bahwa Indonesia bukan hanya milik kota-kota besar. Masyarakat kita tersebar di pedesaan dan pedalaman dengan mata pencaharian yang beragam sebagai petani, nelayan dan buruh. Bahkan saya pernah berbincang dengan guru di Toraja, Sulawesi Selatan, yang masih melanjutkan pekerjaan bertani setelah pulang sekolah.

Kebiasaan siswa membantu orangtua selepas pulang sekolah menjadi kebutuhan tersendiri. Karena jika tanpa dibantu oleh keluarganya sendiri, mereka merasa kualahan untuk membayar upah pekerja yang membantu, sedangkan keadaan ekonomi kurang mendukung. Bukankah ini malah akan menimbulkan permasalahan baru? Belum lagi kegiatan rutin siswa yang sudah terbangun dengan baik, yaitu siswa mengaji dan belajar ilmu agama di langgar ketika pulang sekolah.

Beberapa contoh di atas hanyalah secuil kisah bahwa di luar sekolah siswa juga mampu mengembang karakter, kepribadian serta pengembangan diri. Banyak jalan untuk mewujudkan Nawacita. Tidak hanya di sekolah.

Terkait dampak negatif yang dikhawatirkan oleh pihak Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan untuk mengantisipasi siswa tawuran, narkoba, dan pergaulan bebas, misalnya, itu merupakan cerminan bahwa pendidikan kita masih perlu banyak berbenah. Korelasi antara teori di ruang kelas dan realitas kehidupan belum sejalan. Justru berbaurnya siswa di masyarakat seharusnya menjadi “obat” untuk “penyakit” masyarakat tersebut.

Jika orang-orang yang mengerti dan terpelajar hanya berada di sekolah, lalu bagaimana menyadarkan mereka di luar sana, yang mungkin melakukan itu semua karena kurangnya edukasi dan pergaualan yang sempit. Mengutip puisi WS Rendra, “Apalah arti berpikir bila terpisah dari masalah kehidupan.”

Alasan Full Day School lainnya untuk mencapai target mengajar guru, yaitu 24 jam/minggu, yang merupakan salah satu syarat untuk lolos sertifikasi guru pun perlu direvisi. Cara penilaian dengan melihat kuantitas (baca: jumlah jam mengajar) perlu diformulasikan kembali dengan menitikberatkan pada kualitas dengan basis profesionalisme dan kompetensi guru.

Ketika berkunjung ke Papua dan Atambua beberapa waktu lalu saya berdiskusi dan mendapat keluhan dari para guru honorer yang pendapatannya masih jauh dari kata sejahtera. Selain itu, banyak juga sekolah yang tidak memiliki akses jalur transportasi umum akibat lokasi sekolah di pedalaman dan keadaan jalan yang berlubang.

Maka, daripada Menteri Muhadjir Effendy memaksakan program Full Day School ke sekolah-sekolah di Indonesia, sebaiknya fokus pada peningkatan kualitas guru, sarana dan prasarana, laboratorium pendukung pembelajaran dan kesejahteraan guru. Ada baiknya kita menyelami kembali perkataan bijak bestari Bapak Pendidikan Indonesia, Ki Hajar Dewantara, “Belajar di kelas dengan tidak melupakan melihat ke luar. Menjadikan apa yang diajarkan di kelas relevan dengan realita kehidupan”.

Budy Sugandi
Budy Sugandi
Pemerhati Pendidikan dan Sosial. Menyelesaikan Master di Turki dan Technische Universität Braunschweig, Germany. Salah satu buku suntingannya berjudul "Kırmızı Beyaz" (Warna-Warni Kehidupan Turki)
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.