Kamis, April 25, 2024

Pak Menteri, Yuk Full Day-Night Learning Saja!

Candra Malik
Candra Malik
Budayawan sufi yang bergiat di bidang kesusastraan, kesenian, kebudayaan, dan spiritualitas.
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir Effendy.

PAK Menteri, yuk full day-night learning saja, jangan full-day school.

Kita ternyata masih belum bisa membedakan antara bersekolah dan belajar. Jika bersekolah dibatasi hanya di sekolah, maka belajar bisa di mana saja–tanpa batas ruang dan waktu. Bahkan, setelah mengajak untuk membaca doa tidur, saya mengajak anak-anak untuk membaca doa belajar. Sebab, di dalam tidur pun, kita masih bisa belajar dari mimpi–dan bukankah Nabi Yusuf AS dimuliakan oleh Allah juga melalui mimpi dan tafsirnya atas mimpi-mimpi?

Nah, untuk mewujudkan mimpi, kita harus bangun dan membangun kenyataan dengan kesadaran penuh.

Bangsa ini bermimpi mencerdaskan kehidupan bangsa, namun sebagian aparatur negara sepertinya masih belum terbangun dari tidur panjangnya. Memimpikan bangsa yang cerdas namun tanpa membangun diri dan membangunkan diri dari lelap yang melenakan ibarat menyemprotkan parfum kepada bunga tidur. Menebar wangi yang rekayasa kepada kehidupan yang semu di alam bawah sadar. Alih-alih mendorong masyarakat untuk belajar sepanjang waktu, pemerintah justru akan mewajibkan bersekolah sepanjang hari.

Kita sering mendengar tuturan bahwa “pengalaman hidup adalah sesuatu yang tidak kita peroleh dari bangku sekolah”. Ini menegaskan betapa pengetahuan saja tidak cukup karena pengalamanlah yang mendewasakan, bahkan mematangkan. Bukan berarti sekolah tidak memberikan pengalaman, namun alangkah baik jika pengalaman itu juga diperoleh selain dari bangku sekolah.

Anak-anak juga perlu bergaul di lingkungan rumahnya, kembali menginjak tanah pekarangan atau taman-taman di permukimannya, menyadari sungai yang mulai kotor dan mulai terlibat menjaga kebersihan alam, bermain dan menjelajah dunia di sekitarnya, dan lebih mengakrabi rumahnya sendiri.

Anak-anak kita masih perlu pula memperdalam ilmu agama–yang tak mendalam diperoleh di sekolah–misalnya. Tidak hanya Taman Pendikan Al-Qur’an dan Madrasah Diniyah yang dirugikan secara materi dan immateri oleh rencana penetapan kebijakan full day school oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, para orangtua pun sewajarnya gelisah. Sebab, kita sama tahu, masih lemahnya pendidikan dan pengajaran agama di sekolah layak diduga dijadikan celah penyebaran ajakan kekerasan (catatan: bukan ajaran kekerasan, namun ajakan kekerasan) di lingkungan sekolah.

Dengan dalil dan dalih agama dan membela agama, ajakan kekerasan ditengarai justru tumbuh dan berkembang dari dan di lingkungan sekolah.

Anak-anak juga perlu mengembangkan bakat dan minat di berbagai bidang; mulai dari menumbuhkan kecakapan bertutur, menulis, berbahasa, menyanyi, menari, memasak, berolahraga, berbusana, dan sebagainya, yang kita sama-sama tahu bahwa hal-hal itu tidak diperoleh secara mendalam jika di sekolah saja.

Saya sungguh tidak bermaksud merendahkan sekolah, namun justru meninggikan derajatnya dalam meletakkan dasar-dasar logika berpikir dan pengetahuan umum kepada kita. Selebihnya, mari membuka diri untuk bekerjasama dengan lembaga-lembaga pendidikan lainnya.

Sebagian orangtua dan/atau wali murid memang masih membawa anak-anak mereka ke bimbingan belajar (bimbel) karena merasa porsi pengetahuan yang didapatkan dari sekolah belum cukup. Namun, menambah jam belajar di sekolah pun sesungguhnya bukan jawaban. Tak bisakah kita sejenak membayangkan betapa berat beban yang ditanggung oleh punggung anak-anak kita?

Bukan hanya buku-buku yang mereka pikul, namun juga pemaksaan kehendak oleh orang-orang dewasa agar anak-anak terus-menerus bersekolah, bahkan sampai membawa pekerjaan sekolah ke rumah–yang kemudian kita sebut pekerjaan rumah; idiom yang dipaksakan bahwa anak-anak harus bekerja sejak dini.

Apa yang sesungguhnya anak-anak inginkan? Bersenang-senang! Apa yang sesungguhnya anak-anak butuhkan? Kebahagiaan! Dan, bukankah orang-orang dewasa pun tidak akan pernah kehilangan kodratnya untuk (ingin) bersenang-senang dan mencapai kebahagiaan?

Namun, lihatlah, berapa banyak lembaga pendidikan yang telah mengubah mindset belajar dengan bermain? Berapa banyak sisanya yang mengerjakan kegiatan belajar mengajar sebatas duduk tegak menghadap papan tulis, mencatat, dan menghapal, lalu ujian, dan lulus atau tidak lulus? Betapa banyak sekolah yang masih berorientasi pada ranking daripada tumbuh kembang siswa sesuai keadaan dan kepribadiannya yang unik.

Saya yakin, para guru yang terhormat sungguh mampu lebih dari sekadar membagi siswa dalam dua kelompok: pintar dan bodoh, atau rajin dan malas. Saya yakin, jika para guru dipercaya untuk berpikir dan bertindak melampaui diktat demi menjangkau daya nalar dan imajinasi siswa yang bisa tak terduga, maka sekolah bisa mengembangkan diri dari medium pembelajaran pengetahuan menjadi medium pembelajaran pengalaman.

Saya yakin, jika para guru diberi kehormatan untuk menilai siswa tidak hanya dengan angka, maka siswa niscaya terlecut untuk menunjukkan karya. Tidak hanya menjawab soal-soal, namun bahkan mampu mengembangkan pertanyaan dan daya kritis.

Ketika bangsa ini menghadapi persoalan dengan adab dan tatakrama, kesopanan dan kesantunan, etika dan etiket, bahkan akhlak dan budi pekerti, masihkah kita berharap hanya–sekali lagi: hanya–kepada sekolah? Di negeri ini juga terdapat pesantren, pawiyatan, padepokan, perguruan, seminari, ashram, dan lembaga-lembaga pendidikan dan kebudayaan lainnya, termasuk di dalamnya sanggar-sanggar yang kian hari kian sepi pembelajar.

Apakah kita rela sekolah hanya menyisakan dua hari pada akhir pekan untuk aktivitas non-bersekolah? Bukankah akhir pekan lebih tepat, atau biasanya, digunakan untuk bersantai bersama keluarga? Lalu, akankah kegiatan non-sekolah dipaksapindahkan pada sisa dua hari itu?

Ya, memang sebagian orangtua pada zaman ini bekerja jauh dari rumah. Sebut saja: berkantor. Tidak lagi hanya bertani. Bercocok tanam. Berdagang. Melaut. Menjaring ikan. Tidak lagi hanya terbagi atas masyarakat agraris dan bahari, namun juga telah menjadi masyarakat check-clock. Dan, oleh karena itulah, tidak setiap anak bisa ikut ke kantor, kecuali orangtuanya bos. Namun, jangan kemudian menjadikan itu sebagai alasan untuk memperpanjang rentang waktu bersekolah dan memaksa anak-anak kita untuk menjadi anggota yunior masyarakat jam kerja.

Biarkan anak-anak tumbuh dan berkembang sesuai fitrahnya. Jangan paksa mereka menjadi tua sebelum waktunya: menghabiskan umur di jalan dan meratapi sisanya dengan penyesalan.

Ayolah kita belajar di mana pun dan kapan pun, tidak hanya bersekolah dari pagi hingga sore. Sekali lagi, yuk, Pak Menteri, full day-night learning saja, jangan full-day school.

Candra Malik
Candra Malik
Budayawan sufi yang bergiat di bidang kesusastraan, kesenian, kebudayaan, dan spiritualitas.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.