Rabu, April 24, 2024

Mark Zuckerberg, Harvard, Haidar, dan Mimpi untuk Anakku

Pradana Boy ZTF
Pradana Boy ZTF
*) Dosen Universitas Muhammadiyah Malang. Pengasuh Lembaga Bait al-Hikmah, Malang. Asisten Staf Khusus Presiden Republik Indonesia.

Mark Zuckerberg di Harvard University [Foto: CNBC.com]
Sangat kecil kemungkinan generasi muda zaman ini tidak mengenal nama Mark Zuckerberg. Bagaimana mau abai pada nama ini, sementara setiap saat produk teknologi yang ia ciptakan telah menjadi bagian yang bersenyawa dengan kehidupan. Tak hanya ruang publik, teknologi itu bahkan telah memasuki ruang-ruang yang sangat pribadi dalam kehidupan individu.

 

Ya, Facebook karya Mark Zuckerberg telah menyatu dalam denyut nadi zaman ini. Terlebih bagi anak muda yang lahir dalam zaman serba digital. Marc Prensky (2001), seorang lulusan Harvard University, menyebut generasi ini sebagai digital native atau penduduk asli dunia digital.

Begitu terkenalnya Mark Zuckerberg, sehingga ketika ia diwisuda, pidato wisudanya menyebar ke seluruh penjuru dunia dan dibaca oleh orang dari berbagai kelas masyarakat, kelompok umur, bahkan berbagai ideologi dan agama. Dari situlah lalu semakin banyak orang mengetahui bahwa Mark Zuckerberg memperoleh pendidikan di Harvard University, sebuah universitas prestisius di Cambridge, Negara Bagian Massachusetts, Amerika Serikat, yang bertahun-tahun lamanya dinobatkan sebagai universitas terbaik di dunia.

Setelah mengetahui fakta ini, tak sedikit pula yang berkomentar: “Pantaslah.” Ungkapan singkat itu bermakna dalam: sangat wajar jika Mark bisa membuat prestasi yang demikian fantastis, kuliahnya saja di Harvard University.

Facebook telah menjadi bagian hidup manusia modern. Begitu juga komputer. Jika begitu, bisakah manusia modern hidup tanpa bantuan perangkat komputer? Rasanya sulit, atau malah tidak mungkin. Bukan persoalan takut dianggap kuno. Bukan pula karena gengsi. Tetapi karena meninggalkan komputer berarti mengorbankan efisiensi. Pengabaian atas efisiensi berarti membuang peluang. Sementara hidup yang berhasil adalah hidup yang mampu memanfaatkan peluang.

Maka, sepanjang itu menyangkut komputer, piranti lunak menjadi hal yang tak terhindarkan. Lalu, adakah pengguna piranti lunak komputer yang tak mengenal William Henry Gates III atau yang diketahui oleh publik dengan nama Bill Gates? Barangkali ada sementara orang yang tidak tahu. Tetapi rasanya, sangat kecil kemungkinan ada orang tidak tahu Microsoft yang merupakan mahakarya Bill Gates.

Karya ini diawali pada tahun 1975 oleh Bill Gates dan teman sepermainannya masa kecil, Paul Allen. Usaha itu terbukti berhasil. Gates dan Allen mampu menciptakan perangkat lunak baru. Pada tahun 1990-an, Windows diluncurkan dan mampu menguasai ceruk pasar hingga 90 persen di dunia.

Mark Zuckerberg dan Bill Gates adalah sedikit dari banyak nama besar yang dilahirkan Harvard University. Baik di Amerika Serikat sendiri, maupun di berbagai belahan dunia, Harvard adalah almamater bagi sejumlah nama besar. Selain kedua pesohor ini, sejumlah presiden Amerika Serikat adalah lulusan Harvard. John Adam, presiden ke-2 AS yang memerintah pada tahun 1797-1801 setelah Presiden George Washington adalah alumnus Harvard.

Demikian juga Theodore Roosevelt, Franklin D Roosevelt, John F Kennedy, George W Bush dan Barrack H Obama adalah para mantan presiden AS yang pernah mengenyam pendidikan di Harvard. Nama besar lain yang merupakan lulusan Harvard adalah Benzhir Butto, mantan perdana menteri Pakistan.

Di Indonesia, terdapat beberapa nama yang merupakan alumni kampus ternama ini. Endang Sedyaningsih yang pernah menjabat sebagai Menteri Kesehatan Republik Indonesia (2009-2012) adalah alumnus Harvard  School of Public Health. Ada juga nama Sjahrir, seorang ekonom terkemuka yang mengajar di Universitas Indonesia. Juga nama Gita Wirjawan yang pernah menjabat Menteri Perdagangan pada masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

Di dunia pemikiran Islam tanah air, Haidar Baqir, pendiri sekaligus pemilik Penerbit Mizan, adalah alumnus program master Harvard University. Sementara yang masih menempuh pendidikan di Harvard terdapat nama Sukidi, kader Muhammadiyah dan seorang intelektual Muslim terkemuka di Indonesia.

Harvard University atau singkatnya Harvard adalah sebuah nama impian bagi para sarjana. Harvard adalah sebuah nama prestisus dalam dunia intelektual global. Maka, ketika mengetahui bahwa dalam program Study of the U.S. Institute (SUSI) yang saya jalani selama enam minggu di University of Massachusetts, Amherst, termasuk di dalamnya terdapat kunjungan dan kuliah singkat di Harvard, saya bahagia bukan kepalang.

Rasanya tak sabar menunggu hari itu datang. Ya, menapakkan kaki di sebuah universitas yang begitu ternama adalah hal yang telah lama saya impikan.

Dok. penulis

Ketika hari itu benar-benar tiba, kami dibawa oleh bis dari Kota Amherst menuju Cambridge, di mana Harvard University terletak. Tetapi karena rasa penasaran yang demikian mendalam, bis yang melaju kencang itu seolah-olah merayap sangat lambat.

Sekali lagi, Harvard adalah sebuah nama global dan menjadi seperti “keramat” bagi para sarjana. Maka, pagi itu bukan hanya saya yang bersemangat menyongsong perjalanan ke Harvard, rupanya semua peserta menunjukkan wajah berseri-seri untuk menyambut kunjungan ke Cambridge.

Baca: Kiblat Refleks [Catatan dari Amerika].

Setelah perjalanan kurang lebih dua jam, bis mulai memasuki wilayah Boston untuk kemudian menuju Cambridge. Namun, suasana jalan raya yang padat pada pagi hari itu, menjadikan perjalanan sedikit terhambat. Ketika pada akhirnya bis mampu melampaui kerumitan jalan raya dan mengurai kepadatan kendaraan yang hendak menuju ke metro Boston, sopir membawa kendaraan melewati jalan dengan kelebaran sedang.

Di kanan dan kiri jalan itu berdiri bangunan-bangunan tua khas Inggris yang tak terlalu menjulang. Pohon-pohon yang rindang menyejukkan pandang di tengah terik matahari di musim panas itu. Di mulut sebuah gang, bis berjalan perlahan, kemudian memasuki gang tersebut.

Kira-kira dua ratus meter, bis berhenti. Rasa tak sabar untuk menginjakkan kaki di Harvard rasanya terobati begitu bis berhenti. Segera kami bangkit dari tempat duduk. Namun, tiba-tiba ketua rombongan menyatakan kami tersesat. Ah…

Bis kemudian keluar gang, mencari jalan yang tepat, hingga akhirnya memasuki sebuah kompleks luas yang bangunannya didominasi warna merah. Di bagian-bagian tertentu kompleks itu ramai orang berfoto. Lalu terbaca tulisan Harvard di beberapa bagiannya. Aha… Inilah Harvard University. Sekilas terlihat pengunjung dari berbagai belahan dunia secara tidak sabar berfoto di berbagai kawasan kampus Harvard University.

Bis terus berjalan pelan, melintasi sebuah bangunan yang sangat besar, berwarna kecoklatan, yang terlihat seperti sebuah katedral. Bis mengambil arah ke kanan. Tak terlalu lama bis berjalan, kemudian berhenti di depan sebuah gedung dengan warna coklat muda yang cukup dominan. Sementara di bagian depan gedung itu ditutup dengan kaca bening yang di atasnya terdapat tulisan berwarna kuning tua: Knafel Building, Center for Government and International Studies, Harvard University.

Harvard. Pada akhirnya kami menginjakkan kaki di sini. Kami memasuki gedung tersebut. Di lantai dua telah menunggu seorang dosen, Dr. Cheryl Welch, yang akan memberikan kuliah tentang demokrasi di Amerika. Begitu memasuki ruang kuliah, pandangan saya terpaku pada deretan foto berpigura yang berjajar di tembok bagian belakang ruang kuliah tersebut.

Ada enam foto, tetapi tiga nama besar di antaranya menyeret perhatian khusus saya. Ini tidak bermakna bahwa nama-nama lain yang berjajar di rangkaian foto itu bukan nama besar, tetapi kebetulan saya tidak mengenal nama-nama itu. Ada foto Samuel P Huntington, disusul Joseph S Nye, dan di sebelahnya terdapat foto Robert D Putnam.

Rupanya nama-nama besar itu bermarkas di sini. Mereka semua adalah para mantan direktur Weatherhead Center for International Affairs, Harvard University. Samuel P Huntington menjabat direktur pada tahun 1978-1989, lalu digantikan oleh Joseph S Nye pada periode 1989-1992. Sementara Robert D Putnam menjabat direktur pada tahun 1993-1996. Terlepas dari kontroversi yang dia timbulkan ketika menulis buku The Clash of Civilization, Huntington adalah pemikir ternama.

Sementara Joseph S Nye dikenal dengan pemikirannya tentang soft power atau kekuasaan lunak. Ia dianggap sebagai pemikir penting di balik pemikiran diplomasi luar negeri Amerika Serikat. Kekuasaan lunak dibedakan dari kekuasaan keras (hard power) yang umumnya berbentuk kekuatan ekonomi dan militer. Kekuasaan keras diberikan dalam bentuk pasangan pancingan dan ancaman.

Konsep pasangan antara pancingan dan ancaman ini sering diistilahkan dengan carrots and sticks (secara literal berarti wortel dan tongkat). Artinya, jika diibaratkan dengan kelinci, maka untuk menangkap kelinci harus diberikan pancingan berupa wortel dan setelah sang kelinci mendekati wortel itu, lalu pukullah ia dan sang kelinci akan tertangkap.

Joseph Nye meyakini bahwa sangat penting bagi AS untuk beralih ke kekuasaan lunak. Kemudian mempertahankan dan bahkan meningkatkan kekuasaan lunaknya itu. Kekuasaan lunak, kata Nye, bukan semata-mata sama dengan pengaruh, meski ia adalah salah satu sumber pengaruh.

Kekuasaan lunak juga lebih dari sekadar persuasi atau kemampuan untuk menggerakkan orang dengan argumen. Ia adalah kemampuan untuk menarik dan memikat orang lain. Dan ketertarikan seringkali menggiring orang kepada persetujuan penuh dan peniruan. Begitulah salah satu butir pemikiran Nye.

Harvard University didirikan pada tahun 1636, dengan nama awal Harvard College. Pada awalnya universitas ini didirikan sebagai pusat pendidikan bagi para agamawan yang berasal dari Inggris. Kelompok agamawan ini sering diistilahkan sebagai Kaum Puritan, yang merujuk kepada pemberontakan yang dilakukan oleh penganut Kristen Protestan kepada Kristen Katholik untuk memurnikan ajaran Kristen.

Nama Harvard sendiri diambil dari nama John Harvard yang merupakan penyumbang pertama Harvard. Sesungguhnya John Harvard, oleh banyak kalangan, bukan dianggap sebagai pendiri. Karena pendirian Harvard University bukan keputusan satu orang, melainkan keputusan bersama Penguasa Massachusetts Bay Colony. Tetapi karena kontribusi John Harvard yang luar biasa, maka namanya diabadikan sebagai nama universitas ini.

Pengabadian itu tidak hanya terjadi pada nama. Di belakang sebuah gedung yang menghadap ke taman rumput nan luas dan hijau dengan pepohonan yang rimbun, berdiri tegak patung John Harvard. Sungguh sulit untuk bisa berfoto di depan patung tersebut, karena demikian banyaknya orang dari berbagai belahan dunia yang ingin menyaksikan kebesaran Harvard dan diabadikan dengan foto di depan patung John Harvard itu.

Saking banyaknya orang yang telah mengambil foto dengan patung John Harvard itu, sampai-sampai bagian sepatu patung tersebut berubah warna menjadi kuning, dari yang semula hitam pekat.

Usai kuliah bersama Dr. Cheryl Welch, saya segera meluangkan waktu untuk bertemu Sukidi, yang telah saya sebutkan di atas. Terakhir kali saya bertemu Sukidi pada tahun 2005, pada saat Muktamar Muhammadiyah di Universitas Muhammadiyah Malang. Sukidi mengajak saya memasuki perpustakaan Harvard yang bernama Widener Library.

Dari kejauhan, gedung perpustakaan itu saja sudah memancarkan wibawa. Untuk sampai di lantai 1 perpustakaan, setidaknya 25 anak tangga harus dilewati. Sedikitnya sepuluh pilar penyangga menjadi penghias bagian depan perpustakaan, mengingatkan kita pada tradisi ilmiah pada zaman filosof Yunani kuno.

Sukidi menuturkan, Perpustakaan Widener memiliki koleksi terlengkap tidak hanya di Amerika Serikat, tetapi barangkali juga di dunia. Berbagai koleksi dalam bentuk buku, jurnal, micro-film, sumber-sumber elektronik, film, audio, pamflet maupun poster dalam setidaknya 100 bahasa terdapat di situ. Ketika memasuki ruang baca utama perpustakaan yang sangat luas dan dengan tembok tinggi, menjadikan bulu kuduk saya merinding. Terlihat dengan jelas keseriusan dalam pengembangan ilmu pengetahuan.

Rasanya ingin berlama-lama di kampus ini. Namun waktu juga yang harus menentukan. Ketika pada akhirnya bis perlahan-lahan meninggalkan pelataran Harvard, saya hanya bisa memandangi kampus itu dalam buaian khayalan: seandainya saya bisa menempuh pendidikan di sini. Tetapi, jauh di lubuk hati sesungguhnya saya bersyukur bahwa anak desa seperti saya bisa memperoleh pendidikan di pusat-pusat pendidikan terbaik dunia, meski itu bukan Harvard.

Saya menempuh master di Australian National University (ANU), salah satu kampus papan atas di Australia; dan studi doktoral di National University of Singapore (NUS), yang juga universitas unggul dunia.

Lalu saya bermimpi. Jika hari ini, pada zaman ini, saya tidak bisa menempuh pendidikan di Harvard sebagaimana menjadi mimpi para sarjana, biarlah mimpi itu saya simpan untuk anak-anak saya nanti. Diam-diam saya berdoa, semoga Allah membukakan jalan dan memberikan kemudahan bagi saya untuk mewujudkan mimpi itu.

Mimpi agar kelak anak-anak saya bisa menempuh pendidikan di universitas terbaik ini atau di pusat-pusat pendidikan terbaik di dunia. Ya, karena warisan terbaik orangtua kepada anak, bukanlah harta, melainkan warisan ilmu pengetahuan. Mulut saya diam, tapi sebenarnya hati saya terus memanjatkan doa dan permohonan kepada Tuhan agar api mimpi itu terus membara.

Itulah mimpiku untuk anak-anakku, ketika hari ini saya merayakan ulang tahun yang ke-40, justru pada saat jauh dari mereka.

Amherst-Massachusetts, 16 Juli 2017

Pradana Boy ZTF
Pradana Boy ZTF
*) Dosen Universitas Muhammadiyah Malang. Pengasuh Lembaga Bait al-Hikmah, Malang. Asisten Staf Khusus Presiden Republik Indonesia.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.