Kerjasama berbasis peneliti menjadi penting untuk didorong, dan hal ini juga memerlukan dukungan institusional dari universitas atau pemerintah. Sebagai contoh, pemerintah bisa mendorong partisipasi dosen dan peneliti dengan memberikan entah grant, tunjangan, atau bantuan untuk menjadi anggota asosiasi profesi, menjadi editor jurnal, atau mengembangkan risetnya dengan jejaring global.
Hal itu penting, karena keanggotaan di asosiasi profesi akan memungkinkan keterhubungan antara peneliti Indonesia dengan komunitas peneliti di luar negeri, sementara posisi editor jurnal akan memungkinkan peneliti Indonesia untuk bisa terus meng-update perkembangan riset di luar negeri dan mengembangkannya di dalam negeri. Hal ini tak kalah penting dari pengembangan kerjasama institusional berbasis Memorandum of Understanding karena secara positif berdampak pada penguatan kapasitas peneliti dan jaringan globalnya.
Ketiga, keterkejutan akademisi Indonesia dengan kebijakan Scopus bisa jadi adalah refleksi dari absennya komunitas epistemik yang menopang aktivitas institusional dari riset dan pendidikan tinggi di Indonesia. Yang saya maksud sebagai komunitas epistemik adalah grup-grup yang secara institusional aktif mengembangkan keilmuan, menjadi arena diskusi dan debat teoretis/kebijakan secara nasional, dan menjadi wadah untuk menghubungkan pemerintah dan peneliti dalam wadah yang relatif netral.
Komunitas Epistemik berbeda dengan asosiasi profesi atau keilmuan; komunitas epistemik tidak begitu peduli dengan wadah lembaga, namun berfokus pada pengembangan gagasan dan aktivitas keilmuan baru. Komunitas epistemik di Indonesia bisa dilihat, di masa lalu, pada lingkaran ekonom dan teknokrat Alumni Amerika Serikat yang berpengaruh di masa Orde Baru (kerap “diplesetkan” dengan isilah Mafia Berkeley).
Dalam bentuk yang lebih terbatas dan tidak seberapa politis, kita juga bisa melihatnya dalam komunitas semacam LP3ES yang menjadi tempat berkumpul para intelektual Indonesia di masa Orde Baru untuk menulis artikel maupun buku di terbitan-terbitan mereka.
Di negara lain, komunitas epistemik ini mewujud pada banyak wajah, seperti Chinese Academy of Social Sciences (di Cina), National Bureau of Research (di Amerika Serikat), atau Asosiasi Profesi di tingkat Nasional dan Internasional. Studi Hubungan Internasional di Inggris, misalnya, secara tradisional ditopang oleh komunitas semacam Royal Institute of International Affairs (Chatham House) atau British International Studies Association (BISA).
Jika riset-riset yang berorientasi kebijakan banyak dihubungkan oleh Chatham House dan jurnalnya, International Affairs, maka riset-riset teoretis didiskusikan di BISA dan jurnal akademik terbitan mereka, Review of International Studies. Amerika Serikat punya jejaring komunitas epistemik yang lebih kompleks. Jurnal-jurnal semacam Millennium, yang dikelola oleh mahasiswa pascasarjana di London School of Economics, kadang menjadi komunitas epistemik bagi para pengkaji Teori Kritis.
Sementara di Cina, Chinese Journal of International Politics kini menjadi arena baru bagi akademisi yang mengembangkan kajian Filosofi Cina dalam studi Hubungan Internasional. Inggris juga pernah punya British Committee on the Theory of International Politics, yang selama 30 tahun lebih bertemu untuk mendiskusikan pemikiran-pemikiran baru dalam studi Hubungan Internasional, dan kemudian dikenal memelopori perspektif English School dalam Teori HI kontemporer. Komunitas epistemik juga bisa dilihat pada terbitan Journal of Subaltern Studies yang memelopori pendekatan pascakolonial di India.
Menumbuhkan komunitas epistemik di dunia riset memang tidak mudah, tetapi bisa didorong baik oleh pemerintah maupun institusi pendidikan tinggi dengan, misalnya, mendorong asosiasi keilmuan untuk bisa lebih terbuka dan berorientasi pada riset atau pengembangan pengetahuan.
Banyak asosiasi keilmuan Nasional yang cenderung bersifat seremonial atau bahkan menjadi sangat politis karena pengelolaannya bersifat hierarkis, elitis, dan kemudian menjadi alat untuk melegitimasi posisi akademik. Padahal, idealnya, asosiasi keilmuan dikelola dengan berbasis pada komunitas riset yang bisa menampung para peneliti untuk mendiseminasikan atau menguji gagasannya, sehingga core dari asosiasi keilmuan bukanlah jabatan, melainkan sense komunitas.
Me-reorientasi komunitas keilmuan menjadi lebih berbasis riset, dan meminimalisir pertarungan untuk memperebutkan jabatan “Ketua” (walau bisa jadi tidak terhindarkan) menjadi penting. Belum dengan mendorong komunitas epistemik menjadi lebih terbuka bagi mahasiswa pascasarjana atau peneliti muda, agar proses kaderisasi berjalan. Hal ini memerlukan dukungan tidak hanya bagi pengelola asosiasi keilmuan, tetapi juga institusi pendidikan tinggi dan pemerintah.
Keempat, keterkejutan akademisi Indonesia dengan kebijakan Scopus bisa jadi juga merupakan refleksi dari krisis generasi dari para akademisi Indonesia, di mana kita dihadapkan pada perubahan dalam tren pengelolaan pendidikan tinggi dari berbasis pengajaran menjadi berbasis riset.
Perubahan tren ini sebetulnya bisa dilacak dari revolusi behavioralis di tahun 1970an, yang menciptakan profesionalisasi berbasis disiplin, yang dilanjutkan oleh Proses Bologna tahun 1970an yang mendorong standardisasi kualitas riset dalam pengelolaan pendidikan tinggi, hingga pengenalan Altmetrics untuk mengukur produktivitas dan kualitas riset. Model ini memang tidak kedap kritik, di tahun 2000an ada kritik terhadap model metrik dari, misalnya, Manifesto Leiden yang merekomendasikan pengukuran lebih kualitatif daripada kuantitatif.
Namun demikian, persoalannya, akademisi-akademisi senior di Indonesia adalah generasi yang tumbuh dalam kultur pengajaran dan belum sepenuhnya akrab dengan model altmetrics. Hal ini sedikit banyaknya membuat munculnya penolakan terhadap model Scopus dan altmetrics yang diadopsi oleh Kementerian Riset & Dikti untuk mengukur kinerja dosen.
Meskipun kita juga harus mengakui bahwa model seperti ini terbatas, mendorong peneliti-peneliti muda untuk mempunyai kultur riset plus mengakrabkan diri dengan model-model riset baru tersebut. Sehingga, para peneliti muda tidak lagi kesulitan untuk mencari jurnal yang tepat untuk mempublikasikan karya mereka, dan tidak gagap dengan model pengukuran altmetrics semacam ini.
Di sisi lain, pemerintah juga mesti fleksibel dan terbuka dengan kelemahan sistem. Altmetrics dan model standard Scopus bukan satu-satunya norma dalam pengembangan riset. Ada banyak model lain yang digunakan di berbagai belahan dunia lain. Yang tak kalah penting dari itu, pada dasarnya, adalah keterbukaan untuk menerima gagasan baru dan kritik terhadap kebijakan.
Pelibatan generasi muda, untuk itu, menjadi penting. Sudah saatnya peneliti-peneliti muda didorong untuk ambil bagian dari kepemimpinan lembaga riset, tampil dalam pentas internasional melalui konferensi, publikasi, atau asosiasi keilmuan, dan yang terpenting didorong secara finansial. Kaderisasi peneliti di lembaga-lembaga penelitian,di samping juga pendidikan tinggi, menjadi krusial untuk meningkatkan kualitas riset Indonesia.
Kolom terkait:
Komunitas Akademik Dan Dunia Riset Indonesia (2)