Selasa, April 23, 2024

Kemenangan Guru Oemar Bakrie?

Riduan Situmorang
Riduan Situmorang
Guru Bahasa Indonesia di SMAN 1 Doloksanggul, Aktivis Antikorupsi, Pegiat Literasi di Pusat Latihan Opera Batak (PLOt) dan Toba Writers Forum (TWF), Medan.

Guru adalah gabungan kata gu dan ru dari dari bahasa Sanskerta. Gu adalah kegelapan, kejumudan, dan kekelaman. Sementara ru adalah melepaskan, menyingkirkan, atau membebaskan. Dengan demikian, guru adalah melepaskan, menyingkirkan, atau membebaskan kegelapan. Dengan demikian pula, guru adalah kata kerja. Tetapi, bukan berarti guru itu adalah sebuah pekerjaan. Menjadi guru adalah menjadi abdi karena guru adalah pengabdian.

Abdi tak sama dengan kuli. Mengabdi bukan berarti menjadi kuli. Maka, meski penampilan guru dari dulu dideskripsikan sekumal-kumalnya dengan sepeda dan rumah reotnya (a la Oemar Bakrie-nya Iwan Fals) , masyarakat justru sangat hormat pada guru. Masyarakat bisa jadi tak hormat, bahkan meremehkan kuli, tetapi tidak dengan guru. Sebab, guru itu adalah sesuatu yang mesianik dan mencerahkan. Ini semua termanifestasikan pada akronimnya bahwa guru adalah sosok yang harus digugu dan ditiru. Artinya, menjadi guru adalah menjadi teladan.

Bapak Pendidikan kita, Ki Hajar Dewantoro, dengan bahasa Jawa tinggi, sudah merumuskannya dalam Taman Siswa-nya dengan semboyan ing ngarso sung tulodo, ing madyo mangun karso, tut wuri handayani (di depan memberi teladan/contoh, di tengah memberi semangat, di belakang memberi dorongan). Yang disebut terakhir bahkan menjadi motto Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan kita. Artinya, menjadi guru adalah sebuah pengabdian membuat orang lain menjadi agung, berbudi pekerti, berakhlak luhur.

Bukan Kuli, tapi “Nabi”

Dalam proses pengabdian ini, dulunya, guru harus meretas jarak, bahkan kadang meninggalkan keluarganya. Kita tentu sudah tak asing lagi dengan cerita yang sudah menjadi klasik bawah seorang guru harus mengayuh sepedanya melewati jalan-jalan terjal dengan gaji yang tak seberapa. Jika diamati, fokus seseorang untuk menjadi guru tentu bukan lagi terletak pada gaji. Kalau pada gaji, guru pada masa lalu malah lebih cocok bertani atau berkebun. Apalagi saat itu lahan pertanian masing sangat luas. Akan tetapi, karena guru dipandang bukan sebagai lahan pekerjaan, gaji tak lagi menjadi fokus utama.

Rasa-rasanya, inilah yang mengundang tabik sehingga masyarakat dulunya sangat hormat pada guru. Cerita-cerita orang tua kita dulu semakin meneguhkan itu, di mana masyarakat dinarasikan banyak yang memberikan sumbangan sembako pada guru. Bahkan, saya masih merasakan bagaimana dulu kami memberi hormat dan salam pada guru ketika berpapasan di jalan. Kami akan mengambil sikap seperti memberi hormat pada Sang Saka Merah Putih, tanpa memandang apakah guru itu berasal dari sekolah kami atau tidak.

Yang penting, asal seseorang itu adalah guru, kami pasti berdiri dengan sikap tegak dan memberi salam. Sikap ini mentradisi karena orang tua kami mengajarkan bahwa guru harus dihormati. Mereka bukan kuli, tetapi “nabi”, kira-kira demikian ajaran itu.

Kini, tradisi memberi salam dan hormat pada guru ketika berpapasan sudah menjadi kenangan. Saya tak pernah lagi melihat pemandangan itu. Justru, sebaliknya, kita sudah tak jarang lagi melihat dan mendengar bahwa guru kini ada dalam kepungan dan keroyokan masyarakat dan siswa. Guru tak lagi sekadar digugu dan ditiru, tetapi juga sudah diburu.

Lihatlah kasus-kasus teranyar! Ada banyak kekerasan yang menyasar pada guru. Ada cerita di mana siswa menikam gurunya; ada kisah di mana orang tua memidanakan guru; ada peristiwa di mana orang tua dan siswa sama-sama menjungkalkan dan mempermalukan guru.

Guru dianggap menjadi buruh, pembantu, babu, budak di mana sekolah adalah lapangan pekerjaannya, bahkan sekolah dimaknai sama sebagai tempat penitipan anak. Peristiwa ini tentu sangat kontras dengan peristiwa terdahulu. Guru yang dulu heroik sekarang menjadi jijik.

Akan tetapi, baru-baru ini, sebagaimana dikutip Nursisto, berdasarkan yurisprudensi Mahkamah Agung, Jumat (2/9) lalu menyebutkan bahwa guru tidak bisa dipidana saat menjalankan profesinya dan melakukan tindakan pendisiplinan terhadap siswa. Hal ini diputuskan Dr. Margono saat mengadili guru SDN Penjalin Kidul V, Majalengka (Jawa Barat) yang bernama Aop Saopudin.

Kita sama-sama tahu bahwa peristiwa yang diduga malapraktik itu sendiri berlangsung dari kejadian ketika Aop Saopudin mendisiplinkan empat orang siswa berambut gondrong pada Maret 2012.

Lantas, salah seorang siswa dan orang tuanya tidak terima yang lalu melabrak Aop dengan memukul dan mencukur balik gurunya di hadapan siswa-siswanya, bahkan di hadapan rekan-rekan gurunya. Aop diperlakukan sebagai sosok yang sangat bersalah dan sangat hina.

Tak cukup sampai di situ, orang tua siswa itu juga memidanakan Sang Guru. Dakwaannya berlapis, yakni pasal 77 a UU Perlindungan Anak tentang perbuatan diskriminasi terhadap anak; pasal 80 ayat 1 UU Perlindungan Anak; pasal 35 ayat 1 KUHP tentang perbuatan tidak menyenangkan.

Jangan Takluk pada Kekelaman!

Aop menjadi orang yang nirkekuatan. Meski sebenarnya jika mengekor pada pasal yang membela guru, antara lain, PP 74/2008 pasal 39 ayat 1 yang jelas-jelas berbunyi bahwa “guru memiliki kebebasan memberikan sangsi kepada peserta didiknya yang melanggar norma agama, kesusilaan, kesopanan” dan, pada ayat 2, bahwa “sangsi tersebut dapat berupa teguran dan/atau peringatan baik lisan maupun tulisan, serta hukuman yang bersifat mendidik sesuai dengan kaidah pendidikan, kode etik guru, dan peraturan perundang- undangan”, Aop bisa dikuatkan.

Demikianlah sekilas kekerasan yang mendera guru. Bentuknya sangat beragam. Bukan hanya dari siswa, tetapi juga dari sekolah sebagai institusi dan konstitusi. Partahanan Siregar, misalnya, yang sudah mengabdi belasan tahun di SD Negeri 103010 Sipenggeng, Paluta, Sumatra Utara, harus dipecat hanya karena pernah ikut aksi unjuk rasa bersama Persatuan Guru Honor Komite  pada Novemer 2015 silam.

Secara konstitusional guru bahkan tak lagi dipandang sebagai profesi bergengsi. Sudah ada semacam pemahaman bahwa guru bukan profesi istimewa karena siapa pun bisa menjadi guru (Pasal 1 Butir 2 Permendikbud Nomor 87 2013).

Padahal, seperti di atas, guru adalah pengabdian. Tak semua orang bisa menjadi guru. Guru bukan pekerjaan, karena itu guru bukan kuli. Sejatinya, jika mau enak-enak saja, guru sebenarnya bisa saja bermental kuli. Misal, kalau didisiplinkan tidak mau, diatur ini-itu siswa bandel, guru silakan membiarkannya begitu saja. Tak usah dimarahi atau dihukum. Tinggal senyam-senyum, buat nilai berkemilau, lalu terima gaji, pasti siswa akan senang. Tetapi, apakah guru bermental kuli seperti ini yang kita harapkan?

Pada akhirnya, di atas segala kekerasan dan pidana yang menghardik guru, lalu ada beberapa pakar hukum seperti Margono di atas, bahkan seorang bupati memberikan statement yang kurang lebih begini, jika Anda tak mau anaknya dihukum dan dididik, silakan buat sekolah dan penilaannya sendiri di rumah, tak usah ke sekolah. Saya membaca ini adalah sinyal kembalinya kemuliaan guru. Ini adalah sinyal kemenangan guru. Bukan sebagai pribadi, tetapi sebagai definisi, yaitu menang melawan kegelapan.

Karena itu, bagi kita guru-guru, teruslah berkarya, karena memang kita akan selalu berhadapan dengan kekelaman itu. Dan, catat, kita jangan sesekali takluk pada kekelaman itu. Selamat mengabdi wahai guru-guru! Selamat Hari Guru!

Bacaan terkait:

Hari Guru Nasional, Antara Etos dan Problematika Pendidikan

Menjadi Guru di Era Digital

Jadilah Guru Progresif!

Riduan Situmorang
Riduan Situmorang
Guru Bahasa Indonesia di SMAN 1 Doloksanggul, Aktivis Antikorupsi, Pegiat Literasi di Pusat Latihan Opera Batak (PLOt) dan Toba Writers Forum (TWF), Medan.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.