Saya bersyukur karena memiliki kesempatan belajar dan tinggal di China. Di Negeri Tirai Bambu ini, saya mempelajari kebudayaan dan khazanah keilmuan baru. Salah satu yang menarik perhatian saya adalah banyaknya jumlah karakter (huruf) Han Zi yang dimiliki masyarakat China. Selain itu, strategi para pengguna (user) Han Zi dalam mempelajarinya.
Berdasarkan penelusuran saya, jumlah keseluruhan karakter Han Zi sangat bombastis, untuk ukuran jumlah huruf yang lazim digunakan kelompok manusia di dunia. Hasil riset beberapa ilmuwan di China mencatat, total karakter Han Zi yang dipakai sekarang berkisar antara 6.000 (enam ribu) hingga 8.0000 (delapan puluh ribu) karakter.
Memang, tidak ada kesamaan jumlah yang dihasilkan oleh para peneliti dalam menghimpun seluruh karakter Han Zi yang digunakan masyarakat China hingga hari ini. Mengenai hal ini, menurut saya, karena memang jumlah karakter huruf China yang sangat banyak. Di sisi lain, karena ada sebagian karakter yang sudah mulai tidak dipakai dalam keseharian.
Artinya, ada karakter yang hanya bisa dijumpai dalam buku-buku (sastra) kuno. Faktor-faktor ini yang menyebabkan hasil penelitian mengenai jumlah karakter Han Zi berbeda-beda.
Namun, menurut Liu Yan Juan, dosen linguistik di Universitas Heilongjiang yang saya temui baru-baru ini, pengajar bahasa China biasanya menguasai tidak kurang dari enam ribu karakter Han Zi. Jumlah ini bisa berbeda bagi masyarakat awam, atau pegawai di pemerintahan. Tetapi, yang jelas, masyarakat terpelajar di China rata-rata bisa mengenali ribuan bentuk karakter atau huruf yang berbeda.
Bisa kita bayangkan, untuk terbebas dari identifikasi sebagai masyarakat yang illiteracy (buta aksara) saja, mereka (masyarakat China) harus menghafal begitu banyak jenis huruf. Bandingkan dengan masyarakat kita di Indonesia. Cukup dengan menghafal 26 (dua puluh enam) jenis huruf, maka kita sudah bisa disebut sebagai masyarakat literate (yang bisa membaca dan menulis).
Selain jumlahnya yang mencapai ribuan dan bahkan hingga puluhan ribu, bentuk huruf Han Zi unik dan rumit. Di sana, misalnya, terdapat karakter yang bentuknya tersusun dari sepuluh goresan, bahkan lebih. Unik, bukan?
Menurut saya, Han Zi lebih tepat disebut sebagai simbol, bukan sebagai huruf. Meskipun cukup rumit menjelaskan hal ini, saya akan singgung sedikit. Karakter ‘dian’ (电), misalnya, memiliki arti dasar ‘listrik’. Maka, setiap perabot yang memiliki unsur listrik akan terdiri dari ‘dian’. Contohnya, ‘dianhua’ (电话) berarti telefon, ‘diannao’ (电脑) berarti komputer, ‘dianshi’ (电视) berarti televisi, dan seterusnya.
Bagaimana pengguna Han Zi bisa mempelajari atau mengingatnya dengan baik?
Saya menandai, orang China secara serius mengenalkan Han Zi kepada anak-anaknya. Dalam berbagai kesempatan saya menyaksikan para orangtua mengajari putra-putrinya menghafal Han Zi. Tidak hanya di rumah, di sela-sela beraktivitas mereka menyempatkan diri untuk mengajari anaknya, misalnya di dalam bus menuju ke sekolah dan lainnya. Tentu pembelajaran yang lebih intens dan mendalam dilakukan di sekolah.
Huruf Han Zi sebanyak itu dipelajari anak-anak di China sejak mereka duduk di bangku sekolah dasar hingga menengah. Kesimpulannya, Han Zi dihafal bersamaan dengan waktu mempelajari istilah dalam kehidupan sosial dan bidang keilmuan.
Kalau di Indonesia pengetahuan orang berkembang seiring dengan tingkat pendidikannya, maka di China pengetahuan orang berkembang seiring dengan tingkat pendidikan dan bersamaan itu pula mereka mengoleksi perbendaharaan karakter Han Zi yang lebih banyak.
Apa yang bisa kita ambil sebagai pelajaran dari kebudayaan masyarakat China ini?
Pertama, orang China sudah terbiasa menyelesaikan pekerjaan yang rumit-rumit. Menghafal huruf saja hingga ribuan. Kelak, ketika mereka berhadapan dengan tantangan dalam dunia bisnis dan persaingan global, mereka sudah memiliki bekal berupa kebiasaan mengerjakan pekerjaan rumit.
Kedua, masyarakat China berkesimpulan bahwa dalam hidup kita memang harus mau kerja keras. Tanpa kerja keras, kita akan tergilas oleh lingkungan kita sendiri. Kita akan jadi penonton dan dikalahkan oleh persaingan. Maka, tidak ada pilihan lain, kalau mau hidup berkecukupan kita harus bekerja dengan sangat keras.
Sampai di sini saya teringat dengan kalam Tuhan yang—dalam pemahaman saya—mengajarkan kepada kita semua, bahwa bersamaan dengan kesulitan itu terdapat kemudahan (QS. Al-Insyirah/94: 6). Masyarakat yang bersedia menempuh kesulitan (bekerja keras) dalam memenuhi kebutuhan hidup, sadar atau tidak mereka telah memiliki energi lebih dalam menghadapi tantangan hidup. Ini makna bersamaan dengan kesulitan terdapat kemudahan.
Dewasa ini, para analis memprediksi kekuatan China bakal mengejar hegemoni Amerika, baik dalam bidang militer, ekonomi, maupun teknologi. Dalam teori sosiologi, ketangguhan masyarakat China berawal dari budaya etos kerja yang tinggi. Etos kerja dibentuk oleh cara-cara mereka dalam menghadapi tantangan kehidupan.
Kaum muda Indonesia patut merenungi segala kemudahan yang selama ini kita miliki. Bangsa Indonesia memiliki hampir semua yang tak dimiliki bangsa lain di dunia. Sumber daya alam yang melimpah berupa tambang minyak, emas, timah, batubara, dan lain sebagainya. Kondisi alamnya indah, nyaman sepanjang tahun. Lautan raya membentang dengan pantainya yang mengundang datang.
Pertanyaannya, kalau seluruh kemewahan dunia sudah diturunkan di bumi Indonesia, mengapa kita masih menjadi bangsa buruh. Kalau kita mengaca kepada kebiasaan bangsa China, maka anugerah Tuhan yang melimpah tidak berarti bila manusianya tidak bersyukur dan dengan bekerja keras mengelolanya. Semua kembali kepada kerja keras kita.