Ungkapan Satia Prihatin Zein bahwa guru cenderung masih sebagai profesi, dan bukan identitas, adalah benar. Guru bukan pengabdian, tetapi pekerjaan. Menjadi guru pun bukan menjadi abdi, apalagi menjadi teladan. Menjadi guru adalah menjadi pekerja. Imbasnya, mental guru kita menjadi mental pekerja, bahkan mental kuli.
Ini benar-benar terlihat dari fakta berkali-kali dalam pendidikan kita. Setiap kali kita merayakan evaluasi, terutama ujian nasional, misalnya, sebenarnya yang diuji bukan hanya siswa, tetapi juga guru. Alih-alih panggung siswa, ini juga panggung guru.
Jadi, tak salah kalau kita menyebut bahwa Ujian Nasional (UN) hanyalah pementasan drama kolosal. Tak salah pula kalau kita menyebut para guru adalah pemain teater yang andal. Seperti kita tahu, pada dunia teater, pelakon bukan menjadi dirinya. Pelakon harus menyembunyikan dirinya jauh di balik tokoh yang dilakonkan.
Ini persis seperti dibeberkan Erving Goffman dalam karyanya, Presentation of Self in Everyday Life, bahwa di belakang panggung, seseorang dibolehkan menjadi dirinya. Tetapi, di depan panggung, seseorang harus memakai topeng. Ini demi kesuksesan penampilan yang memang hanya diperoleh melalui tepuk tangan penonton.
Dunia teater sangat sadis. Kalau sang aktor tak berhasil mengeluarkan dirinya demi memasukkan roh tokoh yang akan dilakonkan, pementasan pasti akan gagal. Teriakan penolakan dari penonton akan berlontaran. Biaya produksi bisa lebih besar daripada pendapatan.
Aktor profesional tentu tak mau gagal. Kegagalan ibarat deposit untuk kematian. Karena itu, sang aktor sering kali menggunakan profesionalisme sebagai alasan untuk tampil vulgar, binal, bahkan brutal. Apa pun dilakukan demi tepuk tangan penonton karena di balik tepuk tangan itulah tabungan pendapatan.
Ini Dunia Teater
Tak boleh tidak, aktor harus maksimal. Maksimal dalam pengertian bahwa penonton tak perlu tahu apakah tepuk tangan itu menyembunyikan sesuatu dari sang aktor. Semangatnya hanya satu: aktor harus keluar dari dirinya. Kurang lebih begitulah guru kita saat ini.
Setelah memasuki gerbang sekolah, autentisitas guru akan hilang. Guru menjadi aktor. Jika seseharinya seorang adalah orang keras, di ruang kelas, seseorang itu harus lembut. Jika seseharinya jujur, di depan murid-muridnya, seseorang itu harus menjadi pembohong. Bahkan, jika seseharinya adalah penjahat, di lingkungan sekolah, seseorang itu harus berpura-pura menjadi orang baik.
Inilah sandiwara: penuh dengan kepura-puraan. Karena itu, mari tak usah heran ketika dari tahun ke tahun Ujian Nasional dikabarkan penuh kecurangan, sebab para punggawa di bidang pendidikan hanya bermain peran.
Mereka hanya berpura-pura. Mereka akan menyampaikan dialog-dialog yang sudah ditata. Diumumkanlah kemudian bahwa kecurangan itu hanya hoaks. Mereka tak peduli pada fakta bahwa pendidikan kita belum merata. Di pelosok, misalnya, masih banyak sekolah beratap langit yang kekurangan guru dan buku. Sementara di perkotaan, sekolah sudah ibarat mal. Ada wifi, guru bertitel tinggi, dan masih banyak lagi.
Mereka juga akan abai pada kenyataan bahwa di pelosok, siswa biasanya tanpa seleksi. Selekas sekolah, para siswa itu bahkan akan menjadi mesin ekonomi keluarga dengan pergi ke sawah atau ladang.
Sementara itu, di perkotaan, siswa umumnya sudah diseleksi dengan ketat. Selekas sekolah, para siswa tersebut masih belajar lagi di bimbel-bimbel. Namun, ketika UN tiba, hasil antara kedua kategori siswa ini—antara kota dan pelosok—kurang lebih akan sama. Tak ada perbedaan signifikan. Semestinya akal sehat kita menanggapi ini dengan sebuah pertanyaan dan kecurigaan besar.
Tetapi, lagi-lagi ini hanya dunia teater. Yang tak mungkin menjadi mungkin akan membuat penonton terkagum-kagum, bukan terheran-heran, apalagi curiga. Ibarat menonton film beralur kompleks, penonton akan terpuaskan dengan berkata: wah, sungguh tak kusangka kisah itu akan berakhir demikian.
Dalam dunia sekolah, kita sejatinya tak menduga siswa akan lulus 100 persen pada posisi masih banyak ketimpangan. Namun, pada dongeng UN, itu akan terjadi karena punggawa departemen pendidikan bekerja sesuai perannya.
Guru pengawas akan berperan menjadi orang yang tak peduli pada siswa yang saling menyontek. Pemerintah akan berperan menjadi orang pura-pura tak tahu pada berita. Masih banyak peran-peran lainnya.
Menyahuti itu, beberapa masyarakat memang berteriak lantang. Tetapi, teriakan itu akan dianggap menjadi peran antagonis, bahkan figuran. Sebagai antagonis, mereka akan dibungkam. Karena itu, pada beberapa kasus, masyarakat tak jarang malah diolah menjadi latar pementasan: tak hidup. Jadi, meski berteriak, latar (masyarakat) itu akan dianggap mati, diabaikan begitu saja.
Inilah drama kolosal. Persiapannya sangat ciamik. Perkakasnya terukur, alat riasnya menawan, tata panggungnya juga memukau. Wajar karena biaya produksinya hampir seperempat APBN.
Muakkah Anda?
Selekas pertunjukan itu, jangan pikir pementasan sudah selesai. Ini hanya pindah panggung, bukankah ini drama kolosal? Sang aktor akan mengadakan konfrensi pers dengan topeng baru. Mereka masih memakai apa yang disebut Kobo Abe (1924-1993) dalam novelnya yang berjudul, The Face, yaitu wajah buatan. Wajah yang bisa berkeringat, tumbuh jerawat, seperti wajah kebanyakan.
Wajah ini dibuat untuk menggantikan wajah lain atau membuat identitas lain. Jadi, jika wajah adalah pertanda identitas, mereka ini bukan anonim. Mereka hanya bertukar identitas dan peran.
Tetapi, ini bukan drama biasa. Segala kecurangan akan disebut sebagai anonim: hoaks. Masyarakat pun akan puas. Tiket pertunjukan berupa uang sekolah, uang buku, uang pendaftaran, uang pembangunan, dan kutipan-kutipan lainnya berhasil sudah.
Emosi siswa bisa diarahkan. Siswa bahkan bisa dibawa ke alur cerita, malah secara tak sadar juga ikut menjadi pemeran. Berpura-bura jujur, berpura-pura tak tahu. Sungguh, ini keberhasilan pentas yang luar biasa. Bukankah keberhasilan sebuah pementasan adalah ketika penonton terbawa emosi?
Ya, tak salah lagi bahwa sekolah kita adalah pentas mini untuk pentas kolosal di akhir tahun ajaran. Manakala datang ke sekolah, siswa sebenarnya sedang berlatih melafalkan kata-kata yang sudah dititahkan. Buktinya, jika selama ini di sekolah dipelajari kerukunan, maka itu akan tinggal di sekolah, dunia panggung. Dunia nyata akan penuh kericuhan dan pertengkaran, jauh dari kerukunan.
Kita tak tahu, kapan dunia peran ini akan berakhir. Cerita di dalamnya penuh dusta dan kebobrokan, tetapi tanpa dusta dan kebobrokan, mungkinkah kita menikmati sebuah pertunjukan? Jadi, ya sudah, mari nikmatilah drama ini. Muakkkah Anda?
Kolom terkait:
Ketika Kita Silau dengan Ujian Nasional dan “Angka”
Moratorium Ujian Nasional, Kenapa Tidak?
Menuju Pendidikan yang Memerdekakan
Hari Guru Nasional, Antara Etos dan Problematika Pendidikan
Perlukah Perubahan Orientasi Kurikulum Pendidikan di Indonesia?