Integritas akademik saat ini berada pada titik nadir. Sungguh memprihatinkan. Pernyataan ini bukannya mengada-ada. Puluhan perguruan tinggi di Tanah Air disinyalir telah melakukan praktik jual-beli ijazah, sengaja melakukan pembiaran terjadinya plagiarisme, dan bahkan ada pimpinan perguruan tinggi yang diduga melakukan praktik curang dalam penyetaraan ijazah doktor dan pengajuan pangkat guru besarnya.
Hasil rekomendasi Ombudsman Republik Indonesia (ORI) belum lama ini, misalnya, menyarankan perlunya peninjauan kembali posisi Paulina Amalia Runtuwene sebagai Rektor Universitas Negeri Manado terkait maladministrasi penyetaraan ijazah doktor dan pengangkatan guru besar yang bersangkutan. Kasus yang sama ditengarai juga terjadi di sejumlah perguruan tinggi lain.
Dewasa ini, integritas akademik bukan hanya telah tercoreng, tetapi sepertinya juga telah tergadaikan. Integrasi akademik di sini pada dasarnya berkaitan dengan tindakan yang mengacu pada nilai kejujuran, kepercayaan, keadilan, kehormatan, keberanian, tanggung jawab dalam proses pembelajaran, pengajaran, dan penelitian.
Lebih dari sekadar persoalan plagiarisme, mencontek, kolusi, pemalsuan, yang dimaksudkan dengan integritas akademik adalah persoalan harga diri dan transparansi dunia kampus yang benar-benar akuntabel.
Seseorang akademisi yang tidak memiliki harga diri bukan tidak mungkin tergelincir memalsukan ijazah, plagiarisme, dan berbagai praktik curang lainnya sekadar untuk mengejar reputasi palsu. Kasus yang terjadi di Universitas Negeri Manado dan Universitas Negeri Jakarta, misalnya, adalah salah satu bukti bagaimana dunia kampus yang terhormat ternyata kalah oleh kepentingan politik dan ekonomi.
Dari hasil kerja dan penyelidikan tim Evaluasi Kinerja Akademik (EKA) dari Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi di berbagai universitas selama dua tahun terakhir menemukan indikasi terjadinya plagiarisme atau penjiplakan yang sedemikian sistematis dan masif karya tesis dan disertasi di puluhan kampus di Indonesia. Dunia kampus yang seharusnya menegakkan marwah akademik yang reputatif, justru tidak jarang menjadi bagian dari proses memproduksi lulusan yang kualitasnya meragukan.
Ada sejumlah faktor yang menyebabkan dunia kampus tergelincir melakukan praktik yang memalukan ini. Pertama, di masyarakat masih berkembang pandangan bahwa kehormatan akademik bisa diraih dengan cara instan. Seorang pejabat yang ingin tampil moncer, terhomat dan dipandang berpendidikan tinggi, umumnya tidak segan mengeluarkan biaya ekstra, yang penting gelar ada dalam genggaman.
Meski proses perkuliahan yang dijalani jauh dari logis, yang penting mereka dapat lulus secepatnya, diwisuda, dan kemudian menyandang gelar doktor dari perguruan tinggi tertentu yang mau dan mampu mereka beli kerhormatannya.
Sejumlah pejabat di Sulawesi Tenggara yang menempuh kuliah program doktor di Universitas Negeri Jakarta, misalnya, ditengarai dengan sengaja telah melakukan praktik plagiarisme untuk mengejar gelar doktor dan kehormatan masyarakat.
Kedua, proses komersialisasi dan kepentingan politik praktis yang mengintervensi dunia kampus mengakibatkan integritas akademik menjadi nomor kesekian. Di sejumlah perguruan tinggi, proses perkulihan ditengarai sering berjalan tidak sebagaimana mestinya. Absensi mahasiswa yang dimanipulasi, tanda tangan yang tidak lazim, karya disertasi yang dikerjakan hanya dalam hitungan hari, dan berbagai pelanggaran lain seringkali dibiarkan begitu saja, karena pihak kampus menggadaikan kehormatannya.
Kepentingan oknum pejabat kampus untuk mendapatkan kompensiasi ekonomi dan relasi politik menyebabkan proses belajar-mengajar akhirnya berjalan secara transaksional.
Ketiga, akibat ulah sejumlah orang kuat atau pejabat lembaga negara yang melakukan aksi kongkalikong dengan sejumlah oknum guru besar dan pimpinan perguruan tinggi untuk menyelingkuhi proses belajar-mengajar yang tidak pada tempatnya. Alih-alih membimbing peserta program doktor dengan benar untuk dapat menghasilkan disertasi berkualitas, dalam praktik yang terjadi adalah proses pembiaran plagiarisme yang benar-benar memiriskan hati.
Salah satu rektor PTN yang bergelar guru besar ditengarai dalam satu tahun mampu membimbing dan meluluskan seratus lebih mahasiswa S3 bimbingannya. Padahal, menurut ketentuan, seorang promotor hanya diperkenankan membimbing maksimal 10 mahasiswa S3 hingga lulus.
Perlu Sanksi Tegas
Praktik lancung yang menciderai marwah dunia kampus, selain memalukan, tentu membutuhkan tindakan tegas dari Kementerian Ristek dan Dikti agar kasus yang sama tidak makin meruyak.
Membentuk tim investigasi dan mengumumkan secara terbuka hasil temuan mereka adalah langkah pertama yang sudah seharusnya dilakukan.
Tetapi, lebih dari itu, tahap terpenting setelah tim investigasi melaporkan temuannya adalah perlunya sikap tegas Kementerian Ristek dan Dikti untuk memberikan sanksi yang setimpal, mulai dari pencabutan gelar, pencopotan jabatan struktural dan jabatan akademik dari para guru besar yang terlibat dalam praktik pembiaran, dan jika perlu melaporkan pihak-pihak yang terlibat ke aparat penegak hukum untuk diproses lebih lanjut.
Tindakan tegas ini perlu dilakukan, sebab jumlah kasus plagiarisme dan praktik jual-beli ijazah doktor secara terselubung ditengarai telah berjalan begitu massif. Membiarkan praktik curang yang menciderai reputasi akademik terjadi berlarut-larut, selain akan mengancam integritas dunia akademik, juga dikhawatirkan akan berpotensi melahirkan krisis kepercayaan masyarakat terhadap dunia perguruan tinggi.
Pengalaman telah banyak membuktikan bahwa praktik curang di dunia akademik ini ternyata banyak melibatkan para pejabat kampus, dan pejabat negara yang seharusnya menjadi suri tauladan masyarakat. Melihat level praktik curang di dunia kampus yang sudah begitu mengakar, tentu yang dilakukan tidak akan cukup hanya dengan surat teguran atau peringatan keras saja.
Pendeknya, Kementerian Ristik dan Dikti sebagai lembaga yang bertanggung jawab melakukan pengawasan dan pembinaan terhadap kualitas akademik seluruh perguruan tinggi di Indonesia harus secepatnya mengambil tindakan tegas demi meluruskan dan mengembalikan marwah dunia kampus pada tempatnya semula.
Kolom terkait:
Maaf Afi dan Kesombongan Intelektual