Selasa, Oktober 15, 2024

Balada Beasiswa Kitab Suci: Dari Nabi hingga Jokowi

Aan Anshori
Aan Anshori
Kordinator Jaringan Islam Antidiskriminasi (JIAD), aktifis GUSDURian.

Setelah bocor di media sosial, surat usulan yang ditandatangani Dekan Fakultas Ekonomi Bisnis Universitas Gadjah Mada (UGM) ditolak rektorat. Surat FEB dengan Nomor 5447/UNI/EB/KL/2017  berisi kesediaan fakultas tersebut menerima mahasiswa baru bibit unggul untuk jalur yang agak unik: Seni Baca dan Hafal Kitab Suci.

Mungkin UGM adalah satu-sarunya Perguruan Tinggi Negeri (PTN) yang berani tidak meloloskan beasiswa yang sarat dengan kepentingan kelompok agama tertentu, yakni Islam. Dalam siaran persnya, tanpa tanggal, Humas UGM menginformasikan pimpinan UGM menolak usulan FEB.

Dengan santun pimpinan kampus Bulaksumur ini menyatakan, “Sebagai kampus nasional, UGM terbuka bagi siapa pun anak bangsa yang berprestasi dan berasal dari berbagai kalangan maupun latar belakang. Dalam pelaksanaan Tridharma Perguruan Tinggi, UGM selalu berlandaskan pada Pancasila, UUD NRI 1945, dan kebudayaan Indonesia. Landasan inilah yang melatarbelakangi proses penerimaan mahasiswa baru UGM.”

Ketegasan pesan dari UGM yang tidak ingin kampusnya diinfiltrasi kebijakan sektarian agama ini patut diapresiasi. Di Universitas Negeri Surakarta (UNS) Solo, program beasiswa penghafal al-Qur’an bahkan telah diinisiasi sejak tahun 2012, sebagaimana pengakuan Ravik Karsidi kepada merdeka.com (19/3/2013).

“Ini bentuk apresiasi kepada penghafal al-Quran. Ada 8 siswa yang kami terima, 2011 ada tiga siswa, 2012 ada lima. Mereka masing-masing di Fakultas Kedokteran, Fakultas Ekonomi, dan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik,” ujarnya.

Bahkan, di Universitas Negeri Makassar, para penghafal al-Quran akan dimanjakan dengan fasilitas bebas tes masuk. “Kami sedang mengusulkan kepada Kemenristekdikti di tahun 2018 untuk bebas tes bagi mahasiswa yang menghafal al-Quran, naskah akademiknya sedang kami susun,” ujar Rektor Prof. Husain Syam sebagaimana dikutip dari situs sulselsatu.com (19/8/2017).

Nampaknya, Kementrian Riset dan Pendidikan Tinggi tengah bersemangat bereksperimentasi dalam pemberian beasiswa unik ini. Menurut situs edupost.id, sejak Maret 2016 lalu, terdapat program Beasiswa Tahfidz al-Quran (BTQ) for leader di 23 perguruan tinggi negeri favorit di Indonesia.

Jumlah PTN ini belum termasuk ratusan perguruan tinggi swasta yang ada di bawah Kementerian Agama. Kementerian ini secara konsisten mengobral beasiswa bagi penghafal al-Quran hingga tahun ini.

Obral kenikmatan dalam bentuk lain terjadi di Jawa Timur. Para penghafal al-Quran di provinsi ini  jumlahnya mencapai lebih dari 8.000 orang. Sejak 2015, duet Soekarwo-Saifullah Yusuf telah mengalokasi miliaran di APBD Provinsi Jawa Timur untuk menggaji mereka. Untuk tahun ini, dana yang dialokasikan mencapai Rp 18 miliar. Insentif ini belum termasuk anggaran tambahan yang dialokasikan tersendiri di APBD kabupaten/kota untuk mereka, seperti di Jombang, Sidoarjo, Gresik, dan daerah lain.

Ada Nabi

Antusiasme dua kementerian dan kepala daerah ini tak pelak memantik tanda tanya tersendiri di kalangan sebagian besar warga, terutama non-muslim. Misalnya, sejauhmana aspek hafalan kitab suci berkontribusi secara langsung terhadap aspek kognisi, afeksi, dan psikomotorik yang dibutuhkan seorang akademisi. Atau, bukankah kebijakan tersebut sangat terasa menggedor rasa keadilan agama lain?

Jika demikian, kenapa birokrat pengusung beasiswa dan insentif ini–pastinya seorang Muslim-terdidik dan Pancasilais–dengan heroik menabrak dua hal penting di atas?

Saya bisa katakan sikap tersebut merupakan konsekuensi logis didikan normatif sebagai seorang Muslim; meletakkan penghafal al-Quran beberapa level lebih tinggi dari awam (yang tidak hafal).

Meski pengutamaan ini tidak tersebat eksplisit dalam al-Quran, namun hal itu ditemukan dalam banyak hadits. Misalnya, para penghafal al-Quran dianggap paling pantas menjadi imam salat–sebagimana diriwayatkan Sahih al-Bukhari #660, Sahih Muslim #1564, Musnad Ahmad #17526.

Cerita lain, sebagaimana dicatat dalam Jami’ al-Tirmidhy 45:3116, dalam sebuah peperangan, Nabi dikabarkan pernah menyuruh laki-laki termuda dalam pasukan untuk menjadi pemimpin. Gara-garanya, laki-laki tersebut hafal al-Baqarah dan beberapa yang lain.

Para penghafal al-Quran, menurut Nabi Muhammad seperti direkam dalam Sunan ibn Majah 1:221, juga dijamin akan bisa menyelamatkan 10 keluarganya dari api neraka. Ibnu Abbas, dalam Riyadl al-Shalihin 9:1000, pernah mengatakan siapa saja yang tidak menghafal sedikit pun al-Quran, maka ia laksana rumah yang roboh.

Saya kira, mudahnya pemimpin publik menganakemaskan penghafal al-Quran sangat mungkin juga dipengaruhi oleh cerita duka meninggalnya banyak sahabat Nabi penghafal al-Quran dalam sejarah Islam awal akibat perang Yamama (Sahih al-Bukhari 65:4679). Situasi itu terjadi jauh sebelum al-Quran terkompilasi sebagaimana sekarang, dan mendorong Umar bin Khattab untuk mengkodifikasikannya (Fath al-Bari v.9 p.22).

Ada aroma kuat, kebijakan beasiswa penghafal al-Quran dilakukan dalam semangat mengapresiasi memori masa lalu di atas–semacam keinginan membayar hutang agar dianggap lebih otentik sebagai Muslim. Memang, menghafal al-Quran membutuhkan kesabaran dan juga ketelatenan luar biasa, namun yang perlu dipertimbangkan adalah kualitas akan hafalan tersebut.

Saya meyakini para hafidz masa Islam awal tidak hanya sekadar hafal, namun juga memahami isi dan juga konteks pewahyuannya.

Al-Qamah, sahabat Nabi, sebagaimana dicatat dalam Sahih Muslim 46, pernah dengan bangga menyatakan  berhasil menghafal al-Quran dalam 2 tahun. Mendengar hal itu, al-Harits menimpali, “Menghafal itu mudah, yang sulit justru (memahami) pewahyuannya,”

Hadits tersebut juga merujuk pada sosok Ali yang dalam konteks keilmuan sangat diakui reputasinya. Nabi pernah berkata, “Aku adalah pintu keilmuan, sedangkan Ali merupakan kuncinya.” Menurut saya, kunci menghafal kitab suci terletak pada sejauhmana seseorang memahami konteks ayat per ayat, bukan sekadar menghafal saja, apalagi tanpa tahu artinya.

Ada Jokowi

Jika demikian, lantas kenapa Jokowi membiarkan beasiswa dan insentif yang baik namun tidak tepat ini berlaku? Dikatakan “baik” karena kebijakan ini menstimulasi individu berkemampuan tertentu agar bisa mengenyam pendidikan lebih tinggi–sebagaimana yang biasa terjadi pada jalur prestasi lain.

Sungguhpun demikian, stimulasi ini tidak tepat karena negara menganakemaskan (state-favouritism) agama tertentu, dalam hal ini Islam. Kecenderungan ini, sungguhpun terasa wajar karena faktor psikologis, merupakan hal yang perlu dihindari dalam kehidupan Indonesia yang plural. Bisakah dibayangkan, misalnya, betapa terlukanya warga non-Kristen jika wali kota Manado, mengeluarkan kebijakan yang lebih memihak kelompok Kristen?

Saya menduga kuat Jokowi tidak punya banyak pilihan kecuali membiarkan beasiswa dan insentif ini dengan kalkulasi politik tertentu. Kita tahu, pemerintahannya saat ini tengah diusik kelompok Islam ideologis–yakni barisan sakit hati yang memendam keinginan kuat mengubah NKRI menjadi negara Islam sejak lama.

Untuk menghadapi ini, salah satu sekutu terkuat Jokowi adalah Nahdlatul Ulama  dan seluruh komponen di dalamnya. NU yang saat ini berstatus dwi tunggal dengan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) merasa perlu mendapatkan dukungan untuk memperkuat basisnya: pesantren.

Hadiah Hari Santri dan berbagai perhatian Jokowi kepada pondok pesantren bisa dianggap sebagai salah satu bentuk “balas budi”–tidak terkecuali dengan gelontoran beasiswa penghafal al-Quran ini.

Jokowi juga layak berharap, kebijakan beasiswa penghafal al-Quran ini sekaligus bisa diintegrasikan dengan proyek besar revolusi mental dengan sasaran kelompok santri. Dalam urusan revolusi mental ini, harus diakui, pemerintah Jokowi sendiri terlihat tidak punya banyak pilihan, terutama yang menyasar sektor pendidikan. Sektor ini mempunyai posisi krusial dalam menginseminasi nilai-nilai toleransi, yang sayangnya hingga saat ini masih dimenangkan secara mutlak oleh faksi Islam ideologis.

Hasil survei Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat UIN Syarif Hidayatullah terhadap 300-an guru pendidikan agama Islam di 11 kabupaten/kota pertengahan 2016 menunjukkan semakin menguatnya intoleransi terhadap non-muslim. Meski hingga saat ini belum ada survei serupa yang dicobakan di pesantren, keyakinan saya menyatakan hasilnya akan kurang lebih sama, bahkan mungkin lebih parah.

Walhasil, kesimpulan saya, beasiswa ini merupakan bagian dari kelanjutan proyek mainstreaming santri agar bisa mendapat pendidikan yang lebih tinggi. Proyek ini sejujurnya menyimpan berbagai masalah serius.

Pertama, kebijakan ini sarat penganakemasan agama tertentu, yang berpotensi merobek rasa keadilan kelompok non-muslim.

Kedua, upaya pemberian privilege ini sekaligus berpeluang besar ditunggangi dua anasir kekuatan Islam Ideologis; baik yang ada di internal maupun eksternal NU. Jika dipaksakan tanpa dibarengi penguatan pemahaman nilai-nilai pluralisme, yang terjadi justru akan mengentalkan radikalisme di kampus-kampus.

Ketiga, beasiswa ini adalah produk investasi politik yang sarat kepentingan. Karenanya, dalam jangka pendek, investor politiknya sudah pasti akan berupaya menagih bunga politik saat terjadi perhelatan politik elektoral di tingkat lokal, regional maupun nasional. Maka, yang terjadi justru politisasi santri.

Karena itu, kebijakan ini harus ditinjau ulang. Bukan karena konten kebijakannya yang salah, namun lebih pada ketidakbenaran pelaksanaannya. Bagaimanapun juga, tujuan yang baik harus dilakukan dengan cara yang baik pula, sebagaimana kaidah fiqh, Lil wasail hukmu al-maqashid.

Baca juga:

Dalam NKRI Tak Ada Orang Kafir!

Umat Kristiani Itu Kaum Beriman, Bukan Kafir

HTI, Yahudi Madinah, dan Perongrong Negara Kesepakatan

Khilafah itu Institusi Politik, Bukan Agama!

HTI dan Khilafah itu Produk Politik

Aan Anshori
Aan Anshori
Kordinator Jaringan Islam Antidiskriminasi (JIAD), aktifis GUSDURian.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.