Dampak Covid-19 sangat luas, menguncang semua sektor kehidupan, tidak terkecuali sektor pendidikan. Banyak persoalan muncul, mulai dari banyaknya mahasiswa yang terancam tidak dapat melanjutkan kuliah karena ketiadaan biaya akibat menurun atau bahkan hilangnya penghasilan orang tua mereka, sampai kegelisahan pihak perguruan tinggi, baik negeri maupun swasta, untuk memenuhi kebutuhan operasionalnya agar bisa bertahan dan bangkit kembali dalam situasi yang tidak menentu dan tidak tahu kapan akan berakhir.
Di tengah kegelisahan tersebut, sejumlah mahasiswa yang tergabung dalam aliansi gerakan mahasiswa Jakarta bersatu melakukan demonstarsi di banyak tempat, termasuk di depan gerbang Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI. Aksi itu menuntut adanya keringanan atau bahkan penghapusan uang tunggal kuliah (UKT) di perguruan tinggi.
Sepintas apa yang dilakukan mahasiswa tersebut sesuatu yang wajar sebagai cara penyaluran aspirasi di sebuah negara demokrasi. Apalagi saat ini, perekonomian sedang terpuruk akibat dampak Covid-19. Jumlah pengangguran dan angka kemiskinan meningkat yang mengakibatkan daya beli masyarakat berkurang. Jangankan untuk memenuhi biaya pendidikan, bahkan untuk memenuhi kebutuhan primer (pangan dan papan) pun tidak mudah.
Namun, aksi mahasiswa itu cukup mengkhawatirkan karena dilakukan di saat status pandemi Covid-19 secara nasional belum menunjukkan tanda-tanda penurunan. Setiap hari, Gugus Tugas Covid-19 selalu melaporkan penambahan kasus yang menunjukkan kenaikan. Melihat kondisi semacam ini, aksi berkumpul secara massal dalam satu tempat sangat rentan terpapar virus corona. Apalagi kalau kita perhatikan, dalam aksi, protokol kesehatan tidak sepenuhnya dijalankan. Banyak yang tidak memakai masker dan tidak menjaga jarak.
Padahal, menurut riset yang pernah penulis lakukan, pengabaian protokol kesehatan di era pandemi menjadi bukti kurangnya rasa nasionalisme, kurang peka terhadap nasib bangsa yang sedang fokus pada penanganan dampak Covid-19 .
Sudah ada kebijakan yang adaftif untuk UKT, dengan pengurangan dan penyesuaian. Jika UKT mutlak dikurangi, apalagi dihapuskan, akan banyak perguruan tinggi yang gulung tikar, yang sebagian besar penopang hidupnya dari biaya UKT.
Berdasarkan data Badan Pusat statistika (BPS) tahun 2015, terdapat 121 Perguruan Tinggi Negeri (PTN) dan 3.104 Perguruan Tinggi Swasta (PTS) di seluruh Indonesia. Dengan jumlah mahasiswa sebesar 1.958.111 orang di PTN dan 3.938.308 orang di PTS. Pada tahun 2018 berdasarkan data Kemenristekdikti, jumlahnya meningkat, 122 PTN dan 3.136 PTS. Keberlangsungan hidup PTN maupun PTS, selain dari alokasi anggaran APBN, juga dari pungutan UKT.
Perbedaan antara PTN dan PTS ada pada struktur dan skema pembiayaan. Pembiayaan PTN berasal dari APBN dan UKT. Sedangkan pembiayaan PTS sepenuhnya menjadi tanggung jawab perguruan tinggi yang bersangkutan. Pemerintah hanya bertugas sebagai pengawas dan pemberi ketentuan kurikurum dalam proses pembelajaran dengan undang-undang yang berlaku. 95% biaya operasional PTS berasal dari uang kuliah yang dibebankan kepada mahasiswa.
Apabila mahaisiswa PTN melalui demostrasi yang marak digelar menuntut pengurangan biaya UKT sampai 50% bahkan digratiskan dengan dibebankan pada pemerinatah, tentu akan menimbulkan kecemburuan pada mahasiswa PTS. Mahasiswa PTS juga akan menuntut hal yang sama. Dan bila itu terjadi, akan sangat berdampak pada keberlangsungan hidup PTS yang tentunya akan berdampak pula pada ribuan mahasiswanya yang tidak memiliki akses ke PTN karena keterbatasan daya tampung.
Saat ini saja sudah banyak PTS yang kesulitan membayarkan gaji dan tunjangan dosen dan tenaga kependidikan untuk beberapa bulan ke depan. Bahkan sebagian mungkin sudah melakukan pemotongan gaji, atau meminjam pada pihak ketiga untuk menjamin kelangsungan hidupnya.
Untuk itu, semua pihak seyogianya saling berkomunikasi, berkoordinasi, agar bisa secara jernih memikirkan masalah pendidikan dari segala aspek, karena semuanya saat ini saling terhubung dan terkait satu sama lain dan sama-sama terkena dampak pandemi covid-19.
Dari sisi mahasiswa, berkurangnya penghasilan orang tua akan mempengaruhi kelangsungan kuliahnya, demikian juga dari sisi perguruan tinggi ketidakmampuan mahasiswa untuk memenuhi kewajiban uang kuliahnya akan mempengaruhi perguruan tinggi dalam mempertahankan kelangsungan hidupnya.
Dari sisi pemerintah, karena pandemi, pertumbuhan ekonomi yang sudah dirancang sebelumnya tidak dapat direalisasikan. Di tengah keterbatasan anggaran, tuntutan dari berbagai pihak agar pemerintah lebih proaktif memberikan stimulus bantuan bagi mahasiswa maupun perguruan tinggi, belum sepenuhnuya bisa dilakukan. Setidaknya, Kemendikbud sudah mengeluarkan beberapa kebijakan penyesuaian terkait UKT. Ada kebijakan relaksasi, dari cicilan, penundaan, penurunan, dan beasiswa.
Mahasiswa dapat mencicil UKT tanpa bunga (bunga 0%); atau menunda pembayaran UKT dengan tanggal pembayaran disesuaikan kemampuan ekonominya. Mahasiswa juga dapat mengajukan penurunan biaya dan jumlah UKT baru disesuaikan dengan kemampuan ekonomi mahasiswa. Dan semua mahasiswa berhak mengajukan diri untuk beasiswa Kartu Indonesia Pintar (KIP) atau skema beasiswa lain yang disediakan perguruan tinggi dan kriteria penerimaan sesuai ketentuan program beasiswa yang berlaku. Di samping itu ada bantuan infrastruktur. Mahasiswa dapat mengajukan bantuan dana untuk jaringan internet dan pulsa.
Kita tahu, di masa normal pun banyak warga negara (orang tua) yang tidak mampu menyekolahkan anaknya hingga perguruan tinggi, apalagi di masa pandemi Covid-19. Hal yang sama juga terjadi pada negara (pemerintah). Pada kondisi normal, masih banyak masalah pendidikan yang belum teratasi, apalagi di masa pandemi Covid-19.
Sesuai amanat konstitusi, tugas negara, dalam hal ini pemerintah, adalah mencerdaskan kehidupan bangsa. Tapi, dalam merealisasikannya, pemerintah tidak bisa berjalan sendirian. Bahkan di negara-negara maju sekalipun, pendidikan dijalankan oleh dua pihak sekaligus: pemerintah (untuk sekolah negeri) maupun masyarakat (untuk sekolah swasta).
Kebijakan-kebijakan afirmatif di bidang pendidikan yang telah ditempuh pemerintah merupakan upaya konkret untuk tetap membangkitkan pendidikan di tengah berbagai persoalan yang dihadapi. Apakah itu sudah cukup? Tentu saja belum.
Maka, selain memberikan kesempatan pada pemerintah untuk menjalankan kebijakan-kebijakannya, ada baiknya masyarakat juga ikut bahu membahu dalam upaya membangkitkan dunia pendidikan di tengah pandemi Covid-19.