Jika saja penyair Sapardi mengerti sedikit saja soal sepakbola, barangkali ia akan menulis: “Tak ada yang lebih tabah dari pendukung Liverpool.” Ya, itu mungkin terdengar kurang puitis, tak cukup sublim, dan pasti tak terlalu menarik para pembaca melankolis penyuka senja dan hujan. Tapi percayalah, tak ada metafora yang lebih benar dari itu. Ah, itu bahkan bukan metafora.
Dua puluh delapan tahun! Ya, 28 tahun yang kering. Itu sama panjangnya dengan umur Marco van Basten ketika ia pensiun dari sepakbola karena cedera. Itu usia Leo Messi ketika mendapatkan lima Ballon d’Or, empat trofi Liga Champions, delapan gelar La Liga, dan tato ketujuhnya. Itu dua tahun lebih lama dibanding masa bakti Sir Alex Ferguson di Manchester United, yang separuh di antaranya dilaluinya dengan merebut gelar liga (ya Tuhan, di mana keadilan?!). Itu adalah masa menunggu yang panjang, yang dihabiskan pendukung Liverpool untuk menghafal baik-baik sejarah besar klub, sebab memang hanya itu yang bisa mereka banggakan.
Oke, soal piala atau juara, tentu saja ada jutaan penggemar sepakbola di luar sana yang lebih buruk nasibnya dibanding penggemar Liverpool. Terdegradasi secara beruntun dalam dua tahun terakhir, sebagaimana yang dialami pendukung Sunderland, misalnya, jelas tak terbayangkan para Kopites. Sementara Brian Slade menulis berbuku-buku keagungan Liverpool, seorang pendukung Stoke City bernama Stephen Foster, dalam The Final (2015), sebuah memoar yang sangat bersemangat, mesti mengais-ngais kebanggaan yang sangat terbatas ketika menulis sebuah buku tentang final Piala FA satu-satunya dalam sejarah klub itu—dan tentu saja dengan akhir sedih.
Para pendukung Liverpool pasti merasa ada di nirwana jika dibanding comberan yang mesti didiami Dave Robert, pendukung Bromley FC, klub terburuk dalam sejarah sepakbola Inggris (Lihat The Bromley Boys, 2008). Bahkan, jika dibanding para tetangga mereka, Everton, yang nyaris satu-satunya sumber kesenangan mereka adalah kesengsaraan Liverpool, fans Liverpool pasti jauh lebih mujur.
Tapi, penderitaan—dan ketabahan yang mesti dilap-lap setiap musim—ini sebagian besar memang bukan karena Liverpool tak pernah sama sekali atau sangat sedikit mengecap kejayaan, sebagaimana Stoke City atau Bromley FC, atau bahkan Everton. Sebaliknya, derita itu justru karena sejarah klub itu begitu besarnya.
Liverpool begitu tercekik paceklik karena lemari piala yang penuh itu telah lama tak terisi lagi oleh trofi Liga. Selama hampir tiga dekade Anfield hanya bisa menyesali diri setiap pendukung United di Old Trafford mengejek “Are you watching, Merseyside?”, dan mereka dengan mudahnya meraih gelar liga berikutnya, dan berikutnya, dan berikutnya.
Bahkan ketika MU melemah seiring pensiunnya Fergie, Liverpool tak kunjung ambil kendali. Ada Chelsea, lalu Man City. Ya, uang telah membeli sepakbola! Siapa yang bisa membantahnya? Tapi, coba pikir, sekaya apa Leicester City dibanding Liverpool saat mereka jadi juara dua musim lalu?
Tapi, kan ….
***
Jelas lebih tabah dibanding “hujan bulan Juni”-nya Sapardi, para pendukung Liverpool juga dipastikan lebih bijak dan lebih arif. Coba baca lagi tulisan ini dari depan, dan cek lagi judul di atas. Ya, kalau mau jujur, dari 28 musim yang kering, para pendukung Liverpool sudah sangat terbiasa dengan judul macam itu; mungkin 25 musim di antaranya dimulai dengan tekad bernada sama—di setiap awal musimnya. Tapi, karena mereka lebih bijak dan lebih arif, mereka tahu bahwa judul itu sebagian besarnya adalah harapan. Dan sepenuhnya doa.
Sebagaimana semua harapan dan doa, Tuhanlah yang menentukan. Dan, pengalaman telah mengajarkan: selama 28 musim, doa itu tak dikabulkan.
Hanya orang gagal yang jadi lebih bijak. Dan tak ada yang lebih bijak dibanding pendukung sebuah klub yang telah gagal selama 28 musim. Maka, jangan heran, Jurgen Klopp yang rock n’ roll itu bahkan ikut-ikutan menjadi bijak setelah melatih Liverpool.
“Kami akan melewati musim yang luar biasa beratnya,” demikian katanya, sesaat setelah kemenangan 4-0 atas West Ham di pekan pertama.
Selain tabah dan bijak, pendukung Liverpool juga pakar “mengambil sisi positif”. Pada kalimat Klopp yang bijaksana, bisa dipetik dua hal positif: Kejujuran dan kerendahhatian. Para pendukung Liverpool pasti berharap, yang benar-benar terjadi adalah yang kedua. Artinya, Klopp sedang mengutarakan maksud yang berlawanan dari yang diucapkannya. Dalam kalimat yan lebih jelas lagi, itu artinya Liverpool akan melewati musim ini dengan jauh lebih gampang dibanding 28 musim sebelumnya.
Lagi pula, kalau masih mau mengumpulkan “hal-hal positif” lain, coba cermati penyataan-pernyataan Mourinho di awal-awal musim. Sejak pramusim, Mou terus mengeluh soal seretnya transfer pemain MU. Keluhan itu terus berlanjut hingga pertandingan pertama melawan Leicester City, di pekan pertama, karena tak satu pun pemain yang diinginkannya didapat. Dan di setiap keluhan itu, ia selalu menyebut Liverpool.
“Mungkin musim ini saatnya kalian (wartawan) menuntut mereka juara,” kata Mou, mengomentari belanja besar Liverpool di awal musim ini.
“Klub lain sudah sangat kuat dan punya tim fantastik. Atau berinvestasi gila-gilaan, seperti Liverpool, yang membeli apa pun dan siapa pun,” katanya lagi, beberapa hari kemudian, setelah kecewa kelambanan timnya memburu pemain.
Orang yang terobsesi dengan Mou tahu belaka pola orang ini: ia akan berulang-ulang dan secara obsesif membicarakan tim-tim yang dipandang lebih kuat dari timnya, yang mesti dikalahkannya; Arsenal ketika ia pertama kali menukangi Chelsea, Barca ketika ia ada di Madrid, lalu belakangan City. Dan semua yang dibicarakannya adalah tim juara.
Dan, di awal musim ini, tak ada tim lain yang lebih dibicarakannya melebihi Liverpool. Jadi, wahai penggemar Liverpool, mari “ambil sisi positif”-nya.
***
Sisi positif yang jelas bisa diambil adalah hasil imbang dengan Chelsea di Stamford Bridge di pekan ketujuh.
Setelah sebelumnya kalah di Piala Liga oleh tim yang sama di Anfield, Liverpool menunjukkan daya tahan yang sering absen di musim-musim sebelumnya. Daya tahan itu juga yang ditunjukkan dalam pertandingan ketat dengan Spurs di pekan kelima, yang dimenangkan Liverpool 2-1 meski didominasi di sepanjang pertandingan. Dan daya tahan inilah tampaknya yang sejauh ini membuat Liverpool belum terkalahkan.
Tapi suporter Liverpool tahu bahwa hal ini jauh dari cukup untuk menjadi terlalu optimistis. Ucapan Klopp bahwa ini akan jadi musim yang berat bagi Liverpool, bagaimanapun, mesti dianggap serius—sebijak apa pun ia mengucapkannya. Itu bisa segera dilihat di papan klasemen. Liverpool belum terkalahkan, tapi ia bukan satu-satunya. Dan, yang lebih penting, Liverpool bukan yang teratas (lagi).
Manchester City-nya Pep Guardiola, seperti diperkirakan siapa pun, dengan mudah mengalahkan Brighton & Hove Albion 2-0. Mereka adalah satu dari tiga tim yang belum terkalahkan. Dan mereka jauh lebih produktif dari siapa pun. Juga lebih membunuh, dari sisi mana pun. Sepuluh pemain mereka bisa mencetak gol. Sergio Aguero yang baru menandatangani perpanjangan kontrak sedang memimpin daftar top skorer, dan seperti di musim-musim sebelumnya akan menjadi penantang pencetak gol terbanyak. Raheem Sterling dan Leroy Sane, dua pemain muda terbaik tahun lalu, seperti yang ditunjukkan dalam pertandingan akhir pekan kemarin, tak terlihat mengendur.
Dan Kevin De Bruyne, gelandang terbaik di Liga Inggris musim lalu, sekaligus salah satu pemain terbaik di Piala Dunia 2018, bahkan tidak ada di tim sejak pekan kedua. Bayangkan jika ia sudah turun lapangan.
Dan pendukung Liverpool jelas juga harus khawatir dengan Chelsea dan Maurizio Sarri dan puntung rokok palsu yang dikunyahnya. Dan Eden Hazard, yang kembali dari Rusia dalam kondisi lebih kuat.
***
Meski sedikit tidak bijak, mudah ditebak, para pendukung Liverpool pasti juga dengan senang hati mengambil “sisi positif” dari apa yang terjadi di belahan London yang lain. MU menelan kekalahannya yang ketiga di Liga, di tangan West Ham, tim yang memulai kompetisi dengan empat kekalahan. Dan konon, kekalahan ini diikuti oleh kemarahan Alexis Sanchez, yang dibawa ke London tapi bahkan tak dimasukkan ke tim cadangan.
Dan ini adalah lanjutan pertengkaran antara Mou vs Pogba di arena latihan dua hari sebelumnya, yang merupakan buntut dari dari kekalahan di Piala Liga dari Derby County, yang ada hubungannya dengan pencopotan ban wakil kapten, yang merupakan buntut dari kritik Pogba atas cara bermain MU setelah hasil imbang melawan Wolves.
Sekali lagi, meskipun tidak sebijak seharusnya, dan pasti jauh dari puitis, pendukung sebuah tim yang tak memenangi Liga selama 28 musim tahu bagaimana cara bergembira meski tanpa gelar juara. Dan selagi gelar Liga pertama setelah 28 musim belum lagi di tangan, dan boleh jadi akan meleset lagi, atau terpeleset lagi, tak ada salahnya menikmati setiap langkah terseok lawan menuju kepastiannya: bahwa dari lima, MU mungkin saja akan menuju musim keenamnya tanpa gelar juara.
Mungkin.