Presiden Jokowi pada tanggal 6 Januari yang lalu telah menandatangani Peraturan Presiden tentang Rencana Aksi Nasional Pencegahan dan Penanggulangan Ekstremisme Berbasis Kekerasan yang Mengarah pada Terorisme (RAN PE). Wacana publik merebak bahwa pemerintah akan melakukan tindakan khusus terhadap kelompok masyarakat tertentu dengan menggunakan Perpres ini. Padahal perlu difahami bahwa ancaman terorisme terhadap keamanan manusia merupakan ancaman bagi semua.
Oleh karena itu, negara harus membangun kapasitas terampil aparat keamanan serta masyarakatnya sedini mungkin untuk menyelamatkan kehidupan. Selain itu, partisipasi masyarakat dalam penanggulangan terorisme sangat signifikan karena mereka dapat menjadi aktor utama dalam menggali fakta ancaman tindak kekerasan disekitar lingkungan tempat mereka tinggal.
Perlu difahami bahwa para terduga teroris tinggal di tengah-tengah masyarakat majemuk meski belum tentu mereka berbaur karena tingkah laku mereka yang aneh dibandingkan warga biasa pada umumnya. Karenanya pemerintah perlu giat menggandeng masyarakat dalam menangani penanggulangan terorisme. Partisipasi ini dapat berupa intensifikasi kesadaran publik tentang bahaya ekstremisme agama dan terorisme serta bagaimana mencegah bahaya tersebut agar tidak memberi ruang pada segala macam kegiatan terduga teroris dimasyarakat.
Sementara itu, anggota kepolisian khusus penanggulangan terorisme harus benar-benar menjadi mitra sejati yang bergotong royong dan saling percaya dengan masyarakat untuk bersama-sama mencegah segala upaya terorisme, inilah pemolisian terorisme.
Pemolisian terorisme menunjukkan profesionalisme antara aparat kepolisian khusus terorisme dan partisipasi masyarakat dalam setiap langkah penanggulangan ekstremisme agama dan terorisme. Masyarakat adalah mitra yang baik untuk menggali informasi yang komprehensif, sementara personel polisi bertindak profesional dalam penegakan hukum. Perpaduan kedua pihak ini akan mampu menumbuhkan kerja efektif dalam penanganan kontraterorisme.
Hakekat Pemolisian Terorisme
Dalam sosiologi kontrol sosial, pemolisian terorisme didasarkan pada teori birokratisasi. Mengikuti karya Max Weber (1922) dalam teori birokratisasi menyatakan bahwa upaya polisi kontraterorisme dilakukan secara otonom atas dasar standar profesional mengenai cara dan tujuan kontraterorisme. Perspektif birokratisasi menganggap bahwa insiden terorisme tingkat tinggi seperti peristiwa 9/11 dapat dijadikan rujukan oleh pemerintah suatu negara untuk menarik kembali polisi kontraterorisme dalam fungsi politik.
Namun, karena birokratisasi lembaga kepolisian yang sangat independen maka lembaga kepolisian tidak dapat dengan mudah dijadikan obyek politisasi. Sehingga kepolisian tetap dapat melaksanakan kinerja kontraterorisme berdasarkan pada keahlian dan profesionalisme. Pemolisian terorisme pada dasarnya merupakan wujud baru dari birokrasi kepolisian baik di tingkat nasional maupun internasional. Namun, berdasarkan teori birokratisasi, institusi kepolisian seharusnya dapat menahan pengaruh politik dan terus melakukan aktivitasnya sesuai dengan standar profesi polisi.
Dalam satu dekade terakhir, Indonesia telah menerapkan pemolisian masyarakat (policing community) untuk mencapai tujuan ganda yakni melindungi masyarakat dari gangguan sosial dan keamanan dan melindungi hak-hak serta kebebasan sipil mereka. Kebebasan yang dijamin oleh konstitusi hendaknya menjadi teladan moral yang tidak boleh dikalahkan oleh kecurigaan atau keinginan untuk membungkam faham yang tidak dianggap sebagai arus utama.
Kebebasan pers, berbicara, beragama, dan berkumpul tidak boleh ditekan karena bisa dianggap sebagai suatu kekerasan atau tindakan ofensif. Namun sayangnya, kebebasan tersebut justru sering kali disalahgunakan sebagai momentum untuk penetrasi radikalisme yang mengarah pada tindak kekerasan dari rumah-rumah, sebagian besar karena pengaruh negatif internet.
Oleh karena itu, anggota masyarakat perlu diberikan pendidikan dan pelatihan tentang penegakan hukum dan moderasi agama, budaya, dan kepercayaan. Sehingga negara dapat mengidentifikasi perilaku mereka dan tidak salah mengira praktik-praktik kehidupan mereka sebagai perilaku kriminal.
Anggota masyarakat juga didorong dan dilatih untuk melaporkan aktivitas yang mencurigakan, dan memberdayakan mereka agar menunjukkan bahwa mereka lebih kuat dari masyarakat virtual yang biasanya para terduga teroris berada. Dan bahwa kebebasan, keadilan, dan martabat dapat hidup berdampingan dengan agama, budaya, dan kewarganegaraan.
Strategi Pencegahan Terorisme
Awal tahun 2000, Profesor Bruce Lawrence penerima beasiswa Aminef memberikan ceramah di Universitas Muhammadiyah Surakarta seputar bukunya tentang Osama bin Laden. Ia memulai diskusi dengan wacana yang sangat baik terkait isu Islam dan Barat dalam perspektif terorisme. Ketika ia menawarkan istilah baru ‘Islam di Barat’ (Islam in the West) bukan ‘Islam dan Barat’ (Islam and the West), salah satu peserta menanggapi bahwa hal tersebut sangat menakutkan karena pada akhirnya akan terjadi budaya intersepsi.
Tetapi Bruce justru menjawabnya dengan optimisme bahwa Islam in the West akan menciptakan ‘Peradaban Islam-Kristen’. Dia maksudkan bahwa Muslim dan Kristen harus bekerja sama dengan pemeluk iman lainnya dalam membangun peradaban yang lebih baik bagi dunia. Hal ini harus menjadi landasan ilmiah untuk mulai memikirkan pergeseran pendekatan dari militeristik menjadi lebih manusiawi dalam menanggulangi terorisme.
Pemolisian terorisme juga mendidik setiap warga negara untuk mengenali dan melaporkan kejahatan dan kegiatan yang mencurigakan serta memberdayakan mereka untuk secara aktif berkontribusi dalam meningkatkan keamanan lingkungan mereka. Fokus kerja dalam pemolisian terorisme dapat diarahkan pada bidang-bidang seperti membina dan meningkatkan kepercayaan kemitraan dengan masyarakat, melibatkan semua warga untuk menangani masalah keamanan publik, memanfaatkan pemangku kepentingan publik dan swasta, memanfaatkan semua kemitraan untuk melawan ekstremisme kekerasan, dan melatih anggota khusus kepolisian.
Pakistan adalah contoh yang baik dimana pemerintah meningkatkan efektifitas kantor polisi dalam melawan terorisme dengan membangun keintiman hubungan polisi-masyarakat di tingkat lokal. Etos kepolisian otoriter telah diganti dengan program pelatihan dan pendekatan yang melibatkan polisi-masyarakat dalam upaya bersama untuk mengendalikan kekerasan terorisme dan kriminalitas. Pendekatan semacam ini konsisten dengan yang diambil oleh kepolisian di Amerika Serikat dan Eropa Barat yang menekankan pada penegakan hukum dan jangkauan pendekatan masyarakat.
Hubungan polisi-masyarakat yang lebih baik menghasilkan kemauan publik yang lebih besar untuk memberikan informasi tentang kegiatan ilegal dan potensi ancaman keamanan.
Program untuk meningkatkan hubungan polisi-masyarakat dimulai dengan meningkatkan akses publik ke kantor polisi, termasuk akses khusus bagi perempuan. Upaya semacam ini dapat ditempuh dengan melibatkan masyarakat dalam pekerjaan polisi melalui program-program seperti pengawasan masyarakat dan pembentukan komite perdamaian untuk menengahi perselisihan lokal dan untuk meninjau serta mengevaluasi kinerja polisi.
Akses publik yang lebih baik, perlakuan khusus untuk wanita oleh petugas polisi wanita, dan program jangkauan masyarakat adalah fitur dari beberapa model kantor polisi yang moders.
Akhirnya, Pemolisian terorisme harus lebih menekankan pada pelaksanaan program pada penanggulangan kasus-kasus terorisme dengan pelibatan masyarakat. Pemerintah telah mengeluarkan Perpres RAN PE, sehingga diharapkan langkah ini menjadi tahapan positif dalam menghentikan sentimen agama sering dijadikan alasan dan motivasi para teroris untuk secara sporadis mengembangkan sel terornya.
Pemerintah juga telah melakukan upaya serius untuk menerapkan kontraterorisme dalam menetralisir ajaran-ajaran radikal. Upaya tersebut terwujud dalam berbagai bentuk kegiatan pencegahan provokasi dan penyebaran kebencian, permusuhan antar umat beragama, pencegahan indoktrinasi, peningkatan pengetahuan masyarakat untuk menolak pemahaman teror, memperkaya pemahaman moderat tentang agama, meningkatkan kerjasama sektoral dengan semua pihak, dan menutup keterlibatan kesadaran masyarakat untuk segera melaporkan ketika mereka melihat, mendengar, dan bertindak untuk memecah belah persatuan dan kerukunan antar umat beragama di Indonesia.