Jumat, April 26, 2024

Pendekatan Feminis dalam Studi Agama

Mun'im Sirry
Mun'im Sirry
Assistant Professor di Fakultas Teologi Universitas Notre Dame, USA, Owner KEPITING++. Beberapa karyanya: "Islam Revisionis: Kontestasi Agama Zaman Radikal" (Suka Press, 2018), "Polemik Kitab Suci: Tafsir Reformis atas Kritik Al-Quran terhadap Agama Lain" (Gramedia, 2013), "Kontroversi Islam Awal: Antara Mazhab Tradisionalis dan Revisionis" (Mizan, 2015), dan "Scriptural Polemics: The Qur’an and Other Religions" (Oxford University Press, 2014).
An Iranian woman walks past a banner reading "one million signatures to change the biased laws" and bearing a scale balancing female and male symbols during a press conference in Tehran, 27 August 2007. Iranians petitioning to achieve equal rights for women and men in Iran said today they hoped that their efforts would help change people's mentalities on the matter. AFP PHOTO/BEHROUZ MEHRI
AFP PHOTO/BEHROUZ MEHRI

Tulisan Cania Citta Irlanie “Feminisme dan Prostitusi” (Geotimes, 20 Sept. 2016) menyadarkan kita tentang pentingnya “dobrakan” menghadapi kerangkeng struktural yang membelenggu kebebasan. Kerangkeng struktural itu bisa berbentuk otoritas sekuler (negara), agama, atau pola hubungan yang terbentuk dari struktur masyarakat tertentu.

Kendati saya kurang setuju dengan tipologi bineri “feminis liberal” dan “feminis non-liberal”, tapi Cania berhasil mendemonstrasikan dengan baik perspektif feminisme yang sublim pada tataran ide dan praksis: “mendobrak perspektif lama” sekaligus “membuka diri pada ide” baru demi mewujudkan kesetaraan. Diskursus feminisme yang kerap “pasang dada” melawan ideologi arus utama dan perjuangannya yang gigih memberikan ruang bagi suara-suara yang terbungkam, sampai batas yang besar, telah mewarnai pendekatan dan kesarjanaan saya dalam studi agama.

Saya melihat perspektif feminis memberikan “nilai tambah” (added value) yang selama ini menjadi kelemahan kajian akademis agama (academic study of religion). Yakni, kecenderungan untuk membatasi pada bagaimana memahami dan menjelaskan (how to make sense of) fenomena keagamaan tertentu. Memang gabungan disiplin akademis hermeneutika dan antropologi telah mendorong banyak sarjana untuk melampaui “pemahaman” dan “penjelasan”, tapi masih banyak hal yang perlu dipelajari dari pendekatan feminis.

Agama dan Isu Perempuan

Walaupun banyak survei menyebut perempuan lebih religius dibanding laki-laki, tapi sebenarnya agama dan perempuan bukan “teman” yang baik. Sejak kelahirannya, agama memang tidak ramah terhadap perempuan.

Dalam berbagai forum kita sering mendengar bahwa agama tertentu lahir dengan wahyu revolusi untuk mengangkat derajat kaum perempuan. Kenyataannya, tak ada agama yang benar-benar menempatkan perempuan setara dengan laki-laki. Fakta ini memang seperti bicara “gajah dalam ruangan” yang banyak orang memilih menghindarinya.

Salah satu norma zaman modern ialah bahwa perempuan dan laki-laki harus dipandang sebagai makhluk yang setara. Mereka yang menempatkan perempuan subordinat dari laki-laki, harus mematuhi suami, dan seterusnya dianggap sebagai parokhial, berpandangan picik.

Problemnya adalah teks-teks agama yang mendiskreditkan kaum perempuan telah banyak digunakan atau disalahgunakan oleh kelompok beriman tertentu untuk menjustifikasi sikap mereka yang sewenang-wenang terhadap perempuan.

Di sini kita melihat ada problem interpretasi. Tapi, saya kira, persoalannya lebih serius dari itu. Bukan sekadar persoalan penafsiran, tapi juga problem teks-teks agama (termasuk kitab suci) itu sendiri. Kaum beriman perlu mengakui kenyataan ini. Sebab, tanpa pengakuan yang jujur, mereka tak akan pernah sungguh-sungguh mencari solusinya.

Subordinasi perempuan dari laki-laki digambarkan dan diperintahkan (deskriptif dan preskriptif) dalam kitab suci. Lihat kisah penciptaan Adam dan Hawa dan cerita kejatuhan mereka ke bumi yang dinarasikan dalam Kitab Kejadian. Jika Hawa adalah prototipe perempuan, Alkitab menggambarkan perempuan sebagai makhluk penipu, perayu, tidak loyal dan tidak dapat dipercaya.

Al-Qur’an menuturkan kembali berbagai kisah Alkitab, walaupun tanpa menyebut nama “Hawa”. Kitab suci kaum Muslim jelas menonjolkan peran laki-laki ketika mengatakan, “kaum laki-laki adalah qawwamun atas perempuan” (Q.4:34). Apa pun terjemahan kita atas kata “qawwamun”, pesan ayat tersebut cukup jelas, dan itu pula yang dipraktikkan sebagian kaum Muslim.

Lanjutan ayat itu, minimal dari kata mata modern, lebih mengerikan. “Perempuan yang salehah”, disebutkan dalam ayat di atas, “ialah mereka yang taat, menjaga diri mereka (ketika suaminya) tidak ada terkait apa yang dijaga Allah. Sementara itu, perempuan-perempuan yang kamu khawatirkan tidak loyal (menyimpang), maka nasihatilah mereka, pisahkan mereka di tempat tidur, dan pukullah mereka.”

Perintah memukul perempuan? Ayat ini termasuk yang paling banyak diriset dan dikaji dengan beragam tawaran tafsir. Baru-baru ini sejumlah feminis Muslim menerbitkan buku yang khusus mendiskusikan ayat tersebut, berjudul Men in Charge? Rethinking Authority in Muslim Legal Tradition (2015). Hal ini menggambarkan betapa mereka sangat terganggu oleh ayat al-Qur’an tersebut.

Perlu segera ditambahkan, ayat-ayat mesogini bukan satu-satunya problem dalam agama. Praktik figur-figur utama tidak juga membantu menghapuskan citra agama yang tidak ramah terhadap kaum perempuan. Lagi-lagi dari kaca mata modern, bagaimana membayangkan Nabi Muhammad yang berusia 53 tahun mengawini Aisyah yang berumur 6 atau 7 tahun?

Tapi, ini bukan hanya problem Islam. Lihat kitab 1 Korintus dalam Perjanjian Baru dan akan segera terlihat betapa nestapanya status perempuan di mata Rasul Paulus, seorang figur terpenting kedua setelah Yesus dalam sejarah Kristen. Paulus menulis surat itu kepada orang-orang di Korin karena ada kabar tentang praktik seks haram.

Di bagian akhir surat, Paulus berpetuah supaya kaum perempuan bungkam: “kaum perempuan harus berdiam diri dalam pertemuan Jemaat, sebab mereka tidak diperbolehkan bicara. Mereka harus menundukkan diri seperti diperintahkan dalam Taurat” (1 Korintus 14:34).

Kontribusi Pendekatan Feminis

Pembacaan feminis terhadap narasi kitab suci dan praktik figur-figur agama cukup radikal, melampaui apa yang menjadi kecenderungan dalam studi akademis agama. Aspek ini yang menginspirasi saya untuk mempersoalkan berbagai pandangan ortodoksi sembari menekankan apa yang oleh Talal Asad disebut “tradisi diskursif” (discursive tradition). Yakni, variasi-variasi historis yang terus-menerus mengalami pergeseran yang menghubungkan masa lalu ke masa depan melalui masa kini.

Kalangan akademisi agama cenderung hati-hati menyematkan stigma-stigma tertentu yang dianggap tidak “akademis”. Misalnya, menganggap kitab suci sebagai kadaluarsa, ketinggalan zaman. Sebaliknya, mereka berusaha memahami dan menjelaskan fenomena kemanusiaan dalam konteks sejarahnya.

Maka, perkawinan Nabi Muhammad dengan Aisyah yang masih sangat belia, misalnya, dianggap tidak mencederai status dan martabat Nabi. Sebab, apa yang dilakukan Nabi pada masanya bukan sesuatu yang kontroversial. Menarik dicatat, tidak seorang pun dari para pengkritik Nabi dari musuh-musuhnya di kalangan Quraisy hingga klerik-klerik Kristen pada Abad Pertengahan, yang menjadikan perkawinan Nabi dengan Aisyah sebagai sasaran kritik. Justru yang menjadi kontroversi di zamannya ialah perkawinan Nabi dengan Zainab, janda anak angkat Zaid.

Penjelasan akademisi kenapa tidak ada pengkritik zaman pra-modern yang mempersoalkan perkawinan Nabi dengan Aisyah ialah karena mengawini anak di bawah umur (underage) merupakan suatu yang lumrah dilakukan saat itu di jazirah Arabia. Dalam hukum Romawi, usia yang dibolehkan kawin ialah 12 tahun.

Penjelasan “akademis” ini cukup meyakinkan. Pertanyaannya, so what? Di sini, pendekatan feminis menyediakan framework untuk membongkar dan mendobrak (pinjam istilah Cania) struktur sosial dan bentuk-bentuk otoritas yang melanggengkan obyektifikasi perempuan. Tafsir-tafsir patriarkis-anakronistik yang dimasukkan dalam kebijakan publik menyentak kesadaran kaum feminis untuk semakin gigih melancarkan kritik dan terlibat dalam beragam aktivitas pemberdayaan perempuan.

Di kalangan akademisi juga mulai bermunculan model-model pembacaan feminis yang “mendobrak perspektif lama” dalam menafsirkan kitab suci yang sejauh ini didominasi laki-laki, seperti tergambar dalam karya Men in Charge? yang disunting Ziba Mir-Hosseini, Mulki al-Sharmani, dan Jana Rumminger itu. Kalangan feminis Indonesia, termasuk generasi mudanya, juga memperlihatkan perhatian yang sama.

Sungguh fenomena yang patut disambut hangat!

Terkait

Feminisme dan Prostitusi

Mun'im Sirry
Mun'im Sirry
Assistant Professor di Fakultas Teologi Universitas Notre Dame, USA, Owner KEPITING++. Beberapa karyanya: "Islam Revisionis: Kontestasi Agama Zaman Radikal" (Suka Press, 2018), "Polemik Kitab Suci: Tafsir Reformis atas Kritik Al-Quran terhadap Agama Lain" (Gramedia, 2013), "Kontroversi Islam Awal: Antara Mazhab Tradisionalis dan Revisionis" (Mizan, 2015), dan "Scriptural Polemics: The Qur’an and Other Religions" (Oxford University Press, 2014).
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.