Mahkamah Konstitusi akhirnya memutus dua proses perselisihan hasil pemilihan kepala daerah dengan perintah pemungutan suara ulang. Putusan ini dibacakan pada Senin (22/2) pekan lalu untuk dua daerah: Kabupaten Membaramo Raya, Provinsi Papua, dan Kabupaten Halmahera Selatan, Provinsi Maluku Utara.
MK memutus dan memerintahkan pemungutan suara ulang di 10 TPS di Kecamatan Membaramo Tengah Timur, Kabupetan Membaramo Raya, Papua. Sementara untuk Kabupetan Halmahera Selatan, Maluku Utara, perintah pemungutan suara ulang diperuntukkan di Kecamatan Binca sebanyak 20 TPS.
Khusus di Kabupaten Halmahera Selatan, Maluku Utara, perintah pemungutan suara ulang ini merupakan tindak lanjut dari putusan sela MK pada 22 Januari lalu, yang memerintahkan penghitungan suara ulang di 20 TPS di Kecamatan Binca. Namun, proses penghitungan suara ulang tak bisa dilaksanakan, karena surat suara yang akan dihitung ulang sudah tidak ditemukan.
Atas dasar itu, MK mengeluarkan perintah pemungutan suara ulang di 20 TPS di Kecamatan Binca. Perintah pemungutan suara ulang mesti dilaksanakan oleh KPU daerah selambat-lambatnya 30 hari sejak putusan MK dibacakan.
Dari putusan MK ini terungkap satu fakta kunci yang menjadi pangkal persoalan: Minusnya integritas dan kapasitas penyelenggara pemilihan di tingkat TPS dan Petugas Pemungutan Suara (PPS). Untuk fakta yang terungkap di Kabupaten Membaramo Raya, Papua, misalnya, terjadi kecurangan sistemik dan disengaja oleh penyelenggara pemilihan di tingkat TPS dan PPS. Setidaknya di 10 TPS yang akan melaksanakan pemungutan suara ulang, Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) di Kecamatan Membaramo Tengah Timur, terbutki mencoblos surat suara sisa.
Selain mencoblos surat suara sisa, juga terdapat pencatatan hasil penghitungan suara yang berbeda antara yang ada di form plano dengan apa yang dicatat di sertifikat C1-KWK. Pelanggaran lain yang terbukti di forum sidang MK, dan menjadi pertimbangan di dalam putusan adalah, terdapatnya pemalsuan nama dan tanda tangan saksi pasangan calon yang dilakukan oleh anggota KPPS.
Persoalan menarik lainnya terjadi di Kabupaten Halmahera Selatan, Maluku Utara. Kotak suara beserta isinya sudah hilang, sehingga tidak mungkin penghitungan suara ulang sebagaimana putusan sela yang pernah diperintahkan MK bisa dilaksanakan. Penghitungan suara ulang tentu saja untuk mengkonfirmasi kebenaran dalil kesalahan penghitungan suara yang disampaikan pemohon. Namun, ketika kotak suara beserta isinya sudah hilang, mustahil penghitungan ulang bisa dilaksanakan.
Dari dua putusan perselisihan hasil pilkada yang dibacakan MK, tampak jelas bahwa yang dijawab oleh MK dalam putusannya bukan lagi soal kesalahan belaka, tetapi pelanggaran yang terjadi dalam rangkaian proses pilkada. Mencoblos surat suara sisa, menghilangkan kotak suara, memalsukan tanda tangan, dan tidak memberikan form hasil penghitungan kepada saksi pasangan calon adalah perbuatan yang haram dilakukan oleh penyelenggara pemilihan. Karena prinsip netralitas, imparsialitas, dan kejujuran adalah tiga hal penting yang senantiasa harus dipegang teguh oleh siapa saja yang menjadi penyelenggara pemilu/pilkada.
Merujuk kepada dua putusan MK yang memerintahkan pemungutan suara ulang di Membaramo Raya, Papua, dan Halmahera Selatan, Maluku Utara, ada dua benang merah yang mesti ditarik ke permukaan. Pertama, integritas dan kapasitas penyelenggara di tingkat KPPS dan PPS menjadi pekerjaan rumah serius bagi KPU dalam setiap pemilu/pilkada yang mesti dituntaskan segera. Ini menjadi tantangan berat, karena jalan keluar dari persoalan ini diharapkan sudah bisa dilaksanakan pada Pilkada 2017 nanti.
Salah satu langkah yang bisa dilakukan adalah memberikan pengaturan bahwa untuk rekrutmen penyelenggara ad hoc (KPPS dan PPS) dilakukan langsung di bawah koordinasi KPU Kabupaten/Kota. Mekanismenya bisa seperti proses seleksi yang memberikan indikator dan prasyarat yang harus dipenuhi oleh calon penyelenggara pemilihan ad hoc.
Pertimbangannya jelas, intergitas dan kapasitas menjadi penilaian utama. Mekanisme ini tentu saja sama sekali tidak dimaksudkan untuk membatasi partisipasi masyarakat sebesar-besarnya untuk menjadi penyelenggara pemilihan dalam setiap pemilu/pilkada. Tetapi, KPU juga tidak bisa berkompromi terhadap kebutuhan integritas dan kapasitas setiap orang yang akan menjadi penyelenggara pemilihan.
Kedua, mencermati apa yang diputus MK, khususnya putusan yang memerintahkan pemungutan suara ulang, MK jelas tidak hanya membenarkan atau menyalahkan hasil penghitungan suara yang ditetapkan oleh KPU belaka. Tetapi, memutus dan mempertimbangkan hal yang jauh lebih substansial, yakni electoral process yang berlangsung dalam tahapan pilkada.
Atas dasar itu, syarat selisih suara yang menjadi pertimbangan utama MK dalam menyatakan banyak permohonan perselisihan hasil pilkada tidak dapat diterima menjadi tidak relevan. Sebab, ada beberapa daerah yang memiliki persoalan substansial dalam proses pelaksanaan pilkada lalu, namun tidak memenuhi syarat selisih suara.
Jika merujuk pada persoalan KPPS dan PPS yang tidak profesional, hal yang sama juga terjadi di Kabupaten Seram Bagian Timur, Provinsi Maluku, dan Kabupaten Yahukimo, Provinsi Papua. Oleh sebab itu, persoalan ini mesti dijawab dalam revisi UU Pilkada yang sedang disiapkan oleh pemerintah dan DPR. Hajatan terdekat tentu saja regulasi yang jauh lebih baik dapat digunakan dalam proses pelaksanaan Pilkada 2017 mendatang.