Hari ini, kita tahu batas kesungguhan Kemenag, BNPT, dan pihak terkait, dalam menanggulangi terorisme. Semuanya sebatas hangat-hangat tai ayam.
Dengan mudah mereka mewacanakan kepulangan simpatisan ISIS. Radikalis di dalam negeri saja tak mampu mereka urus. Sekarang berlagak menundukkan kanker ideologi ganas dari luar.
Simpatisan ISIS itu telah menolak kewarganegaran Indonesia. Mereka membakar pasport. Mengharamkan tanah kelahiran sendiri. Batas itu telah mereka lampaui.
Sekarang hidup mereka terkatung-katung di Suriah sana. Stateles. Dan kenyataan pahit harus mereka telan. Ternyata ISIS yang sempat membuat dunia tercekam itu telah tamat. Surga dambaan mereka di muka bumi ikut musnah. Di titik keterputus-asaan itu mereka ingin kembali ke Indonesia lagi.
Gayung bersambut. Pemerintah kita menyediakan diri. Pintu untuk menyambut mereka sedikit demi sedikit mulai dibuka. Kegarangan mereka tempo hari, setelah bom meledug itu, tidak ada lagi.
Pemerintah memang memiliki kelemahan dalam menghadapi radikalisme. Mereka cenderung lembek dan mudah lupa. Pemerintah kita, siapapun presidennya, tak kuasa menolak bujukan mayoritas.
Celakanya, nyaris semua teroris yang kita temui akhir-akhir ini beragama Islam. Suka atau tidak, diakui atau tidak, ada problem keagamaan di sana.
Saya tidak mengatakan agamanya bermasalah. Tapi ada proses pengajaran menyimpang yang dibiarkan. Ada banyak tempat pendidikan, pengajian, perumahan islam, dan ormas berbahaya dibiarkan tumbuh. Kalau eskalasinya memuncak, baru mereka ditindak.
Para teroris betul-betul dimanusiakan. Meskipun nalar yang mereka pakai sudah bukan lagi sebagai manusia normal.
Dalam hal ini, BNPT lebih mirip Sekolah Taman Kanak-kanak. Tujuan utama mereka deradikalisasi. Itu artinya merangkul pelaku teroris layaknya teman.
Mereka diajarkan benyanyi Padamu Negeri. Dilatih arti kata mencintai. Dituntun untuk hormat pada bendera setiap Senin pagi. Itu baik. Itu manusiawi. Tetapi itu tidak cukup.
BNPT mestinya fokus pada pencegahan. Bukan serius pasca kejadian saja. Dalam beberapa tanggapannya di media massa, BNPT cenderung terlihat lembek. Padahal selaku bumper untuk menghalau paham terorisme, mereka harus keras.
Kalau perlu ada slogan, “Persetan dengan kemanusiaan teroris. Siapapun yang membuat teror di Indonesia, akan kami tumpas sampai ke akar-akarnya!”
Meskipun pelaksanaannya tetap mengedepankan kemanusiaan. Tapi ini kan tidak begitu. Mereka hanya bisa ngomong deradikalisasi, deradikalisasi, deradikalisasi.
Ok, deradikalisasi sudah dilakukan. Lalu untungnya apa? Apakah tindakan teror berkurang? Ataukah korban bom itu lantas mendapatkan keadilan?
Tapi itu memang bukan hanya salah BNPT. Menag kita ternyata juga lamban. Presiden kita mungkin sudah memberi ultimatum. Namun tidak ada progres luar biasa.
Apa kata Jokowi, tidak demikian pelaksanaannya. Saya tidak tahu, apakah kata-kata Jokowi masih dianggap perintah bagi bawahannya?
Semua berjalan seperti sebelumnya. Bila ada ancaman bom mledug, aparat bertindak. Kemudian para teroris dimasukkan program deradikalisasi.
Besok begitu lagi. Ada ancaman bom mledug mereka bertindak lagi. Deradikalisasi lagi. Ini negara seperti main-main dengan teror.
Saya akhirnya paham, negara ternyata takut dengan desakan ormas keagamaan. Negara tak berani menghadapi kritik tokoh-tokoh agama besar.
Oleh sebab itu mereka menebalkan muka. Aparat kroco disuruh bertaruh nyawa di lapangan. Sementara para petinggi leha-leha membangun opini menyejukkan.
Maka tak mengejutkan jika Kemenag kita akhirnya ikut mlempem. Di belakang perubahan sikapnya, yang awalnya mengaum jadi mengeong itu, barangkali karena ada desakan ormas dan tokoh keagamaan.
Ya maaf kata bagi minoritas, akhirnya kita harus sampai pada kesimpulan, negara tak mampu melindungi kalian.
Simpatisan ISIS yang hendak pulang itu adalah bom waktu. Atas nama kemanusiaan, kita boleh saja menerima mereka kembali. Tetapi, sebaiknya diisolasi di pulau terpencil. Diberikan hukuman sepadan. Atau tidak sama sekali.
Ini sebagai efek jera bagi yang lainnya. Sekali mencampakkan Indonesia, tidak ada peluang untuk kembali seperti sedia kala.
Pemerintah tak boleh lembek menghadapi terorisme. Tidak boleh asal bunyi dan membuat kekhawatiran berkembang. Karena tidak ada gunanya bernegara, jika tak menjamin ketenangan dan keselamatan warganya.
Pak Jokowi, biduk pemerintahanmu mulai oleng. Jika tidak cepat diselamatkan, kerja keras selama ini akan sirna. Dan namamu tidak akan pernah dikenang. Tidak sebagai seorang negarawan.