Sekian tahun lalu, kita mendapat berita tentang pemberian sedekah dan zakat menjelang Lebaran berlakon kericuhan. Acara demi kebaikan malah mengakibatkan duka dan kematian. Pemberian di hari-hari religius gagal di pemaknaan. Kejadian tak ingin terulang lagi pernah ditulis Joko Pinurbo (2003) dalam puisi berjudul “Sedekah”. Puisi terbaca di suasana Lebaran: Ibu tua itu tewas sehabis berjuang keras mendapatkan/ sedekah dari seorang juragan yang amat pemurah./ Ia terjatuh terinjak-injak sewaktu berdesak-desakan,/ sesaat setelah diterima uang dua puluh ribu rupiah. Dulu, orang-orang atau institusi ingin memberi ke kaum miskin menjelang Lebaran tapi “salah” dalam pembuatan acara atau tata cara. Pemberian dimaksudkan kebaikan malah duka dan mendapat kecaman dari publik. Cara pemberian wajib diralat agar etis dan menggirangkan.
Ibu itu tukang cuci, berharap mendapatkan uang bakal digunakan membeli tiket kereta api. Ibu mau mudik. Ibu memang “mudik”, bukan ke kampung halaman tapi akhirat. Pemaknaan pemberian sedekah bagi orang miskin mau mudik berujung pilu. Joko Pinurbo menjadi pencatat sambil mengakhiri sejenis nasib tak untung: Kereta hampir berangkat. Uang yang naas tampak ikhlas/ dan pasrah dalam genggaman tangan almarhumah./ Uang yang tak seberapa ini kemudian disimpan baik-baik/ oleh cucu ibu yang gigih itu dan kelak akan ia berikan/ kepada entah siapa yang pantas menerimanya. Puisi belum berlalu, kita masih mungkin membaca dalam suasana berbeda dan cara pemberian berpatokan etis-religius.
Pemberian dan penerimaan di puisi itu mungkin kenangan pahit. Kita berharapan jangan terjadi lagi. Pada masa lalu, peristiwa memberi-menerima mengingatkan ke studi antropologi Marcel Mauss berjudul Pemberian (1992). Sejarah memberi-menerima berlatar religius di pelbagai komunitas tradisional. Pemberian bukan peristiwa biasa. Marcel Mauss menerangkan: “Dalam saling menerima dan memberi hadiah-hadiah yang berlangsung tetap dan terus-menerus, dan dapat kita namakan sebagai masalah spiritual yang meliputi orang-orang dan benda-benda, unsur-unsur ini beredar dan beredar kembali di antara klen-klen dan individu-individu, pangkat-pangkat, jenis kelamin dan generasi-generasi.” Pada hari-hari sakral atau suci, pemaknaan bakal semakin religius meski mengikutkan politik, ekonomi, dan sosial.
Di Indonesia, tradisi memberi-menerima berlangsung di pelbagai komunitas etnik mengandung konsekuensi panjang terwariskan. Patokan “mengembalikan” dan “memberikan kembali” membuat alur dan arus semakin mengukuhkan makna baku. Si penerima menanggung “hukum” untuk mengembalikan dengan tata cara dan wujud sesuai anutan adat atau religi. Kita mengingat itu repetisi membentuk ikatan bersama. Repetisi sengaja diabaikan kerugian, kerepotan, dan kedukaan. Di situ, ada “teater” di permufakatan sering awet sampai sekarang.
Kita mulai mendapat peringatan KPK dalam perkara pemberian-penerimaan di suasana Lebaran. KPK menganjurkan para pejabat melaporkan penerimaan hadiah-hadiah berdalih Lebaran. Hal itu dinamakan gratifikasi. KPK ingin ada kesadaran memutus kebiasaan memberi-menerima berkemungkinan “mengesahkan” korupsi. Pemberian sering tercatat di hari menjelang Lebaran: bahan makanan, duit, kue, pakaian, perhiasan, dan lain-lain. Peringatan dari KPK bermisi mempersempit ruang bagi maksud-maksud mengarah ke pelanggengan korupsi. Indonesia abad XXI memiliki tanda seru di makna pemberian, tak lagi seperti dulu.
Di majalah Tempo, 3 Februari 1990, kita membaca berita tentang pemberian hadiah atau bingkisan di peringatan hari-hari suci agama dan pergantian tahun. Pada masa itu KPK belum ada. Publik menganggap pemberi bingkisan berdalih “menjaga hubungan baik” meski ada pula menginginkan itu “pelicin” di bisnis dan politik. Pemberian lazim memberi pengaruh persepsi dan sikap di pihak penerima berkaitan bisnis atau politik. Pemberian menjadi tak biasa alias gampang dicurigai memicu dampak-dampak buruk. Pengertian ikhlas atau sukarela mendapat koreksi dan kritik. Pendasaran bahwa memberi itu sukarela sulit berlaku di masa Orde Baru. Hal itu (terus) berlaku setelah rezim Orde Baru runtuh. Kita masih sering mendapat berita korupsi berkaitan muslihat pemberian-penerimaan. Berlatar masa Orde Baru, Sarlito Wirawan pernah menafsirkan kebiasaan memberi-menerima itu menandakan “masyarakat guyub”. Kini, kita mengoreksi lagi setelah daftar kasus korupsi semakin bertambah.
Pemberian cenderung politik, meninggalan makna-makna etika dan religius seperti masa lalu. Gejala itu menguat pada abad XX. Kita membaca sindiran Anthony de Mello dalam buku berjudul Berbasa-Basi Sejenak (1997). Kedermawanan atau pamrih penderma (pemberi) sudah di picik dan picisan. Alkisah, orang-orang semakin bertambah datang ke pertapaan. Situasi itu membuat saudagar mengeluarkan cek sejuta dolar dan menaruh di hadapan Sang Guru. Tangan San Guru mengambil cek, berucap: “Saya menerimanya.” Saudagar itu kecewa. Pemberian uang berjumlah besar tak mendapat balasan ucapan: “terima kasih.” Saudagar terpaksa mengajak bercakap Sang Guru: “Itu sejuta dolar.” Sang Guru menjawab kalem: “Saya melihatnya.” Kata-kata terus diucapkan saudagar meminta ucapan terlalu diharapkan. Sang Guru mengerti: “Apakah Tuan ingin agar saya mengucapkan terima kasih?” Saudagar agak lega, berkata: “Seharusnyalah.” Pesan bijak pun disampaikan Sang Guru: “Mengapa harus? Pemberilah yang seharusnya berterima kasih.”
Cerita itu mungkin jarang terbaca oleh elite, saudagar, artis, dan tokoh-tokoh kondang di seantero Indonesia. Kita menduga mereka menuntut mendapat ucapan “terima kasih” dan tepuk tangan dengan cara menggelar acara pemberian berlagak kedermawanan disiarkan di televisi atau diberitakan panjang di koran dan majalah. Mereka tak rela. Ikhlas masih belum mewujud. Pemberian-penerimaan di beragam pamrih. Kita menganggap itu “menodai” kesejarahan bergelimang makna kemanusiaan dan religius. Pada masa sekarang, kedermawanan mirip “teater kepalsuan”. Marcel Mauss mengingatkan bahwa nalar komersial dan politis di pemberian sudah mengalahkan moralitas.
Kita terlalu rumit mengartikan pemberian dan Lebaran. Kebiasaan orang mudik lazim membawa keinginan untuk memberi atau berbagi dengan orang-orang di kampung halaman. Pemberian itu mungkin masih lumrah, sebelum kita diajak memikirkan pemberian di urusan politik, bisnis, dan hukum demi memerangi korupsi. Di keluarga atau kampung, pemberian belum tentu komersial tapi mungkin jadi tapakan kelak menuju ke nalar pemberian-penerimaan bersifat koruptif. Cara dan acara pemberian semakin menguak curiga ketimbang pemuliaan misi berbagi ke sesama dan penguatan makna iman dalam amalan sosial-kultural. Begitu.