Kebijakan Pemerintah Kota Depok yang memisahkan tempat parkir laki-laki dan perempuan mengundang kontroversi. Menurut Kepala Dinas Perhubungan Kota Depok Dadang Wahana, keberadaan tempat parkir khusus perempuan (ladies) sudah berjalan di beberapa instansi pemerintah dan pusat perbelanjaan di Depok, seperti di Balai Kota, RSUD Depok, Margo City, dan lainnya. Tujuan penerapan tempat yang terpisah antara laki-laki dan perempuan ini untuk memberikan rasa aman dan nyaman bagi perempuan yang menggunakan kendaraan roda dua. Publik menyebutnya “parkir syariah”.
Parkir syariah sebetulnya tidak bermakna apa-apa dilihat dari aspek transportasi yang seharusnya memberikan jaminan keselamatan, keamanan, dan kenyamanan bagi semua warga. Parkir syariah itu baru bermakna bila lokasi parkir untuk perempuan diletakkan di dalam satu ruangan tertutup, sehingga saat hujan juga tidak kehujanan dan saat panas tidak kepanasan. Namun, bila sama-sama parkir di ruang terbuka dan hanya dipisahkan oleh tali pembatas, maka alasan pemisahan parkir laki-laki dan perempuan itu untuk memberikan rasa aman dan nyaman bagi perempuan pengguna sepeda motor gugur dengan sendirinya, kecuali hanya menambah ribet saja.
Sulit dipahami alasan penerapan parkir syariah tersebut kalau dalam praktiknya sama-sama di ruang yang sama dengan fasilitas parkir yang sama pula. Jaminan akan parkir yang selamat, aman, dan nyaman tidak hanya dibutuhkan oleh kaum perempuan saja, tapi menjadi kebutuhan semua warga. Dan tugas pemerintah (kota) adalah mewujudkan rasa selamat, aman, dan nyaman bagi semua warga kota tanpa terkecuali laki-laki atau perempuan.
Kebijakan Pemerintah Kota Depok yang menerapkan parkir syariah mengesankan bahwa mereka tidak tahu apa yang harus dilakukan untuk menata kota, khususnya bidang transportasi. Padahal banyak pekerjaan rumah (PR) Pemkot Depok dalam bidang transportasi yang perlu dibenahi; dari masih buruknya penataan angkutan umum, minimnya penyediaan fasilitas pejalan kaki, tempat penyeberangan jalan yang tidak manusiawi dan tidak berkeselamatan, sampai tiadanya jalur khusus sepeda yang bisa memfasilitasi warga melakukan mobilitas geografis dengan menggunakan sepeda.
Hal-hal kongkret yang menjadi kebutuhan warga kota itulah yang semestinya dijawab oleh Pemkot Depok, bukan justru menerapkan parkir syariah yang tidak menjadi kebutuhan mendesak bagi warga Depok.
Beda dengan KRL dan Transjakarta
Barangkali Pemkot Depok dalam penerapan parkir syariah ini belajar dari PT KCI yang mengoperasikan KRL Jabodetabek dan menyediakan kereta (gerbang) khusus perempuan di depan dan belakang. Atau belajar dari PT Transportasi Jakarta yang menyediakan bus khusus perempuan serta memisahkan tempat duduk perempuan dengan penumpang laki-laki di belakang. Namun, ini dua hal yang berbeda. Penyediaan kereta dan bus khusus perempuan sama sekali tidak menghapuskan hak perempuan untuk berada dalam satu kereta atau bus yang sama dengan laki-laki.
Di dalam bus Transjakarta, perempuan tidak dilarang berada di rangkaian belakang tempat kaum lelaki. Demikian pula di luar kereta khusus perempuan di bagian depan dan belakang, perempuan bebas berada di seluruh rangkaian kereta yang berisi penumpang laki dan perempuan. Penyediaan kereta khusus perempuan atau pemisahan tempat duduk laki dan perempuan di bus Transjakarta semata-semata hanya suatu pilihan (opsi) bagi penumpang yang merasa lebih nyaman menggunakan fasilitas tersebut. Jadi, bukan suatu kewajiban yang memiliki sanksi hukum.
Bagi perempuan yang merasa lebih nyaman berada dalam rangkaian kereta campur atau tempat duduk laki di bus Transjakarta, tidak ada larangan. Pendeknya, penyediaan kereta khusus perempuan di KRL Jabodetabek atau pemisahan tempat duduk di bus Transjakarta tidak didasarkan pada pertimbangan ideologi, tapi hanya memberikan pilihan saja kepada penumpang perempuan.
PT KCI dan PT TJ perlu membuatkan opsi penumpang perempuan yang terpisah dengan laki-laki karena percampuran antara laki dan perempuan, terlebih pada saat padat penumpang dapat menimbulkan pelecehan seksual. Terdapat sejumlah kasus pelecehan seksual yang dipicu oleh berdesakan penumpang laki dan perempuan, sehingga wajar bila diberikan opsi pemisahan. Tapi, kalau parkir, apakah ada kasus pelecehan seksual yang dilakukan oleh pemarkir laki terhadap pemarkir perempuan?
Apakah motor milik kaum laki-laki dapat melakukan pelecehan terhadap motor milik kaum perempuan? Kalau tidak, mengapa harus terpisah? Jika di tempat parkir itu tidak aman, maka ketidak-amanan itu tidak hanya dirasakan oleh perempuan saja, tapi juga oleh pemarkir laki-laki. Tugas penyelenggara parkir adalah menciptakan tempat parkir yang aman dan nyaman bagi semua warga.
Agamaisasi Layanan Publik
Adanya penerapan parkir syariah merupakan cermin dari proses agamaisasi layanan publik. Padahal, layanan publik itu bersifat universal, tidak mengalami pengkotakan berdasarkan agama. Sesuai namanya, layanan publik seharusnya dapat diakses oleh semua warga, termasuk tanpa pembedaan jenis kelamin.
Standar-standar pelayanan publik selalu mengacu pada standar universal. Bahkan untuk kaum berkebutuhan khusus, ibu hami, anak-anak di bawah 12 tahun, dan manula berlaku standar yang sama. Artinya, semua infrastruktur dan sarana publik wajib dibuat dengan mengacu pada standar agar dapat dijangkau oleh mereka yang berkebutuhan khusus, ibu hamil, anak-anak di bawah 12 tahun, dan manula.
Selama infrastruktur atau sarana publik itu dapat dijangkau oleh mereka yang berkebutuhan khusus, ibu hamil, anak-anak di bawah 12 tahun, dan manula; maka infrastruktur dan sarana publik itu akan mudah dipakai oleh warga pada umumnya, laki-laki maupun perempuan. Pemerintah kota yang cerdas akan selalu mengusahakan terciptanya layanan publik yang bersifat universal tersebut. Dan hanya pemerintah kota yang kurang cerdas saja yang membuat regulasi berbasiskan agama, sehingga terasa ganjil bila diterapkan di bidang transportasi, terlebih untuk masalah parkir.
Pertanyaan praktis dari penerapan parkir syariah ini adalah, bila pasangan suami istri membawa motor ke RSUD Depok atau tempat-tempat lain yang diterapkan parkir syariah, di mana motor tersebut harus diparkir? Di tempat laki-laki atau perempuan?
Bila diparkir di tempat parkir laki-laki, apakah sang istri harus turun sebelum sampai lokasi, meski lokasinya agak jauh? Sungguh terasa ribet sekali efek dari kebijakan parkir syariah tersebut bagi kebutuhan mobilitas warga kota. Pemisahan parkir laki-laki dan perempuan itu juga dapat mencerminkan rasa tidak aman dan nyaman bertransportasi di Kota Depok.
Sendainya saya menjadi Walikota Depok, maka yang akan saya prioritaskan untuk dipecahkan adalah perbaikan angkutan umum agar berkeselamatan, berkeamanan, dan memberikan rasa nyaman bagi semua warga kota. Jalan-jalan di Kota Depok akan saya lengkapi dengan fasilitas pejalan kaki (trotoar) yang bagus agar para pengguna kursi roda, tuna netra, ibu hamil, anak-anak di bawah 10 tahun, dan manula dapat berjalan kaki dengan nyaman tanpa harus bantuan orang lain.
Karena keterbatasan anggaran, misalnya, maka saya akan libatkan swasta untuk membangun kota dan mengajak kampus-kampus yang ada di Depok, termasuk Universitas Indonesia (UI), untuk berperan serta mewujudkan Kota Depok yang layak huni. Jika semua warga sudah merasa aman dan nyaman melakukan mobilitas di wilayah Depok, maka parkir syariah tidak perlu ada.
Parkir syariah itu ada hanya karena Pemerintah Kota Depok seolah-olah ingin berbuat untuk menciptakan rasa aman dan nyaman dalam bertransportasi, tapi karena hanya seolah-olah, maka tidak mencerminkan realitas yang sebenarnya.