Saya tak tahu harus berkata apa terhadap Prof. Haedar Nashir dan Buya Syafii Maarif ini— dua ulama junjungan di sebuah organisasi terbesar di dunia. Tak ada rubicon, alphard, atau mobil mewah lainnya, cukup kereta api atau mobil Xenia butut yang dikendarai bergantian.
Hampir semua Ulama Muhammadiyah tak butuh pengawalan — atau penjagaan dan perlindungan berlapis. Juga tak butuh pembelaan karena hujatan atau celaaan dari yang tak suka. Tak butuh buzzer atau influencer agar populair, juga tak butuh follower untuk menaikkan reputasi.
Meski menabalkan sebagai organisasi modern sesungguhya tetap konvensional secara generik. Tetap bersahaja, sederhana dan apa adanya. Merawat urunan, silaturahim dan kajian-kajian sederhana.
Banyak pengamat terkagum-kagum dengan gerakan yang digagas Kyai Dahlan 108 tahun silam ini. Muhammadiyah tetap otentik meski prestasi tak lagi bisa diukur. Abdul Razaq Fakhrudin atau Pak AR masih jualan bensin eceran dan naik Yamaha butut. Buya Syafii masih biasa jalan kaki ke masjid depan rumah, naik bus dan antre. Prof Haedar naik kereta api dan duduk di serambi masjid khusyu mendengar Khutbah dari jamaah akar rumput tanpa rasa canggung. Tak ada kisah dramatik atau kisah buih penuh kata dusta. Ulama kami bersahaja.
Rumah di jalan Silikat yang dihuni Prof Malik Fadjar kerap menjadi jujugan Pak AR Fakhruddin Ketua PP Muhammadiyah saat beliau berkunjung ke Malang. Abdul Razaq Fakhrudin atau Pak AR, biasa akrab dipanggil, lebih memilih menginap di rumah pimpinan daerah atau cabang dari pada menginap di hotel berbintang meski pengikutnya mampu bayar.
Mitsuo Nakamura seorang mahaguru dan peneliti senior berkebangsaan Jepang sempat dibuat kaget saat pertama datang ke Jogja. Bermaksud bertemu dengan para pimpinan Muhammadiyah. Mitsuo Nakamura dibonceng Pak AR dengan sepeda motor Yamaha butut tahun tujuh puluhan yang mulai terlihat menua.
Dari ulama bersahaja ini, pegawai KUA golongan II tanpa deret gelar akademik, lahir puluhan universitas, rumah sakit dan layanan oemoem lainnya. Bersyukur kita banyak punya ulama-ulama bersahaja yang hadir di saat yang tepat. Banyak uswah khasanah dari para ulama junjungan kami, dengannya kami membagi dan berbenah untuk kebaikan yang banyak.
Adalah Kyai Bedjo Dermoleksono penggagas dan pendiri Universitas Muhammadiyah Malang harus berjalan kaki dari Sidomulya Kota Batu tempat masa kecil saya mengaji bersama bapak, ke rumahnya di oro-oro dowo Malang selepas mengisi pengajian rutin setiap hari Selasa bada Ashar.
Beliau tidak sengaja berjalan kaki apalagi jogging dengan jarak 35 kilometer. Lebih karena para muridnya lupa memberi uang transport. Dan saat beliau wafat tak meninggalkan harta untuk diwariskan karena semua telah di wakaf-kan untuk Persyarikatan tanpa sisa.
Bahkan Bu Nyai Bedjo (Nyai Artiyah) harus menumpang di kompleks perumahan masjid Al Khairat Kyai Abdullah Hasyim Dinoyo tempat dimana saya menjadi penjaga dan tukang adzan masjid selama enam tahun lebih.
Dua ulama yang saya sebut diatas bukanlah dari kalangan para sahabat, tabiin atau para salaf yang muktabar. Keduanya hanya ulama biasa yang hidup beberapa tahun lebih dulu dari kita. Orang biasa dengan pikiran biasa dan status sosial biasa, bukan pula keturunan Sayid, Syarif apalagi Habib.
Bersyukur saya diberi sempat untuk ‘ngawula’ pada Pak AR meski hanya sekedar mengambilkan unjuk-an teh tubruk kesukaan, mengantar istirahat ke jalan silikat dan menjemputnya esok pagi. Bersyukur pula mushola depan rumah, rintisan kakek saya beberapa kali di singgahi Kyai Bedjo Dermoleksono mengaji kitab Bulughul Maram dan Nailul Author meski hanya beberapa kali pertemuan.
Sungguh kenangan manis tak terperi bersama para ulama kesayangan. Orang-orang alim, zuhud dan wara. Malu kiranya mengenang kesahajaan beliau saat ini. Ketika melihat lifestyle para ulama jaman sekarang, tarif mahal, pamer piknik, jemputan mobil mewah dan hotel berbintang untuk istirahat.
Jika ulama sekelas Pak AR, Kyai Bedjo Dermoleksono, Prof Haidar, Buya Syafii Buya Yunahar dan Prof Malik Fadjar berpikir seribu kali hanya untuk memakai kemeja baru di depan santrinya, maka ulama sekarang tak malu menunjukkan berapa deret isteri yang dinikahi. Atau koleksi kuda tunggangan atau kebun luas yang dimiliki atau jumlah tabungan di rekening hasil honorarium ceramahnya.
Memang, tak ada keharusan ulama harus hidup zuhud dan wara, berpakaian kumal, makan seadanya atau jalan kaki kemanapun pergi. Tapi juga tak elok menunjukkan kekayaan, melahab makanan mahal dan mengenakan baju mewah dan pamer pengawalan berlapis di depan publik dikala umat lagi berkekurangan. Pada akhirnya semua terpulang kepada masing-masing. Dan hidup memang pilihan. Menyambut MILAD H-1