Saban tahun di bulan Oktober, Nobel Perdamaian biasanya dianugerahkan kepada sosok/ tokoh yang berjasa besar dalam memperjuangkan dan menjaga perdamaian dan kemanusiaan. Dalam tahun-tahun ke depan saya membayangkan Presiden Joko Widodo yang menerima anugerah terhormat Nobel Perdamaian itu.
Mengapa tidak? Presiden Jokowi memiliki kesempatan untuk itu. Bayangkan, permasalahan yang sudah 50 tahun terjadi di Papua menanti uluran tangan Jokowi untuk menyelesaikannya. Sebab, enam Presiden Indonesia sebelumnya belum bisa menyelesaikannya.
Ketidakmampuan menyelesaikan permasalahan politik dalam masa nan panjang menimbulkan persoalan-persoalan hak asasi manusia, kemiskinan, tingginya kematian ibu dan anak, butu huruf yang tinggi, dan lain-lain. Dalam kacamata HAM, persoalan politik di Papua telah menjelma menjadi permasalahan HAM berdimensi sipil-politik serta sosial, ekonomi, dan budaya.
Persoalan-persoalan itu begitu nyata di Papua. Paling tidak Komisi Nasional HAM telah mencatatnya secara baik beberapa peristiwa. Beberapa lembaga swadaya masyarakat dalam dan luar negeri juga punya catatan dan arsip tentang beberapa peristiwa yang ditengarai sebagai pelanggaran HAM yang serius.
Sementara itu, data-data Badan Pusat Statistik (BPS) seperti Papua dalam Angka juga mengkonfirmasi banyak permasalahan hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya yang belum terpenuhi dengan segera. Bahkan kini dalam kerangka hak-hak tersebut dirasakan oleh publik di Papua terjadi marjinalisasi dan diskriminasi.
Tentang berkelindannya permasalahan politik dengan gejala-gejala persoalan hak-hak sipil-politik dan hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya ini, di tahun 2010, melalui bukunya Papua Road Map, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) sudah menggambarkannya dengan baik.
Singkatnya, persoalan di Papua sungguh jauh lebih dalam dari yang disampaikan oleh para delegasi negara-negara pulau di Pasifik pada forum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pekan lalu. Mungkin apa yang disampaikan perwakilan negara Solomon terasa keras menampar karena ia menyatakannya di forum seperti itu.
Saya pikir informasi yang disampaikan oleh negara-negara Pasifik itu wajar saja dalam kerangka pergaulan regional dan internasional yang kini gandrung pada nilai-nilai HAM. Pemerintah RI tidak perlu menghardik dan menuding untuk membantahnya, sebab Indonesia juga meyakini hal yang sama.
Bagaimanapun, ke depan, Papua akan jauh lebih dekat ke Pasifik ketimbang ke laut Jawa atau Samudra Indonesia. Itu sudah menjadi kecendrungan kawasan itu sekarang ini. Karena Pasifik akan menjadi tempat percaturan politik global dalam pertarungan Cina, Jepang, Amerika Serikat, dan Australia. Sejarah juga sudah mencatat dinamika wilayah itu demikian.
Mengingat begitu dinamis dan pentingnya wilayah Pasifik itu di masa datang, bagaimana mungkin kita membiarkan Papua tetap terperangkap dalam situasi konfliktual yang tak berujung? Saya pikir enam negara Pasifik itu juga tidak mau tetangga mereka di pulau besar Papua terkurung dalam situasi konflik yang tak berkesudahan.
Nah, tepat di situlah peran Presiden Jokowi ditunggu. Papua adalah beranda depan Indonesia ke Pasifik. Enam negara yang kini mempersoalkan masalah HAM di Papua adalah tetangga terdekat di Pasifik. Yang diperlukan dari Presiden Jokowi adalah mengubah paradigma dari mereka mengganggu menjadi sahabat baik dalam membenahi Papua.
Coba bayangkan, ketika Presiden Jokowi mengajak tetangga terdekat di Pasifik bersama-sama mencari pintu masuk untuk mengurai konflik secara demokratis, maka mata dunia akan melihat Indonesia sebagai pelopor dari konflik tertua di Pasifik.
Perwakilan Solomon dalam uraiannya di forum PBB menyatakan bahwa Papua sudah terjebak dalam konflik selama 50 tahun dengan korban mendekati 500 ribu jiwa. Dari kaca mata HAM, tentu itu korban yang tak sedikit. Tentu Indonesia tertohok dengan angka tersebut. Tapi, Indonesia mungkin juga punya catatan sendiri. Nah, tinggal dibuka di meja yang sama, ditelisik, dan diurai serta dipilah bersama pula. Dengan prinsip norma-norma HAM yang berlaku universal. Karenanya, perlu sesegera mungkin persoalannya didudukkan agar semua terverifikasi dan terang benderang.
Modal Indonesia cukup untuk mengurainya. Karena HAM ada dalam konstitusi Indonesia, serta ada beberapa UU yang bernafaskan HAM serta ada institusi HAM. Presiden Jokowi tinggal gunakan norma-norma HAM dan istitusi HAM itu secara maksimal. Sebab, bagaimanapun HAM adalah norma pergaulan dunia beradab hari ini.
Maka, saya melihat sikap enam negara Pasifik tentang Papua di PBB itu adalah momentum bagi Presiden Jokowi untuk memimpin penyelesaian masalah Papua. Maknailah momentum itu sebagai jalan memperbaiki kehidupan rakyat Indonesia di Papua. Siapa tahu kelak ada bonusnya: Nobel Perdamaian.
Menciptakan suasana damai di Papua adalah menciptakan perdamaian di kawasan Pasifik Selatan dan Barat Daya. Karena itu, ia berdimensi dunia. Dari situlah Nobel Perdamaian akan tiba. Lebih baik Papua damai yang dirancang bersama dengan tetangga di Pasifik daripada Indonesia sepanjang hayat menghadapi persoalan yang sama di Papua.
Saatnya Pak Presiden bergegas.
Terkait