Kementerian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi tengah menjajaki kemungkinan merekrut dosen dan rektor asing (bule) untuk mengajar dan memimpin perguruan tinggi di Indonesia. Tentu itu adalah PTN (Perguruan Tinggi Negeri) atau PTBH (Perguruan Tinggi Badan Hukum), sebab kalau swasta menjadi domain yayasan sepenuhnya.
Menurut Menteri Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi Mohamad Nasir, tujuan mengimpor rektor asing adalah untuk memperbaiki mutu pendidikan dan mempercepat kenaikan peringkat perguruan tinggi. Gagasan ini, katanya, terinspirasi dari pengalaman perguruan tinggi-perguruan tinggi kelas dunia di Singapura dan Eropa yang dosen, guru besar, dan pimpinannya berasal dari berbagai negara.
Jujur saja, saya merasa marah, jengkel, dan sekaligus geli mendengar gagasan tersebut. Sebab, Menristekdikti yang seharusnya mengampu tugas mencerdaskan bangsa agar dapat hidup makmur, sejahtera, mandiri, merdeka, dan berdaulat; justru menyorongkan diri untuk dijajah kembali oleh bangsa asing melalui ilmu pengetahuan. Ini kembali pada masa-masa awal pertumbuhan perguruan tinggi di Indonesia yang pada waktu itu (1940-1950-an) dosennya banyak yang warga asing, khususnya Belanda.
Isu Ketidak-adilan
Sebetulnya di era globalisasi kini, pertukaran dosen atau tenaga pengajar antarnegara itu suatu hal yang lumrah, bukan istimewa. Bahkan pertukaran mahasiswa dan pelajar pun sudah dikembangkan sejak lama. Melalui program pertukaran dosen, mahasiswa, dan pelajar itu akan dicapai peningkatan saling kepemahaman terhadap persoalan-persoalan sosio-kultural yang ada di setiap negara, dan itu akan sangat membantu diplomasi kebudayaan maupun ekonomi dan politik.
Tapi, masalahnya, yang akan dilakukan Kemenristekdikti itu bukan sekadar pertukaran dosen, melainkan impor dosen dan impor rektor. Ini persoalannya sudah sangat berbeda.
Pada pertukaran dosen/mahasiswa, masing-masing negara membiayai dosen/mahasiswa yang dikirimkan ke negara lain, sehingga negara yang dituju tidak terbebani anggaran yang besar. Namun, kalau impor dosen dan rektor, implikasinya pada pengurasan devisa negara untuk membayar tenaga kerja asing, sementara cadangan devisa kita cenderung merosot karena impor kita selalu lebih tinggi daripada ekspor.
Apakah betul pendidikan tinggi yang seharusnya turut memecahkan persoalan merosotnya devisa negara itu justru akan berkontribusi menguras devisa negara untuk membayar dosen dan rektor asing?
Dosen dan rektor asing yang akan kita impor tentu akan bersedia apabila mendapatkan benefit yang imbang, bahkan lebih tinggi dibandingkan dengan yang diterima dari negaranya. Apalagi bila kualifikasi yang diharapkan itu adalah orang-orang yang memiliki pengalaman mengembangkan perguruan tinggi berkaliber internasional, tentu gaji mereka minimum US$ 10,000 sampai US$ 15,000 dengan segala fasilitas pendukungnya (perumahan, jaminan kesehatan, rekreasi, transportasi dan akomodasi menengok negaranya, dan lainnya).
Jadi, berapa ratus juta pengeluaran suatu perguruan tinggi yang dialokasikan untuk membayar dosen/rektor asing? Bila ini yang terjadi, alih-alih meningkatkan kualitas perguruan tinggi, justru memunculkan persoalan baru, mengenai ketidak-adilan dengan para dosen lokal yang memiliki gelar (profesor ataupun doktor) dan kompetensi yang sama, tapi take home pay mereka hanya 10% saja dari yang diterima dosen/rektor asing.
Kurang-lebih ini mirip dengan kasus pilot lokal yang akhirnya melakukan aksi mogok sebagai bentuk protes atas ketidak-adilan yang mereka terima ketika berhadapan dengan pilot-pilot asing.
Tidak Paham Masalah
Saya amat bersedih ketika ada Menristekdikti yang tidak memahami akar persoalan di lembaga yang dipimpinnya, utamanya PTN sehingga terobosannya adalah impor dosen dan rektor.
Pertama, tidak semua PTN kita tidak bermutu, justru banyak yang bermutu. Buktinya? Ketika lulusannya melanjutkan program master dan doktor ke luar negeri (di negara-negara maju), mereka langsung dapat mengikuti perkuliahan tanpa harus mengalami matrikulasi terlebih dahulu. Bahkan tidak sedikit di antara mereka yang lulus dengan predikat summa cum laude, dan banyak di antara mereka yang kemudian direkrut menjadi dosen di sana. Itu artinya PTN tempat mereka kuliah S1 sangat berkualitas, meski mungkin tidak masuk ranking dunia.
Kedua, dosen-dosen di PTN tidak dapat mencurahkan waktu dan energi sepenuhnya untuk proses pembelajaran dan kegiatan akademis lain di lembaganya karena mereka harus zigzag mencari tambahan pendapatan untuk kebutuhan keluarga.
Pada masa awal-awal pendirian PTN (era Presiden Soekarno), setiap pendirian universitas baru diikuti dengan pembangunan perumahan untuk kompleks dosen sehingga dosen tidak perlu pusing-pusing mencari rumah. Tapi, saat ini status rumah dosen sudah banyak yang berubah; ada yang menjadi hak milik pribadi, tapi ada pula yang dimanfaatkan untuk kantor-kantor pusat studi. Akibatnya, para dosen baru tidak dapat lagi menempati perumahan dosen dan harus mencari rumah sendiri yang lokasinya jauh dari kampus.
Semestinya masalah tempat tinggal dosen agar tidak jauh dari kampus itu yang mendesak untuk dipecahkan oleh Menristekdikti.
Ketiga, kultur akademik kita tidak tumbuh karena proses rekrutmen dosen lebih banyak ditentukan oleh kesamaan alumni, golongan, suku, agama, atau bahkan organisasi ekstra. Selain itu, pola rekrutmennya masih memakai pola-pola lama: seleksi berdasarkan nilai Indek Prestasi (IP) saja. Padahal, tingginya IP seseorang tidak otomatis memiliki kemampuan untuk mengembangkan kultur akademik. IP yang tinggi lebih banyak ditentukan oleh ketekunan mempelajari soal-soal yang keluar pada setiap ujian tahun-tahun sebelumnya.
Seharusnya rekrutmen dosen dilakukan melalui berbagai mekanisme yang bisa menjaring calon lulusan berbagai perguruan tinggi dan memiliki pengalaman bekerja di luar kampus, termasuk di sektor swasta sehingga itu akan mempengaruhi cara kerja mereka di kampus menjadi lebih efisien dan produktif.
Keempat, riset di perguruan tinggi kita tidak berkualitas sehingga tidak terimplementasikan. Bukan karena kualitas dosen kita rendah, tapi karena anggaran terbatas dan urusan administrasinya lebih menonjol daripada urusan risetnya. Alih-alih mengurusi substansi riset, umumnya dosen-dosen yang melakukan penelitian lebih sibuk dengan urusan ngumpulin kuitansi dan nota-nota pengeluaran untuk riset.
Selama rezim akutansi itu masih berkuasa di kampus-kampus, jangan berharap ada kreativitas dan inovasi dari kampus. Orang takut berkreativitas dan berinovasi karena kuatir salah prosedur dan akhirnya dituduh korupsi. Kasus pembuatan mobil listrik yang menjadikan Dahlan Iskan, mantan Menteri BUMN, sebagai korbannya adalah preseden buruk untuk berinovasi.
Pengembangan teknologi di mana pun di dunia ini tidak mungkin sekali jadi. Selama satu dekade (2003-2014) saya mengembangkan bengkel becak di Yogyakarta untuk mengubah desain becak tradisional yang berat dan tidak nyaman menjadi lebih ringan dan lebih nyaman. Upaya tersebut memerlukan trial and error dan baru pada prototipe yang ke-14 desain yang pas (lebih ringan 35 kg dan lebih lebar 5 cm) dihasilkan.
Menciptakan becak dengan teknologi yang amat sederhana saja membutuhkan proses panjang, masak membuat mobil listrik sekali coba bisa langsung jadi? Tapi, kalau sekali coba membuat lalu gagal dan kemudian dituduh korupsi, tentu akan membuat orang enggan untuk berinovasi.
Kelima, ini yang membuat saya geli. Perguruan tinggi-perguruan tinggi di Singapura dan Eropa itu banyak dosen asingnya. Seperti halnya Australia dan Amerika Serikat, Singapura dan Eropa merupakan negara-negara yang memberikan kesejahteraan bagi warga dan memberikan kemudahan bagi pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Karena itu, sangat banyak orang asing yang datang ke sana (termasuk sejumlah akademisi dari Indonesia). Bukan karena mereka diundang, tapi karena negara itu terbuka bagi siapa pun yang punya kompetensi untuk berkarya di sana.
Jadi, wajar belaka jika banyak warga asing menjadi dosen, guru besar, dan pimpinan perguruan tinggi di sana. Tapi, ini berbeda sekali konteksnya dengan Pemerintah RI yang akan mengundang dosen dan rektor asing untuk mengajar dan memimpin PTN kita. Andaikan mereka datang menawarkan diri menjadi dosen atau memimpin PTN kita dengan standar yang kita miliki, seperti halnya para akademisi kita yang hijrah ke negara-negara maju atas kemauan sendiri, itu beda permasalahannya, tidak bakal menimbulkan resistensi.
Namun, kalau pemerintah sengaja mengimpor dosen dan rektor, itu jelas kita akan tolak sebab itu akan menguras devisa negara. Bukan mustahil mereka, alih-alih akan membawa kemajuan, tapi justru akan merasa frustasi sendiri menghadapi birokrasi pendidikan di Kemenristekdikti maupun dari pemeriksa keuangan.
Sebetulnya ada alternatif lain untuk meningkatkan kualitas pendidikan tinggi kita, utamanya PTN atau PTBH. Pertama, berikan otonomi keuangan kepada pengelola kampus, agar pengelola kampus tidak terjebak pada urusan administratif keuangan. Karena itu, yang diperlukan bukan mendatangkan dosen dan rektor asing, tapi mengubah UU Keuangan Negara yang ramah untuk layanan publik.
Kedua, panggil saja para diaspora kita yang di luar negeri—konon jumlahnya ratusan ribu—dan berikan kebebasan kepada mereka untuk berekspresi dan berinovasi. Dari berbagai pernyataan di media massa, kita juga tahu para diaspora itu ingin sekali mengabdi untuk negerinya sendiri. Tapi, karena iklim berekspresi dan berinovasi di Indonesia kurang mendukung, akhirnya mereka memilih berkarya di negara lain.
Sekarang saatnya mereka dipanggil dengan diberi insentif yang cucuk (imbang) dan suasana berekspresi dan beriovasi yang kondusif. Jadi, pemerintah tidak perlu mengimpor dosen dan rektor asing (bule) yang bakal menguras devisa negara dan belum tentu berhasil seperti yang diharapkan.
Baca juga
Macetnya Anggaran Riset Perguruan Tinggi
Problematika Pendidikan Tinggi Hari Ini