Minggu, November 24, 2024

Pak Jokowi, KPK Menjemput Maut

Feri Amsari
Feri Amsari
Direktur Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO), Pengajar Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang.
- Advertisement -

192 orang lulus seleksi administrasi calon Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi. Seluruh perwira dan pensiunan polisi lulus seleksi tersebut. Kelulusan itu kian mendekati dugaan bahwa kursi Pimpinan KPK memang hendak diserahkan kepada polisi.

Padahal, rencana “memastikan” Pimpinan KPK dari unsur kepolisian tersebut tidak sesuai dengan kodrat lembaga antirasuah itu. Menurut penjelasan umum Undang-Undang KPK (Nomor 30 Tahun 2002), lembaga itu dibentuk karena kegagalan aparat penegak hukum konvensional melawan korupsi. Tapi, saat ini, mereka yang gagal itu hendak dijadikan Pimpinan KPK. Aneh!

Itu sebabnya, bagi yang membaca UU KPK, langkah Panitia Seleksi KPK “merayu” beberapa perwira untuk ikut seleksi dapat dinilai mengabaikan regulasi dan sejarah pembentukan KPK. Dari komposisi anggota Pansel yang ada, mustahil mereka tidak memahami kehendak UU KPK tersebut. Apalagi secara konstitusional, kepolisian tidak ditugaskan menjadi lembaga independen seperti KPK.

Kepolisian memang berwenang melakukan pemberantasan korupsi, namun tidak harus menjadi Pimpinan KPK dulu. Jika dipaksakan seluruh polisi baik menjadi bagian dari KPK, lalu siapa yang akan membenahi institusi kepolisian itu sendiri? Polisi-polisi baik harus tetap berada di dalam kepolisian untuk melakukan perlawanan terhadap berbagai masalah yang menyelimuti kepolisian, termasuk terhadap kejahatan korupsi yang telah bersemi sejak lama. Bukan malah “mengirimnya” ke KPK. Banyak catatan yang memperlihatkan keberadaan unsur kepolisian di KPK malah menambah runyam kondisi internal lembaga antirasuah itu.

Setidaknya terdapat dua masalah jika kepolisian terus bertambah jumlahnya di Gedung Merah-Putih, apalagi menjadi Pimpinan KPK. Pertama, kegagalan KPK menjadi lembaga yang mandiri dari aparat penegak hukum konvensional. Secara teoritik, lembaga independen seperti KPK harus mandiri dari berbagai relasi dengan tiga cabang kekuasaan utama: eksekutif, legislatif, dan yudikatif.

Menurut Pasal 8 ayat (1) dan (2) UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, kepolisian berada di bawah komando Presiden (executive power). Sebagai bawahan Presiden, anggota kepolisian terikat sumpah untuk mentaati Presiden. Itu sebabnya, sulit bagi anggota kepolisian dapat membongkar perkara korupsi pada wilayah kekuasaan eksekutif, termasuk korupsi yang terjadi pada tubuh kepolisian dan militer.

Sejarah juga mencatat, kepolisian merupakan bagian tidak terpisah dari konsep pertahanan dan keamanan dalam satu payung. Konsep itu meletakkan kepolisian di bawah militer (Angkatan Bersenjata Republik Indonesia/ABRI). Ikatan sejarah masa lalu itu juga membangun sentimen korps di antara dua lembaga. Bukan tidak mungkin keberadaan kepolisian akan berseberangan dengan institusi TNI. Jangan sampai unsur kepolisian yang menjadi Pimpinan KPK hanya akan mempertajam konflik kepolisian dengan militer yang telah menjadi rahasia umum.

Kedua, melanggar gagasan kepolisian tidak boleh menjadi jaksa penuntut umum. Jika polisi menjadi Pimpinan KPK, maka berdasarkan Pasal 21 ayat (5) UU KPK  secara otomatis menjadi penuntut umum yang merupakan profesi tertinggi dalam penyidikan perkara tindak pidana. Padahal, menurut UU Kepolisian dan KUHAP, kepolisian hanya bertugas pada wilayah penyelidikan dan penyidikan.

Menjadikan anggota kepolisian sebagai penuntut umum melanggar konsep integrated criminal justice system (sistem peradilan pidana terpadu) yang melarang campur-aduk tugas kepolisian dengan kewenangan penuntut umum. Memaksakan kepolisian menerabas fungsi dan tugasnya merupakan pelanggaran kodrat konstitusional kepolisian sebagaimana diatur dalam Pasal 30 Ayat (4) UUD 1945.

Perihal Radikalisme

Salah satu alasan unsur kepolisian diperlukan menjadi Pimpinan KPK adalah isu radikalisme yang menjangkiti KPK. Isu tersebut terkesan dibangun tanpa bukti. Sebab, isu yang “dimakan” Pansel KPK itu tidak berasal dari bukti valid tetapi bermula dari gosip. Tidak terdapat indikator yang terang membuktikan bahwa KPK telah terpapar paham radikalisme, atau lebih buruk terorisme.

- Advertisement -

Jika membaca rekam jejak KPK, satu-satunya yang masuk akal dari isu itu  adalah KPK memang terpapar radikalisme memberantas korupsi yang meneror para koruptor. Selebihnya, saya percaya itu hanyalah omong kosong yang bertujuan untuk menyerang balik KPK. Bukankah kita semua telah belajar bahwa serangan terhadap KPK kian beragam dan dari berbagai penjuru.

Kalaupun memang KPK terpapar paham radikal agama tertentu, bukankah lebih baik jika Pimpinan KPK masa depan diisi oleh Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Detasemen Khusus (Densus) 88 Antiteror, atau kalau memang diperlukan meminang Menteri Agama sekalian untuk mengisi posisi tersebut. Meski BNPT dan Densus 88 umumnya berasal dari kepolisian, Pimpinan KPK setidaknya tidak berasal dari kepolisian yang kerap bermasalah dengan KPK. Atau, jangan-jangan “dipaksakannya” unsur kepolisian menjadi Pimpinan KPK punya maksud tersembunyi yang tidak kita pahami.

Jika maksud tersembunyi itu ada, bersiaplah KPK menjemput maut. Sayonara KPK! Pak Jokowi harus tahu ini semua. Semoga maksud itu tidak untuk meruntuhkan KPK! Karena meruntuhkan KPK itu pengkhianatan.

Kolom terkait

Awas! Ada Musang Pro Koruptor Di KPK

KPK Menjelang Ajal

Denny Siregar dan Usaha Merobohkan Independensi KPK

Menyambut Novel Baswedan, Mendefinisikan Korupsi [I]

Mereformasi KPK

Feri Amsari
Feri Amsari
Direktur Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO), Pengajar Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang.
Facebook Comment
- Advertisement -

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.